Penggunaan Digoxin Pada Gagal Jantung: Keamanan dan Manfaat

Oleh :
dr.N Agung Prabowo, Sp.PD, M.Kes

Digoxin (digitalis) telah digunakan pada kasus gagal jantung untuk waktu yang lama, namun penelitian terbaru mempertanyakan keamanan dan manfaatnya. Digoxin mempunyai efek terapi yang sempit, sehingga penggunaannya menjadi terbatas dan kontroversi. Penderita gagal jantung mengalami penurunan ejeksi fraksi, pemberian terapi digoxin pada kondisi ini adalah untuk meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung. Selain itu, digoxin juga digunakan pada fibrilasi atrial karena dapat menurunkan kecepatan konduksi AV node. Namun, beberapa penelitian baru menyatakan peningkatan mortalitas pasien gagal jantung yang mendapatkan terapi digoxin. Karena itu penting mengetahui seni penggunaan digoxin, seberapa aman dan manfaatnya dalam tatalaksana gagal jantung.

Mekanisme Kerja Digoxin

Digoxin termasuk kelompok obat yang memiliki efek spesifik pada miokardium. Efek menguntungkan dari digoxin dihasilkan dari efek langsung pada otot jantung, serta  efek tidak langsung pada sistem kardiovaskular yang dimediasi oleh sistem saraf otonom. Mekanisme kerja digoxin adalah:

  • peningkatan kekuatan dan kecepatan kontraksi sistolik miokard (aksi inotropik positif)
  • penurunan tingkat aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin (efek penonaktifan neurohormonal)
  • memperlambat denyut jantung dan menurunkan kecepatan konduksi melalui AV node (efek vagomimetik)[1,2]

shutterstock_572457790-min

Pada kasus gagal jantung (congestive heart failure/CHF), mekanisme kerja digoxin dimediasi oleh efek inotropik dan neurohormonal yang positif. Sedangkan efek digoxin pada pasien atrial fibrillation (AF) berhubungan dengan mekanisme vagomimetik. Pemberian dosis tinggi digoxin akan meningkatkan aliran simpatis dari sistem saraf pusat yang menjadi faktor penting dalam toksisitas digitalis. Akumulasi digoxin dalam serum dapat mencapai konsentrasi stabil pada waktu 5-7 hari.[1,2]

Penelitian Keamanan dan Efektifitas Digoxin

Banyak kontroversi tentang efek samping dan manfaat pemberian digoxin/digitalis akhir-akhir ini. Penelitian terdahulu, oleh Digitalis Investigation Group (DIG) pada tahun 1997, menyimpulkan bahwa penggunaan digoxin menunjukkan kecenderungan menurunkan kematian akibat congestive heart failure (CHF), serta menurunkan kejadian rawat inap karena CHF.[1]

Dengan semakin banyaknya penelitian penggunaan digoxin, ditemukan hubungan linear yang signifikan antara mortalitas penderita atrial fibrillation (AF) dengan atau tanpa gagal jantung terhadap konsentrasi serum digoxin. Risiko tertinggi dari semua penyebab kematian dikaitkan dengan konsentrasi serum digoxin tinggi 1,6-2,0 ng/ml. Di sisi lain, konsentrasi digoxin serum terendah 0,5-0,7 ng/ml secara signifikan mengurangi semua risiko kematian. Temuan ini muncul konsisten dengan manfaat terapi untuk digoxin pada pasien dengan CHF dengan penurunan fraksi ejeksi pada kisaran konsentrasi serum digoxin 0,5-0,7 ng/ml. Percobaan DIG melaporkan bahwa manfaat digoxin pada pria CHF dengan ejection fraction (EF) ≤ 45% optimal pada tingkat serum digoxin 0,5-0,8 ng/ml.[1,7]

Penelitian baru tentang penggunaan digoxin pada kasus CHF dan AF, di antaranya pada tahun 2018, ARISTOTLE (Apixaban for Reduction in Stroke and Other Thromboembolic Events in Atrial Fibrillation) clinical trial, subjek 17.897 pasien dengan AF. Didapatkan kesimpulan bahwa pasien dengan konsentrasi digoxin dalam serum > 1,2 ng/ml meningkat mortalitasnya 56%, dibandingkan pasien tanpa digoxin. Dilaporkan bahwa hazard of death meningkat 19% setiap peningkatan 0,5 ng/ml digoxin dalam serum, terlepas ada tidaknya CHF. Penelitian ARISTOTLE ini menunjukkan kepada dokter untuk harus mempertimbangkan memberi digoxin pada pasien AF, misalnya pada kondisi hipotensi, serta perlu diingat bahwa pemberian digoxin harus dengan pengawasan klinis ketat.[1,8]

Meta-analisis pada tahun 2016, melakukan tinjauan pada 47 randomized controlled trials yang dilakukan oleh European Society of Cardiology (ESC) dan American College of Cardiology Foundation (ACCF)/American Heart Association (AHA). Didapatkan bahwa risiko rawat inap penderita CHF dapat diturunkan dengan menggunakan terapi renin angiotensin aldosterone system/RAAS inhibitor (menurun 24–37%), digoxin (menurun 60%), beta bloker (menurun 22%), atau terapi cardiac resynchronization (menurun 36%). Tidak disebutkan bahwa digoxin dapat menurunkan mortalitas.[1,9]

Penelitian lain yang juga menunjukkan kontradiksi penggunaan digoxin pada kasus AF adalah meta-analisis tahun 2015, melibatkan 17 studi yang mencakup 408.660 pasien, melaporkan bahwa penggunaan digoxin meningkatkan 14% mortalitas karena sebab apapun pada pasien AF dengan CHF,  dan meningkatkan 36% mortalitas pada pasien tanpa CHF.[6]

Penggunaan Digoxin dalam Guideline

European Society of Cardiology (ESC) dalam Acute and Chronic Heart Failure Guidelines menyebutkan bahwa pemberian digoxin dapat dipertimbangkan untuk pasien CHF simtomatik, dengan penurunan fraksi ejeksi untuk mengurangi risiko rawat. Pada pasien dengan CHF dan AF simptomatik, digoxin mungkin berguna untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, tetapi hanya direkomendasikan ketika opsi terapi lain tidak dapat dilakukan.[3]

Dari Pedoman Gagal Jantung Perhimpunan Kardiologi Indonesia, penggunaan digoxin diberikan pada kondisi tertentu, yaitu untuk menurunkan risiko hospitalisasi pada pasien gagal jantung dengan EF ≤ 45%, disertai gejala yang persisten (New York Heart Association/NYHA klasifikasi II-IV). Pemberian digoxin juga hanya bila pasien intoleran terhadap ACEI (seperti lisinopril), ARB (seperti valsartan), beta bloker (seperti bisoprolol) dan antagonis reseptor mineralokortikoid.[4]

Pada tahun 2016, Komite Atrial Fibrillation Guidelines Society Cardiovascular Kanada menyebutkan bahwa digoxin diindikasikan untuk mengontrol denyut nadi (rate control), ketika obat lain seperti beta bloker atau kalsium inhibitor tidak memadai, ada kontraindikasi obat lain, atau gejala seperti hipotensi tidak berhasil ditoleransi. Meskipun demikian, Canadian Cardiovascular Society menyatakan digoxin sebagai obat lini kedua untuk rate control pada pasien AF.[5]

Kesimpulan

Sebagian besar studi observasional yang mengevaluasi penggunaan digoxin dalam atrial fibrillation (AF) tanpa gagal jantung (congestive heart failure/CHF) menunjukkan peningkatan mortalitas. Berdasarkan potensi risiko dan manfaat, serta keberadaan obat-obatan alternatif, peran digoxin sangat terbatas. Peran digoxin yang tepat adalah untuk pasien dengan AF disertai CHF sistolik, atau setelah infark miokard.[2]

Penggunaan digoxin sebaiknya dengan pemantauan kadar serum obat. Kadar obat digoxin yang paling aman adalah 0,5-0,8 ng/ml, dan kadar obat yang lebih tinggi tidak memberikan efek terapi. Evidence Based penggunaan digoxin adalah ketika rate control untuk pasien dengan AF dengan respon ventrikel cepat dan hipotensi, karena semua obat rate control lainnya seperti metoprolol, diltiazem, dan verapamil akan menyebabkan penurunan tekanan darah.[2]

Referensi