Budesonide-Formoterol vs Fluticasone-Salmeterol untuk Terapi Penyakit Paru Obstruksi Kronis – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Comparative Effectiveness of Budesonide/Formoterol Combination and Fluticasone/Salmeterol Combination Among Chronic Obstructive Pulmonary Disease Patients New to Controller Treatment: A US Administrative Claims Database Study

Kern DM, et al. Comparative effectiveness of budesonide/formoterol combination and fluticasone/salmeterol combination among chronic obstructive pulmonary disease patients new to controller treatment: a US administrative claims database study. Respiratory Research. 2015;16(1):52. PMID: 25899176.

Abstrak

Latar belakang: kombinasi kortikosteroid bersama long-acting β-2 agonist (ICS/LABA) inhalasi telah menjadi terapi lini pertama untuk pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan riwayat eksaserbasi. Namun, belum ada percobaan klinis acak yang membandingkan exacerbation rate pada pasien PPOK yang mendapatkan kombinasi budesonide/formoterol (BFC) dan fluticasone propionate/salmeterol (FSC).

Saat ini data yang tersedia hanyalah data komparatif yang masih terbatas. Studi ini membandingkan efikasi nyata (real world) terapi BFC dengan FSC pada matched cohort pasien PPOK yang berlokasi di unit-unit perawatan Amerika Serikat.

Metode: peneliti mengidentifikasi database dan melakukan follow-up selama 12 bulan terhadap pasien PPOK yang naif terhadap ICS/LABA dan yang memulai terapi BFC atau FSC antara 1 Maret 2009 hingga 31 Maret 2012 di seluruh unit perawatan yang tersebar di Amerika Serikat. Tanggal indeks didefinisikan sebagai peresepan pertama klaim farmasi yang termasuk di rentang tersebut.

Pasien yang terdiagnosis sebagai kasus kanker atau pengguna kronis kortikosteroid oral (≥180 hari) dalam waktu 120 hari sebelum tanggal indeks dieksklusi dari studi ini. Pasien yang diikutsertakan lalu dicocokkan 1:1 menurut karakteristik demografi dan pra-inisiasi klinis, dengan menggunakan propensity score dari random forest model.

Luaran efikasi primer adalah angka eksaserbasi PPOK, sedangkan luaran sekunder adalah angka eksaserbasi menurut tipe kejadian dan utilisasi sumber daya pelayanan kesehatan. Luaran pneumonia meliputi rate dari setiap diagnosis pneumonia maupun utilisasi sumber daya pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan pneumonia.

Hasil: proses identifikasi pencocokan dari 3.788 pasien yang menggunakan BFC dan 6.439 pasien yang menggunakan FSC menghasilkan 3.697 pasien yang matched di masing-masing grup. Para pasien dipasangkan secara seimbang menurut umur (rerata: 64 tahun), gender (BFC: 52% perempuan; FSC: 54%), penggunaan terapi terkait PPOK sebelumnya, utilisasi pelayanan kesehatan, dan kondisi komorbidnya.

Selama follow-up, tidak ditemukan perbedaan bermakna antara pasien grup BFC dan FSC dalam hal jumlah keseluruhan eksaserbasi terkait PPOK (rate ratio (RR 0=1,02; 95% CI 0,96–1,09; p=0,56) ataupun menurut tipe kejadian.

Selain itu, tidak ada perbedaan bermakna antara rawat inap terkait PPOK (RR=0,96), kunjungan ke UGD yang terkait PPOK (RR=1,11), dan kunjungan klinik rawat jalan yang terkait PPOK dengan atau tanpa antibiotik (RR=1,01).

Proporsi pasien yang terdiagnosis pneumonia selama periode pascaindeks juga tidak berbeda signifikan antara kedua grup (BFC=17,3%; FSC=19%; odds ratio=0,92; 95% CI 0,81–1,04; p=0,19), termasuk utilisasi pelayanan kesehatan yang terkait pneumonia berdasarkan lokasi perawatan.

Kesimpulan: pada pasien PPOK yang baru mendapatkan terapi ICS/LABA di kondisi real-world, tidak ada perbedaan eksaserbasi terkait PPOK ataupun kejadian pneumonia antara grup terapi budesonide/formoterol (BFC) dan fluticasone propionate/salmeterol (FSC).

Budesonide-Formoterol vs Fluticasone-Salmeterol untuk Terapi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (2)-min

Ulasan Alomedika

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) sering diberikan terapi rumatan berupa paduan ICS/LABA inhalasi. Dua paduan yang umum digunakan adalah budesonide/formoterol (BFC) dan fluticasone propionate/salmeterol (FSC). Namun, sejauh ini percobaan acak klinis yang membandingkan efikasi kedua kombinasi ini pada pasien PPOK masih terbatas.

Data yang ada umumnya hanya menunjukkan perbandingan tidak langsung dengan berbagai perbedaan pada definisi luaran yang dinilai dan variabilitas derajat keparahan penyakit, sehingga perbandingan efikasi masih belum konklusif. Studi ini bertujuan untuk membandingkan efikasi BFC dan FSC secara langsung.[1]

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang menggunakan database klaim administrasi di seluruh wilayah Amerika Serikat (HealthCore Integrated Research Environment) terhadap pasien PPOK naif yang baru menggunakan BFC (160/4,5 µg) atau FSC (250/50 µg) di antara 1 Maret 2009 hingga 31 Maret 2012, yang diamati selama 12 bulan. Tanggal indeks didefinisikan sebagai peresepan pertama menurut klaim farmasi yang masuk di rentang waktu tersebut.

Kriteria inklusi studi ini meliputi: (1) semua pasien yang didiagnosis PPOK naif terhadap terapi controller, yang baru mulai menggunakan terapi ICS/LABA (BFC atau FSC) yang sesuai dengan tanggal indeks di atas; (2) usia pasien sekurang-kurangnya 40 tahun di tanggal indeks; (3) memiliki asuransi kesehatan kontinu sekurang-kurangnya 12 bulan dengan eligibilitas medis maupun farmasi.

Kriteria eksklusi meliputi: (1) pasien yang didiagnosis kanker; (2) pasien yang sudah mendapatkan terapi kortikosteroid oral ≥180 hari sebelum tanggal indeks.

Pasien-pasien tersebut (yang menggunakan BFC atau FSC) kemudian dicocokkan 1:1 menurut karakteristik demografi dan pra-inisiasi klinis, dengan menggunakan propensity score dari random forest model.[1]

Ulasan Hasil Penelitian

Luaran efikasi primer adalah angka eksaserbasi PPOK (jumlah eksaserbasi dalam 12 bulan setelah tanggal indeks), sedangkan luaran sekunder adalah angka eksaserbasi menurut tipe kejadian dan utilisasi sumber daya pelayanan kesehatan maupun kejadian pneumonia.

Hasil analisis luaran primer menunjukkan bahwa covariate adjusted rate eksaserbasi PPOK tidak berbeda signifikan antara pasien PPOK naif yang menggunakan BFC (exacerbation rate=0,88) atau FSC (exacerbation rate=0,86) dalam kurun waktu penggunaan 12 bulan sejak tanggal indeks (RR=1,02; 95% CI 0,96–1,09; p=0,56).

Perbedaan yang tidak signifikan ditemukan pula pada angka eksaserbasi menurut tipe kejadian, yakni rawat inap, kunjungan ke unit gawat darurat, ataupun penggunaan kortikosteroid oral atau antibiotik dalam 10 hari setelah kunjungan rawat jalan.  Analisis sensitivitas menemukan hasil konsisten di antara kedua grup terapi.

Hasil analisis luaran sekunder menemukan tidak ada perbedaan bermakna dalam hal waktu untuk eksaserbasi pertama (HR 1,03; 95% CI 0,96-1,10; p=0,45) antara kedua grup. Penggunaan sumber daya pelayanan kesehatan pun tampak serupa di antara kedua grup, baik pada kasus rawat inap, kunjungan ke unit gawat darurat, ataupun kunjungan rawat jalan.

Pada penilaian luaran pneumonia, ditemukan bahwa proporsi pasien yang terdiagnosis pneumonia selama periode pasca tanggal indeks tidak berbeda signifikan antara kedua grup (BFC=17,3%; FSC =19%; odds ratio=0,92; 95% CI 0,81-1,04; p=0,19) termasuk utilisasi pelayanan kesehatan terkait pneumonia berdasarkan lokasi perawatan. Waktu hingga pneumonia pertama setelah tanggal indeks juga tidak berbeda bermakna antara kedua grup (HR 0,92; 95%CI 0,83-1,02; p=0,12).[1]

Kelebihan Penelitian

Ada sejumlah hal yang menjadi kekuatan studi ini. Pertama, studi ini menyajikan data real world untuk perbandingan kedua jenis terapi rumatan PPOK yang sudah tersedia secara luas. Kedua, studi ini turut melakukan analisis sensitivitas dalam menguji konsistensi luaran yang dinilai.

Ketiga, penggunaan propensity score matched menghasilkan karakteristik baseline yang lebih seimbang antara grup yang dibandingkan, sehingga mengurangi potensi bias analisis. Keempat, analisis penilaian kejadian pneumonia telah menggunakan data rekam medis yang sudah divalidasi.[1]

Limitasi Penelitian

Studi ini mempunyai sejumlah limitasi. Pertama, studi ini hanya melibatkan data-data retrospektif dari pasien yang memakai asuransi kesehatan komersial di Amerika Serikat, yang dicatat untuk keperluan tagihan dan reimbursement. Oleh karena itu, ada kemungkinan data kurang akurat akibat kekeliruan coding dan inkonsistensi. Studi ini juga kekurangan data klinis yang jelas (seperti status merokok ataupun baseline fungsi paru pasien) karena data primer berasal dari data administratif.

Kedua, studi ini menggunakan data real world setting, di mana pasien tidak diwajibkan untuk menggunakan obat-obatan indeks secara kontinu selama follow-up. Oleh sebab itu, adherence terapi cukup rendah (sekitar 34% pasien di grup BFC dan 33% pasien di grup FSC hanya satu kali saja mengisi index medication saat follow-up). Pelaku studi tidak bisa menyingkirkan kemungkinan partisipan menggunakan terapi lain di luar ICS/LABA yang sedang dinilai.

Ketiga, durasi studi ini cukup singkat (hanya 1 tahun) untuk menilai efektivitas terapi rumatan PPOK, terutama untuk menilai kejadian yang lebih jarang seperti pneumonia. Keempat, studi ini bukan merupakan penelitian acak, sehingga hasil mungkin dapat mendeteksi hubungan asosiatif tetapi tidak kausal.[1]

Aplikasi Hasil Penelitian Di Indonesia

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa baik kombinasi budesonide-formoterol maupun kombinasi fluticasone propionate-salmeterol memiliki efikasi yang mirip untuk tata laksana rumatan PPOK. Oleh karena itu, Dokter di Indonesia dapat memberikan salah satu dari kedua kombinasi obat-obatan ini sesuai dengan ketersediaan obat di masing-masing daerah dan status medis pasien yang diterapi.

Laporan dari GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) juga telah menyatakan bahwa kombinasi obat inhalasi berupa kortikosteroid dan LABA lebih efektif daripada terapi tunggal untuk memperbaiki fungsi paru dan mengurangi angka eksaserbasi pada pasien PPOK sedang hingga sangat berat.[1,2]

Referensi