Kontroversi Benzodiazepin sebagai Tata Laksana Delirium

Oleh :
dr. Damba Bestari, Sp.KJ

Benzodiazepin umum digunakan sebagai obat sedasi pada delirium akut. Beberapa studi menyatakan bahwa belum ada bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan benzodiazepin, kecuali pada kasus tertentu, yaitu delirium terminal dan delirium tremens. Penggunaan benzodiazepine di luar kedua indikasi tersebut masih harus diselidiki dan dilakukan dengan hati-hati karena obat ini mempunyai risiko mencetuskan atau memperburuk delirium dan sedasi berlebih.

Delirium merupakan kondisi yang paling sering muncul sebagai komplikasi neurologis pada pasien dengan kondisi kritis. Delirium dapat terjadi pada 11–24% pasien rawat inap di rumah sakit. Kondisi ini berdampak pada morbiditas, mortalitas, dan finansial pasien maupun keluarga. Oleh karena itu, tata laksananya harus dilakukan dengan segera dan secara terintegrasi, baik secara farmakologis maupun nonfarmakologis.[1]

shutterstock_1484488373-min

Sekilas tentang Delirium

Delirium adalah sindrom klinis yang ditandai dengan kebingungan yang berfluktuasi, berkurangnya kewaspadaan, dan menurunnya kesadaran terhadap lingkungan sekitar yang diakibatkan oleh penyebab organik atau metabolik yang mendasarinya. Delirium dapat terjadi di seluruh rangkaian layanan kesehatan dan populasi, tetapi sangat umum ditemukan pada pasien medis dan bedah.[1,2]

Sebuah tinjauan sistematis oleh Siddiqi et al menyebutkan bahwa prevalensinya mencapai 10–30% di ruang rawat inap rumah sakit umum, sementara di antara pasien medis umum angkanya sedikit lebih tinggi yaitu 33%.[3]

Literatur lain menyatakan bahwa delirium terjadi pada 11–42% pasien rawat inap, 80% pasien yang menggunakan ventilator di perawatan intensif, dan sebesar 90% pasien di unit perawatan paliatif. Diagnosis biasanya didasarkan pada pengamatan pada pasien dan informasi yang diperoleh dari perawat. Kriteria yang ditetapkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) tetap menjadi baku emas untuk mendiagnosis delirium.[4,5]

Rasionalisasi Penggunaan Benzodiazepin pada Delirium

Tata laksana delirium saat ini terdiri dari tiga unsur utama, yaitu:

  1. Identifikasi dan menghilangkan penyebab yang dapat diatasi
  2. Terapi nonfarmakologis
  3. Terapi farmakologis

Tindakan farmakologis dapat menjadi pilihan dan telah digunakan secara luas dalam mengelola gejala delirium, walaupun bukti yang mendukung masih terbatas dan bervariasi. Obat yang saat ini sering digunakan dalam praktik klinis adalah golongan benzodiazepin dan antipsikosis. Akan tetapi, penggunaan kedua obat ini mengundang pro dan kontra karena kurangnya bukti efektivitas dan adanya potensi bahaya yang cukup tinggi.

Sebuah tinjauan kepustakaan Cochrane menyimpulkan bahwa belum ada bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan benzodiazepine pada delirium, kecuali pada delirium tremens yang merupakan kondisi paling parah dari sindrom putus alkohol.[1,6]

Studi melaporkan bahwa benzodiazepin juga memiliki fungsi protektif pada pasien dengan sindrom putus alkohol, namun efektivitas terapinya masih memerlukan observasi lebih lanjut.[2,4]

Mekanisme aksi benzodiazepin terutama melibatkan peningkatan efek penghambat neurotransmitter gamma aminobutyric acid (GABA), yang menghasilkan efek sedasi dan antiansietas.

Hasil studi menunjukkan bahwa manfaat benzodiazepin paling terlihat pada pasien delirium yang secara signifikan membutuhkan sedasi, yaitu dalam proses rehabilitasi ketergantungan alkohol atau ketika antipsikosis (misalnya haloperidol dan droperidol) dikontraindikasikan, misalnya, pada penyakit Parkinson atau sindrom neuroleptik maligna. Pasien dengan kondisi tersebut sudah diobati dengan antipsikosis potensi tinggi dan gejala yang meliputi diaforesis, kekakuan otot, dan hiperpireksia dapat timbul dosis antipsikosis tinggi.[1,5]

Pada penderita delirium tremens, terjadi ketidakseimbangan neurotransmitter dan peningkatan aktivitas glutamat yang tak terkendali. Kondisi ini mengakibatkan eksitoksisitas sebagai akibat dari masuknya kalsium intraseluler dan stres oksidatif. Benzodiazepin yang bekerja meningkatkan GABA secara efektif mengurangi eksitoksisitas dengan mengembalikan keseimbangan neurotransmitter. Hal inilah yang mendasari benzodiazepin dijadikan obat pilihan pada delirium tremens.[4,7]

Pedoman Penggunaan Benzodiazepin pada Delirium Tremens

Benzodiazepin jenis long acting (diazepam, chlordiazepoxide) lebih disarankan daripada short acting (midazolam) karena memiliki metabolit aktif kerja panjang dan tingkat konsentrasi konstan dalam darah. Sifat tersebut dapat meringankan gejala putus obat dalam jangka panjang.

Terdapat tiga macam dosis regimen benzodiazepin pada delirium tremens yang secara sistematis ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 1. Pedoman Dosis Benzodiazepin pada Delirium Tremens

Regimen Dosis
Dosis percepatan awal

Dengan diazepam: tujuannya adalah untuk mencapai sedasi ringan (pasien masih memberikan respons dengan stimulasi verbal)

5 mg IV ? 5 mg IV (ulangi setelah 10 menit)

10 mg IV ? 10 mg IV (ulangi setelah 10 menit)

20 mg IV setelah 10 menit

5–20 mg IV per jam

(Dosis harus dilanjutkan hingga tercapai kondisi sedasi ringan)

Gejala yang dipicu

Dengan diazepam 10–20 mg IV setiap 1–4 jam

Dengan lorazepam: 4 mg IV diulangi setiap 10 menit sampai tujuan pada dosis percepatan awal tercapai

Bila kondisi delirium berat masih bertahan setelah 16 mg IV ? masukkan 8 mg IV bolus

Dosis tetap Tidak dipakai untuk delirium tremens, hanya untuk tata laksana pasien rawat jalan pada sindrom putus alkohol

Sumber: Grover S , Ghosh A., 2018[4]

Risiko Benzodiazepine pada Delirium

The Clinical Practice Guideline for Postoperative Delirium in Older Adults merekomendasikan bahwa benzodiazepin tidak boleh digunakan sebagai pengobatan lini pertama, kecuali ketika secara spesifik ada indikasi tertentu. Beberapa laporan telah menyatakan bahwa benzodiazepin secara signifikan meningkatkan risiko delirium. Pedoman saat ini juga menemukan korelasi antara penggunaan benzodiazepin dan peningkatan delirium pascaoperasi.

Efek samping yang paling sering dialami adalah mengantuk, pusing, dan gangguan konsentrasi. 'Efek paradoks' dapat terjadi, termasuk lekas marah, impulsif, dan kejang. Depresi pernapasan adalah efek samping benzodiazepine yang jarang tetapi sangat berbahaya dalam pengobatan jangka pendek. Satu hal yang perlu dicermati, benzodiazepin sendiri secara umum justru dapat memicu atau memperburuk delirium. Pasien usia lanjut juga berisiko tinggi mengalami delirium, sehingga benzodiazepin umumnya tidak dianjurkan pada kelompok ini karena angka kematian yang tinggi.

Dalam sebuah studi, dosis benzodiazepine yang lebih tinggi dengan duration of action lebih lama dapat menurunkan risiko terjadinya delirium.[5,7]

Benzodiazepin dan propofol dapat memengaruhi reseptor GABA. Neurotransmitter GABA merusak tidur gelombang lambat, sehingga berkontribusi pada terjadinya delirium. Pasien yang mendapat benzodiazepin juga dilaporkan tiga kali lebih mungkin untuk mengalami delirium. Dalam studi yang meneliti faktor risiko delirium pada pasien dengan ventilasi mekanik, penggunaan lorazepam secara bermakna dikaitkan dengan delirium.

Selain itu, penggunaan benzodiazepin dikaitkan dengan delirium pascaoperasi.[6,8]

Kesimpulan

Penggunaan benzodiazepine pada delirium perlu dipertimbangkan risiko dan manfaatnya. Selain itu, sangat penting untuk mendiskusikan tujuan perawatan dengan keluarga pasien. Penggunaan benzodiazepin yang rasional mengharuskan dokter untuk meresepkan obat dengan dosis dan indikasi yang tepat.

Benzodiazepin jenis long acting (diazepam, chlordiazepoxide) lebih disarankan daripada yang short acting. Efek samping yang paling sering dialami adalah mengantuk, pusing, dan gangguan konsentrasi. Satu hal yang perlu dicermati, benzodiazepin sendiri secara umum justru dapat memicu atau memperburuk delirium.

Belum ada bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan benzodiazepin pada delirium, kecuali pada delirium tremens, yang merupakan kondisi paling parah dari sindrom putus alkohol. Pada kondisi tersebut, benzodiazepin memiliki peran penting dalam tata laksana delirium tremens. Selebihnya, penggunaan benzodiazepine pada delirium adalah pilihan terakhir, dengan mempertimbangkan segala manfaat dan risiko.

Referensi