Bilas Lambung untuk Kasus Keracunan

Oleh :
dr. Michael Susanto

Bilas lambung atau gastric lavage merupakan terapi yang umum dilakukan untuk kasus keracunan, terutama pada daerah dengan fasilitas kesehatan terbatas. Walau demikian, bukti ilmiah menunjukkan terapi ini tidak dianjurkan dan justru memiliki risiko komplikasi yang tinggi.

Keracunan adalah suatu kondisi di mana terjadi kontak pada suatu benda yang menyebabkan toksisitas. Keracunan pada umumnya terjadi akibat racun yang tertelan, dalam bentuk obat atau benda toksik lainnya seperti pestisida dan herbisida. Keracunan juga dapat disebabkan oleh injeksi, inhalasi, atau paparan pada luar tubuh. Mayoritas dari benda nonmakanan tidaklah beracun apabila dikonsumsi, namun hampir semua benda dapat beracun apabila dikonsumsi dalam jumlah besar.

Woman,Wearing,Gloves,Is,Holding,A,Syringe,To,Perform,Gastric

Diagnosis keracunan biasanya dapat ditegakkan secara klinis dan terapi yang diberikan hanyalah suportif kecuali untuk beberapa kasus di mana terdapat antidotnya. Gastric lavage (bilas lambung) adalah suatu terapi untuk kasus keracunan yang sudah lama sekali dilakukan baik untuk intoksikasi obat maupun intoksikasi bahan lain seperti magic mushroom. Walau demikian, terapi bilas lambung tersebut dinilai dapat menyebabkan lebih banyak dampak buruk dibandingkan manfaat pada pasien. Berdasarkan literatur yang telah ada saat ini, terapi utama untuk kasus keracunan hanyalah suportif, dan bilas lambung sangat tidak dianjurkan dan hanya dapat dipertimbangkan untuk kasus-kasus tertentu.[1,2]

Penanganan Umum Keracunan

Saat ini terdapat berbagai pedoman klinis untuk penanganan keracunan. Salah satunya adalah pedoman klinis penanganan inisial keracunan yang dikeluarkan oleh The Royal Children’s Hospital Melbourne, Australia. Pedoman tersebut menyampaikan bahwa penanganan inisial untuk kasus keracunan dimulai dengan penilaian risiko keracunan untuk menentukan apakah benda yang tertelan mencapai dosis toksik.

Penilaian risiko juga perlu menentukan apakah keracunan ini merupakan tindakan yang disengaja (menyakiti diri sendiri atau percobaan bunuh diri) atau tindakan yang tidak disengaja. Penanganan kemudian dilanjutkan dengan penanganan kegawatdaruratan dengan prinsip airway, breathing, dan circulation.[3]

Penanganan Toksikologi

Setelah penanganan kegawatdaruratan selesai dilakukan dan kondisi pasien stabil, penanganan toksikologi dilakukan. Prinsip penanganan toksikologi adalah sebagai berikut:

  • Dekontaminasi
  • Peningkatan eliminasi toksin
  • Antidot

Dekontaminasi

Pada kasus keracunan dengan paparan luar tubuh (pada kulit atau mata), dekontaminasi dilakukan dengan mengurangi paparan toksin semaksimal mungkin. Pada mata, hal ini dilakukan dengan melakukan irigasi menggunakan cairan salin (pertimbangkan untuk memberikan anestetik tetes mata lokal atau sedasi). Pada kulit, lepaskan pakaian pasien dan bilas dengan air dalam jumlah banyak lalu dengan air sabun.

Jika keracunan terjadi akibat racun yang ditelan, karbon aktif hanya dapat diberikan pada pasien yang sadar tanpa adanya risiko penurunan kesadaran. Karbon aktif dikontraindikasikan pada pasien yang terganggu kesadarannya, keracunan etanol, alkali atau bahan korosif, keracunan metal seperti litium, besi, atau potasium, keracunan fluoride, sianida, hidrokarbon, dan asam mineral.

Karbon  aktif juga tidak boleh diberikan pada pasien yang berisiko muntah dan aspirasi. Tujuan pemberian karbon aktif adalah untuk mengadsorpsi racun dengan dosis 0.5-2 gram/kgBB. Karena mekanisme kerjanya adalah untuk mengadsorpsi racun, karbon aktif efektif diberikan pada 1 jam pertama setelah menelan racun. Dokter juga perlu memperhatikan bahwa tidak semua jenis racun dapat diadsorpsi oleh karbon  aktif.

Terapi dekontaminasi lainnya seperti induksi muntah, bilas lambung, dan whole bowel irrigation sering kali dilakukan seperti pada penatalaksanaan keracunan makanan, terutama di negara berkembang namun literatur yang ada tidak mendukung dilakukannya ketiga terapi tersebut.[1,3,4]

Peningkatan Eliminasi Toksin

Peningkatan eliminasi toksin dapat dilakukan dengan alkalisasi urin (pada keracunan salisilat) dan dialisis. Hemodialisis intermiten dapat mengeliminasi toksin berukuran kecil yang larut dalam air seperti salisilat, alkohol, litium, teofilin, valproat, barbiturat, dan methotrexate.

Antidot

Antidot spesifik dapat digunakan sebagai bagian dari penanganan keracunan. Dokter perlu mengetahui antidot spesifik untuk berbagai racun, di antaranya sebagai berikut:

Racun Antidot
Beta blocker Glukagon
Calcium channel blocker CalsiumInsulin/glukosa
Sianida HidroksikobalaminSodium tiosulfat
Besi Desferrioxamine
Isoniazid Piridoksin
Methanol Etanol
Paracetamol N-asetil sistein
Warfarin Vitamin K
Antidepresan trisiklik Sodium bikarbonat

Bilas Lambung

Tindakan bilas lambung dilakukan dengan melakukan pemasangan nasogastric tube atau orogastric tube, memasukkan cairan dan drainase cairan tersebut kembali melalui tube yang terpasang. Walau tindakan tersebut dapat terlihat menguntungkan bagi pasien, literatur yang ada sudah tidak menyarankannya lagi karena risiko komplikasi yang jauh melebihi potensi manfaatnya.

Berdasarkan studi eksprimental pada hewan dan manusia, bilas lambung menunjukkan hasil yang sangat variabel dan keefektifannya dapat sangat berkurang seiring dengan waktu. Laporan kasus serta studi klinis juga melaporkan hal yang serupa. Pengambilan racun melalui bilas lambung dinilai sama sekali tidak efektif setelah 4 jam.

Tindakan bilas lambung juga tidak memperlihatkan keuntungan pada hasil akhir saat dibandingkan dengan pasien lain yang tidak melakukan bilas lambung, bahkan apabila tindakan bilas lambung dilakukan dalam waktu 60 menit konsumsi benda asing. Berdasarkan position paper tersebut, tidak ada kondisi di mana “bilas lambung dapat memungkinkan untuk dilakukan”.[2]

Bilas lambung juga dapat dihubungkan dengan berbagai macam komplikasi yang membahayakan nyawa, termasuk aspirasi, pneumonia, perforasi gaster dan esofagus, laryngospasme, hipoksia, infeksi, disritmia, pneumothorax, dan imbalans elektrolit.

Pasien yang dilakukan bilas lambung memiliki kejadian pneumonia aspirasi yang lebih tinggi dibandingkan yang hanya mendapatkan karbon aktif saja, walaupun sudah dilakukan intubasi. Tindakan bilas lambung juga dapat menyebabkan propulsi isi gaster ke usus kecil. Oleh sebab itu, bilas lambung dapat memperparah absorpsi racun dibandingkan mengeluarkannya.[4,5]

Kontraindikasi untuk bilas lambung adalah:

  • Abnormalitas kraniofasial
  • Cedera kepala
  • Airway tidak baik atau pasien berisiko aspirasi, seperti pada kasus penurunan kesadaran dan tidak menggunakan endotracheal tube (ETT)

  • Pasien berisiko perdarahan atau perforasi gaster, seperti pada pasien yang baru melakukan operasi
  • Keracunan oleh suatu benda korosif asam atau basa
  • Penolakan dan ketidakmauan pasien untuk berkooperasi merupakan kontraindikasi relatif[1,2,4]

Pertimbangan Melakukan Bilas Lambung

Walau bilas lambung sudah jelas diperlihatkan sebagai tidak bermanfaat bagi pasien yang keracunan, masih banyak fasilitas kesehatan yang melakukan tindakan ini. Suatu studi internasional multisenter yang menilai variabilitas dalam tindakan dekontaminasi gastrointestinal pada kasus keracunan di berbagai layanan kesehatan yang telah diterbitkan pada tahun 2017 melaporkan bahwa tindakan dekontaminasi gastrointestinal masih banyak dilakukan.

Hasil penelitian melaporkan 49.1% pasien diberikan karbon aktif, 36.1% karbon aktif dan bilas lambung, 13.9% bilas lambung saja, dan 0.9% induksi muntah. Pada semua kasus tersebut, hanya 45.8% dari semua tindakan dekontaminasi gastrointestinal dapat dinilai tepat.[6]

Tingkat kematian keracunan oleh karena tindakan diri sendiri sangatlah lebih tinggi di negara berkembang (10-20%) dibandingkan negara maju(<0.5%). Hal ini dikarenakan tindakan bilas lambung yang masih banyak dilakukan di negara-negara berkembang tersebut dibandingkan di negara maju, tata laksana yang kurang memadai di negara berkembang, serta racun yang dikonsumsi pada daerah desa dan perkampungan sangat berbeda dengan yang umum dikonsumsi di perkotaan negara maju.

Pestisida yang mengandung bermacam zat toksik seperti aluminum phosphide, paraquat, dan organofosfat sering ditemukan pada kasus keracunan di desa dan perkampungan, berbeda dari perkotaan negara maju di mana kasus keracunan lebih banyak disebabkan oleh konsumsi obat-obatan yang berlebih.

Selain itu, tindakan bilas lambung juga masih dilakukan karena rendahnya standar pendidikan medis dan pengetahuan mengenai manajemen pasien keracunan. Berdasarkan data ini, tindakan bilas lambung dapat terlihat seperti suatu tindakan yang dapat dipertimbangkan dalam kasus keracunan.[5,7]

Suatu studi yang dilakukan di Sri Lanka pada tahun 2007 melaporkan bahwa hampir semua kasus keracunan yang terlibat dalam studi tersebut dilakukan tindakan bilas lambung tanpa melihat waktu konsumsi racun, jumlah yang dikonsumsi, serta jenis racun yang dikonsumsi. Banyak tindakan bilas lambung dilakukan pada pasien yang tidak menyetujui tindakannya sehingga terjadi aspirasi dan perburukan kondisi.[7]

Berdasarkan literatur yang ada, telah terlihat bahwa pengamanan jalan napas yang baik sangat dibutuhkan apabila akan melakukan tindakan bilas lambung. Sarana medis yang terbatas merupakan suatu tantangan bagi klinisi di negara berkembang dalam mengobati pasien yang keracunan dan pemilihan dalam melakukan bilas lambung atau tidak.[5,7]

Kesimpulan

Penanganan kasus keracunan mencakup penanganan umum berupa penilaian risiko dan penanganan kegawatdaruratan (airway, breathing, circulation) dan penanganan keracunan berupa dekontaminasi, peningkatan eliminasi toksin, serta pemberian antidot yang sesuai.

Bilas lambung sangat tidak dianjurkan karena memiliki risiko komplikasi yang melebihi potensi manfaat terapi, seperti aspirasi, pneumonia, perforasi gaster dan esofagus, laryngospasme, hipoksia, infeksi, disritmia, pneumothorax, imbalans elektrolit, dan propulsi racun.

Walau sudah banyak ditinggalkan pada negara-negara barat, negara-negara berkembang masih banyak melakukan tindakan bilas lambung. Hal ini umumnya dilakukan pada layanan kesehatan dengan fasilitas terbatas tanpa adanya antidot racun dan peralatan tata laksana yang adekuat.

Rendahnya standar pendidikan kedokteran dan pengetahuan yang buruk mengenai manajemen pasien keracunan juga merupakan faktor yang berperan kepada seringnya tindakan ini dilakukan. Keputusan bilas lambung pada akhirnya bergantung pada klinisi dengan mempertimbangkan risiko komplikasi dan ketersediaan terapi lain.

Referensi