Analisis Guideline Emboli Paru dari European Society of Cardiology 2019

Oleh :
dr. Queen Sugih Ariyani

Di tahun 2019, European Society of Cardiology (ESC) mengeluarkan guideline terbaru untuk diagnosis dan tata laksana emboli paru. Guideline ini bertujuan untuk membantu tenaga medis memilih strategi manajemen terbaik dengan mempertimbangkan luaran yang mungkin terjadi, serta rasio risiko dan manfaat suatu sarana diagnostik maupun terapeutik. Guideline ini merupakan update dari guideline serupa yang dikeluarkan di tahun 2014 karena saat ini telah ada studi yang lebih baru.

Beberapa rekomendasi baru dalam guideline ini adalah diagnosis emboli paru dengan menggunakan cut-off D-dimer yang disesuaikan dengan usia pasien dan probabilitas klinis, stratifikasi risiko emboli paru, rekomendasi terapi dengan non-vitamin K antagonist oral anticoagulant (NOAC), pertimbangan untuk memperpanjang terapi antikoagulan, pemulangan yang lebih cepat untuk pasien emboli paru berisiko rendah, dan perawatan khusus bagi pasien dengan kanker atau kehamilan.[1,2]

shutterstock_1653904351-min

Update Rekomendasi Diagnosis Emboli Paru

D-dimer dapat meningkat dalam plasma pada kondisi trombosis akut akibat aktivasi simultan sistem koagulasi dan fibrinolisis. Pemeriksaan D-dimer biasanya digunakan untuk menyingkirkan diagnosis emboli paru karena memiliki nilai prediksi negatif yang tinggi. Namun, spesifisitas D-dimer menurun seiring bertambahnya usia.

Penggunaan cut-off D-dimer yang disesuaikan dengan usia (usia x 10 mcg/L, untuk pasien >50 tahun) dapat meningkatkan kemampuan diagnostik D-dimer. Sebuah studi kohort multinasional terhadap 3346 subjek menyatakan bahwa kombinasi penilaian probabilitas klinis dan cut-off D-dimer yang disesuaikan usia lebih akurat menyingkirkan diagnosis emboli paru daripada cut-off D-dimer standar yang lama (500 µg/L).

ESC menyatakan bahwa hasil negatif dari D-dimer yang disesuaikan dengan usia pada pasien yang memiliki probabilitas klinis rendah–menengah dapat menjadi acuan penyingkiran diagnosis emboli paru (rekomendasi kelas IIa, level bukti B).[1,3]

Update Rekomendasi Penilaian Risiko Emboli Paru

Stratifikasi risiko awal emboli paru adalah dengan menilai tanda dan gejala klinis ketidakstabilan hemodinamik. Sementara itu, pada pasien dengan hemodinamik stabil, stratifikasi risiko dinilai berdasarkan: (i) indikator klinis, laboratorium, dan pencitraan yang sebagian besar berkaitan dengan disfungsi ventrikel kanan; (ii) komorbiditas dan kondisi lain yang dapat memperburuk prognosis.

Kedua hal ini dapat dievaluasi dengan skor PESI (Pulmonary Embolism Severity Index) atau sPESI (simplified Pulmonary Embolism Severity Index). Dalam pedoman baru, ESC merekomendasikan klinisi untuk melakukan penilaian disfungsi ventrikel kanan (baik melalui pencitraan atau pemeriksaan laboratorium) meskipun skor PESI rendah atau skor sPESI 0 (rekomendasi kelas IIa, level bukti B).

Rekomendasi tersebut didasarkan pada hasil studi yang menunjukkan bahwa disfungsi ventrikel kanan pada pasien emboli paru risiko rendah (berdasarkan PESI dan sPESI) dapat meningkatkan risiko kematian dini dengan OR 4,19 (95% CI 1,39–12,58).[1,4]

Update Rekomendasi Tata Laksana Emboli Paru Akut

ESC juga memberikan update rekomendasi tata laksana emboli paru akut dalam hal penggunaan antikoagulan dan trombolitik.

Penggunaan Antikoagulan

Pada pasien dengan emboli paru akut, antikoagulan merupakan terapi yang dianjurkan untuk mencegah kematian dini dan tromboembolisme vena fatal berulang. Antikoagulan harus diberikan selama menunggu hasil tes diagnostik pada pasien dengan probabilitas klinis emboli paru yang tinggi atau menengah. Antikoagulan parenteral yang digunakan adalah low molecular weight heparin (LMWH) atau fondaparinux subkutan atau unfractionated heparin (UFH) intravena.

Pada pasien yang diindikasikan mendapat antikoagulan oral dan dapat mentoleransi non-vitamin K antagonist oral anticoagulant (NOAC) seperti apixaban, dabigatran, edoxaban, atau rivaroxaban, NOAC menjadi terapi pilihan utama dibandingkan vitamin K antagonist (VKA) seperti warfarin. Rekomendasi ini berkelas I dan berlevel bukti A. Hal ini berbeda dengan rekomendasi ESC di tahun 2014 di mana NOAC masih menjadi terapi alternatif setelah VKA.[1,2]

Rekomendasi ini didasarkan pada hasil beberapa uji klinis acak yang menunjukkan bahwa efikasi NOAC noninferior bila dibandingkan VKA dan NOAC memiliki risiko perdarahan yang lebih rendah.[5-8]

Penggunaan Trombolitik

Pada tata laksana akut, pedoman ESC yang baru juga menyatakan kembali pentingnya terapi trombolitik, yang cenderung kurang digunakan. Trombolitik dapat memperbaiki obstruksi paru, pulmonary artery pressure (PAP), dan pulmonary vascular resistance (PVR) dengan lebih cepat daripada unfractionated heparin (UFH) saja. Perbaikan ini diikuti dengan penurunan dilatasi ventrikel kanan pada ekokardiografi.

Trombolitik diindikasikan untuk emboli paru berisiko tinggi dan untuk pasien dengan perburukan hemodinamik setelah pengobatan antikoagulan. Berkaitan dengan hal ini, terdapat perubahan kelas rekomendasi dari kelas IIa (2014) menjadi kelas I (2020). Namun, pemberian terapi trombolitik tentunya harus mempertimbangkan kontraindikasi pada tiap pasien. Pada pasien emboli paru risiko tinggi tanpa kontraindikasi absolut, trombolitik memberikan manfaat yang lebih besar dibanding risiko.[1,9]

Update Rekomendasi Tata Laksana Emboli Paru Kronis

Pada pedoman yang terbaru, ESC memberikan arahan mengenai durasi pemberian antikoagulan, kapan antikoagulan harus dihentikan setelah 3 bulan, dan kapan terapi harus diperpanjang. Rekomendasi ini didasarkan pada penilaian faktor risiko rekurensi tromboemboli vena yang diklasifikasikan menjadi risiko tinggi, menengah dan rendah.

Terapi antikoagulan diindikasikan untuk diberikan selama ≥3 bulan pada pasien emboli paru. Berikut ini rekomendasi durasi pemberian antikoagulan:

  • Pada pasien dengan emboli paru pertama kali atau tromboemboli vena yang terjadi secara sekunder akibat faktor risiko transien/reversibel, antikoagulan dapat dihentikan setelah 3 bulan penggunaan
  • Pada pasien yang mengalami tromboemboli vena rekuren (dengan episode emboli paru atau deep vein thrombosis sebelumnya) yang tidak terkait dengan faktor risiko transien/reversibel, penggunaan antikoagulan harus tetap dilanjutkan sampai batas waktu yang tidak ditentukan
  • Pada pasien dengan antiphospholipid antibody syndrome, antikoagulan yang disarankan adalah VKA dengan durasi pengobatan jangka panjang
  • Pada pasien emboli paru tanpa kanker yang harus menerima pengobatan antikoagulan jangka panjang, pengurangan dosis NOAC dapat dipertimbangkan setelah 6 bulan pemakaian antikoagulan oral (dosis apixaban menjadi 2,5 mg, 2 kali sehari, sementara dosis rivaroxaban menjadi 10 mg, 1 kali sehari)[1,10,11]

Update Rekomendasi Kriteria Pemulangan Pasien Emboli Paru

Pasien dengan emboli paru risiko rendah dapat dipertimbangkan untuk pemulangan lebih awal (melanjutkan pengobatan di rumah) jika rawat jalan memungkinkan dan pengobatan antikoagulan tersedia (rekomendasi kelas IIa, level bukti A).[1,12,13]

Update Rekomendasi Terapi Emboli Paru pada Pasien Kanker

Low molecular weight heparin (LMWH) telah menjadi terapi standar untuk pasien emboli paru dengan kanker. LMWH menurunkan risiko tromboemboli vena jika dibandingkan VKA, dengan komplikasi perdarahan yang kurang lebih sama. ESC lebih merekomendasikan penggunaan LMWH subkutan yang disesuaikan usia daripada VKA pada pasien emboli paru dengan kanker (rekomendasi kelas IIa, level bukti A).

Dalam praktik klinis, penggunaan LMWH mungkin memiliki kendala, yakni biaya yang cukup tinggi. Studi terbaru mencetuskan NOAC sebagai alternatif LMWH karena NOAC memiliki biaya yang lebih terjangkau dan administrasinya dapat secara oral.[1]

Saat ini terdapat 2 NOAC yang telah diuji acak klinis, yaitu edoxaban dan rivaroxaban. Hasil menunjukkan risiko rekurensi tromboemboli vena yang lebih rendah pada pasien yang mendapat edoxaban atau rivaroxaban dibandingkan LMWH. Namun, penggunaan NOAC pada pasien kanker berisiko meningkatkan kejadian perdarahan, terutama pada pasien dengan kanker gastrointestinal. ESC menganjurkan NOAC dipertimbangkan sebagai alternatif LMWH pada pasien kanker nongastrointestinal.[1,14]

Update Rekomendasi Terapi Emboli Paru pada Pasien Hamil

LMWH menjadi pengobatan pilihan untuk emboli paru selama kehamilan. Tidak seperti VKA dan NOAC, LMWH tidak melewati sawar plasenta sehingga tidak menimbulkan risiko perdarahan janin atau teratogenisitas.

Selain itu, meskipun unfractionated heparin (UFH) juga aman untuk kehamilan, LMWH memiliki farmakokinetik yang lebih dapat diprediksi sehingga menjadi tata laksana pilihan. ESC merekomendasikan terapi LMWH dosis tetap berdasarkan berat badan pada wanita hamil (di awal kehamilan) dengan hemodinamik yang stabil.[1,15]

Kesimpulan

Pada guideline terbaru dari ESC 2019, terdapat beberapa perubahan rekomendasi terkait diagnosis dan tata laksana emboli paru. Beberapa poin yang dapat diambil adalah: (i) rekomendasi penggunaan cut-off nilai D-dimer yang disesuaikan usia dan probabilitas klinis pada pasien emboli paru risiko rendah–menengah; (ii) rekomendasi untuk mengevaluasi fungsi ventrikel kanan melalui pencitraan dan pemeriksaan laboratorium walaupun skor PESI rendah; (iii) rekomendasi penggunaan trombolitik untuk tata laksana akut pasien emboli paru dengan ketidakstabilan hemodinamik.

Selain itu, update yang lain adalah: (i) penggunaan NOAC sebagai antikoagulan pilihan untuk tata laksana emboli paru dibandingkan VKA; (ii) penurunan dosis NOAC untuk dipertimbangkan setelah pemberian selama 6 bulan pada pasien yang diindikasikan mendapat terapi antikoagulan jangka panjang; (iii) pertimbangan pemulangan pasien emboli paru dengan risiko rendah secara lebih awal.

LMWH menjadi tata laksana pilihan pada pasien kanker, dengan NOAC (edoxaban atau rivaroxaban) sebagai alternatif pada pasien kanker nongastrointestinal. LMWH juga dapat diberikan pada pasien emboli paru pada kehamilan karena tidak menembus sawar plasenta.

Referensi