Aman Tidaknya Pasien Atrial Septal Defect Berolahraga

Oleh :
dr. Kana Kurniati Elka SpJP

Penderita kelainan jantung bawaan, termasuk atrial septal defect (ASD), seringkali dilarang untuk berolahraga karena dianggap tidak aman. Namun, penelitian medis yang semakin banyak telah menunjukkan bahwa aktivitas fisik bermanfaat bagi penderita ASD, baik anak maupun dewasa. Sebaliknya, larangan ketat untuk beraktivitas fisik tidak menurunkan risiko gagal jantung pada penderita ASD.[1-5]

Beberapa studi observasi memberikan gambaran rendahnya hubungan antara kematian akibat serangan jantung dengan olahraga pada penderita penyakit jantung bawaan. Kematian mendadak saat berolahraga akibat serangan jantung pada populasi ini juga jarang terjadi.[6,7]

Aman Tidaknya Pasien Atrial Septal Defect Berolahraga-min

Mekanisme Kelainan pada Pasien ASD saat Berolahraga

Atrial septal defect (ASD) atau kebocoran dinding atrium adalah penyakit jantung bawaan yang paling umum ditemukan pada orang dewasa. Selama masa kanak-kanaknya, pasien dengan ASD seringkali tidak menunjukkan gejala. Gejala ASD umumnya menjadi jelas ketika pasien memasuki usia 40 tahun, misalnya keluhan mudah lelah saat beraktivitas, palpitasi, atau aritmia.[8]

Shunt Flow L-R

Pada ASD, besar volume pirau bergantung pada left ventricle (LV) compliance dan right ventricle (RV), ukuran defek, dan tekanan left atrial (LA) dan right atrial (RA). Pada kasus ASD sederhana, RV lebih compliance daripada LV dan menyebabkan shunt flow dari atrium kiri ke kanan (L-R), sehingga beban volume pada RV bertambah yang diikuti aliran ke sirkulasi pulmonal meningkat.[9,10]

Penurunan compliance pada LV, atau kondisi apapun yang menyebabkan peningkatan tekanan LA, akan meningkatkan shunt flow L-R. Misalnya pada kondisi hipertensi, penyakit jantung iskemik, kardiomiopati, dan kelainan katup mitral atau aorta. Oleh karena itu, ASD akan memberikan dampak hemodinamik yang lebih besar seiring bertambahnya umur pasien.[9,10]

Shunt Flow R-L

Berkurangnya compliance pada RV, misalnya pada kondisi stenosis pulmonal, hipertensi pulmonal, atau regurgitasi trikuspid, akan menyebabkan kenaikan tekanan RA dan mengurangi shunt flow L-R. Kondisi ini bahkan dapat menyebabkan berbaliknya shunt flow menjadi kanan ke kiri (R-L), dan bermanifestasi sebagai sianosis.[9,10]

Pasien dengan shunt flow R-L dapat menjadi lebih sianotik saat berolahraga. Perubahan rasio resistensi vaskular sistemik terhadap resistensi vaskular paru mengakibatkan peningkatan hipoksemia. Bahkan pada pasien hipertensi pulmonal sekunder akibat ASD, gangguan hemodinamik akut dapat muncul dengan tanda  penurunan kapasitas latihan, aritmia, sinkop, nyeri dada, atau kematian mendadak.[11]

Pedoman Berolahraga untuk Pasien ASD

Pedoman berolahraga untuk pasien ASD yang paling baru adalah pedoman dari American Heart Association and American College of Cardiology (AHA/ACC) yang dikeluarkan pada tahun 2015. Pedoman ini membagi pasien ASD menjadi yang tidak ditutup dan yang telah ditutup. Sedangkan jenis olahraga diklasifikasikan berdasarkan intensitas potensial.[12]

Klasifikasi Olahraga

Klasifikasi olahraga ditentukan oleh komponen statis puncak dan dinamis puncak yang dapat dicapai saat kompetisi. Namun, nilai yang lebih tinggi dapat dicapai selama pelatihan. Komponen statis puncak berhubungan dengan perkiraan persentase kontraksi volunter maksimal yang menghasilkan kenaikan beban tekanan darah. Sedangkan komponen dinamis puncak adalah perkiraan persentase pengambilan oksigen maksimal (Vo2max) yang menghasilkan peningkatan curah jantung.[12,13]

Berdasarkan kedua komponen puncak tersebut, klasifikasi olahraga di antaranya adalah:

  • IIIC: komponen statis dan dinamis tinggi
  • IIB: komponen statis dan dinamis sedang
  • IA: komponen statis dan dinamis rendah[18]

Contoh olahraga yang masuk dalam klasifikasi di atas ada dalam tabel 1 di bawah.[13]

Tabel 1. Klasifikasi Olahraga Berdasarkan Komponen Statis Puncak dan Dinamis Puncak

tabel Aman Tidaknya Pasien Atrial Septal Defect Berolahraga

Sumber: Alexandra, 2022[13]

Rekomendasi Berolahraga untuk Pasien ASD yang Tidak Ditutup

Pada kelompok pasien ASD yang tidak ditutup, olahraga yang dapat diikuti bergantung adanya hipertensi pulmonal. Rekomendasi olahraga sebagai berikut:

  • Cacat kecil (<6 mm), volume jantung kanan normal, dan tidak ada hipertensi pulmonal: dapat mengikuti semua olahraga (kelas I; tingkat bukti C)
  • Cacat besar (>6 mm) tetapi tidak ada hipertensi pulmonal: dapat berpartisipasi dalam semua olahraga (kelas I; tingkat bukti C)
  • Terdapat hipertensi pulmonal ringan: dapat dipertimbangkan untuk berpartisipasi dalam olahraga kelas IA intensitas rendah (kelas I; tingkat bukti C)
  • Terdapat penyakit vaskular paru obstruktif yang memiliki sianosis dan shunt flow R-L yang besar: harus dilarang mengikut semua olahraga kompetitif, kecuali olahraga kelas IA (kelas III; tingkat bukti C)[12]

Rekomendasi Olahraga untuk Pasien ASD yang Sudah Ditutup

Pada pasien ASD yang telah diperbaiki, olahraga apa pun tidak dibatasi setelah 6 bulan setelah tindakan penutupan. Rekomendasi olahraga sebagai berikut:

  • Setelah operasi 3‒6 bulan, yang tidak mengalami hipertensi pulmonal, disfungsi miokard, atau aritmia: dapat berpartisipasi dalam semua olahraga (kelas I; tingkat bukti C)
  • Setelah operasi tetapi memiliki hipertensi pulmonal, aritmia, atau disfungsi miokard: dapat dipertimbangkan untuk berpartisipasi dalam olahraga kelas IA intensitas rendah (kelas IIb; tingkat bukti C)[12]

Partisipasi Pasien ASD dalam Olahraga Menyelam atau Mendaki Tinggi

ASD yang tidak ditutup kontraindikasi melakukan olahraga menyelam maupun mendaki ke dataran tinggi, karena meningkatkan risiko decompression sickness dan paradoxical embolism. Sedangkan pasien ASD yang sudah ditutup dapat melakukan olahraga ini dengan syarat tidak ada shunt residual, dan ukuran ruang jantung normal atau mendekati normal.[14,15]

Menyelam berisiko decompression sickness akibat gas yang keluar dari larutan menjadi gelembung di dalam darah dan jaringan saat naik ke permukaan air. Walaupun risiko menyelam ini rendah, tetapi penyelam dengan hubungan interatrial memiliki risiko decompression sickness lebih tinggi. Mekanismenya adalah embolisasi paradoks dari gelembung gas vena ke sirkulasi arteri sistemik. Hubungan antara shunt interatrial dan decompression sickness neurologis telah dipelajari pada penyelam dengan foramen ovale paten, tetapi prinsip yang sama berlaku untuk ASD.[14,15]

Untuk aktivitas mendaki, pasien defek septum atrium berisiko mengalami peningkatan shunt flow R-L dan desaturasi oksigen di dataran tinggi. Oleh karena itu, pasien ini harus berkonsultasi dengan ahli jantung sebelum melakukan aktivitas di dataran tinggi.[8]

Kesimpulan

Aktivitas fisik pada pasien dengan penyakit jantung bawaan, termasuk ASD, dikaitkan dengan kebugaran kardiorespirasi dan muskuloskeletal yang lebih baik. Selain itu, pasien dengan aktivitas fisik memiliki kualitas hidup, keterampilan motorik, dan kepercayaan diri yang lebih baik. Oleh karena itu, olahraga direkomendasikan pada pasien ASD.

Dasar rekomendasi terkait keamanan partisipasi olahraga kompetitif pada pasien ASD ditentukan oleh kemampuan masing-masing individu, termasuk status hemodinamik dan risiko dekompensasi atau disritmia. Pasien ASD yang sudah ditutup dapat berpartisipasi dalam semua olahraga setelah 3‒6 bulan operasi penutupan. Namun, pasien dengan hipertensi pulmonal atau aritmia dianjurkan hanya berpartisipasi dalam olahraga intensitas rendah, seperti yoga, bowling, atau golf.

Sedangkan pada pasien ASD yang belum tertutup dengan volume jantung sisi kanan yang normal dan tidak mengalami hipertensi pulmonal, partisipasi dalam olahraga apapun umumnya dapat ditoleransi. Namun, jika pasien memiliki hipertensi pulmonal, maka olahraga sebaiknya dihindari. Olahraga intensitas rendah mungkin dapat dilakukan, tetapi pasien perlu berkonsultasi terlebih dulu dengan dokter yang merawat. Evaluasi pasien harus mencakup riwayat dan pemeriksaan fisik, EKG, rontgen toraks, echocardiography, dan uji latih jantung.

Referensi