Deteksi Hipertensi Sekunder pada Anak

Oleh :
dr. Utari Nur Alifah

Hipertensi sekunder pada anak adalah hipertensi yang disebabkan oleh suatu kondisi medis yang bisa diidentifikasi. Hipertensi sekunder berbeda dengan hipertensi primer yang tidak memiliki etiologi yang jelas. Contoh hipertensi sekunder pada anak adalah hipertensi karena penyakit parenkim maupun vaskular ginjal, penyakit endokrin, dan koarktasio aorta.[1,2]

Prevalensi hipertensi pada anak di seluruh dunia adalah sekitar 4% dan dilaporkan terus meningkat karena naiknya prevalensi obesitas pada anak. Prevalensi ini bahkan diperkirakan kurang akurat karena masih banyak anak dengan hipertensi asimtomatik yang tidak terdeteksi. Hipertensi yang tidak terkelola pada anak dapat berlanjut menjadi hipertensi di masa dewasa, sehingga harus dideteksi sejak dini. Deteksi dini diharapkan dapat mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.[1-3]

HipertensiSekunderAnak

Definisi Hipertensi pada Anak

Pada anak berusia 1–13 tahun, definisi hipertensi dibuat berdasarkan distribusi tekanan darah yang diambil dari anak normal dan anak obesitas, yakni sebagai berikut:

  • Tekanan darah normal: < persentil 90
  • Tekanan darah naik: ≥ persentil 90 hingga < persentil 95, atau 120/80 mmHg hingga < persentil 95 (mana yang lebih rendah)
  • Hipertensi derajat I: ≥ persentil 95 hingga < persentil 95 + 12 mmHg, atau 130/80 hingga 139/89 mmHg (mana yang lebih rendah)
  • Hipertensi derajat II: ≥ persentil 95 + 12 mmHg, atau ≥ 140/90 mmHg (mana yang lebih rendah)[4]

Sementara itu, pada anak berusia >13 tahun, definisi yang ditetapkan adalah:

  • Tekanan darah normal: <120/<80 mmHg
  • Tekanan darah naik: 120/<80 hingga 129/<80 mmHg
  • Hipertensi derajat I: 130/80 hingga 139/89 mmHg
  • Hipertensi derajat II: ≥140/90 mmHg[4]

Hipertensi Sekunder pada Anak dan Penyebabnya

Hipertensi sekunder pada anak disebabkan oleh suatu penyakit yang mendasari. Setiap kelompok usia mempunyai kemungkinan penyakit pendasar yang bervariasi. Pada bayi baru lahir, hipertensi sekunder umumnya disebabkan oleh thrombosis atau emboli arteri renal, thrombosis vena renal, malformasi renal kongenital, koarktasio aorta, stenosis arteri renal, dan displasia bronkopulmoner.[2,4,5]

Sementara itu, penyebab paling sering pada anak berusia <6 tahun adalah penyakit parenkim ginjal, stenosis arteri renal, penggunaan obat-obatan tertentu (kortikosteroid, salbutamol, pseudoephedrine), penyakit endokrin, dan koarktasio aorta.[2,4,5]

Pada anak usia 6–10 tahun, penyebab hipertensi sekunder yang paling sering adalah penyakit parenkim renal, stenosis arteri renal, dan penyakit endokrin. Pada usia remaja, hipertensi sekunder juga dapat terjadi karena berbagai kondisi medis tersebut ataupun karena penyakit iatrogenik. Dokter juga perlu mempertimbangkan adanya kemungkinan hipertensi karena penyalahgunaan obat (kokain, amphetamine, dan methamphetamine) pada remaja.[2,4]

Selain berisiko menjadi hipertensi di masa dewasa dan risiko penyakit kardiovaskular, hipertensi pada anak dapat menyebabkan krisis hipertensi atau meningkatnya tekanan darah secara akut dengan potensi kerusakan organ target. Krisis hipertensi pada anak dapat mengancam jiwa. Oleh karena itu, hipertensi pada anak tidak boleh dianggap enteng dan perlu dideteksi serta ditangani sejak dini.[6]

Rekomendasi untuk Deteksi Hipertensi Sekunder pada Anak Sejak Dini

European Society of Hypertension (ESH) menganjurkan agar semua anak ≥3 tahun yang datang ke fasilitas kesehatan (faskes) karena suatu penyakit diperiksa tekanan darahnya. Pada anak yang lebih muda, tekanan darah diukur bila ada situasi khusus yang berisiko tinggi hipertensi, misalnya kondisi neonatus yang memerlukan perawatan intensif, penyakit jantung kongenital, penyakit renal, pemakaian obat-obat yang dapat meningkatkan tekanan darah, dan adanya bukti peningkatan tekanan intrakranial.[2]

Menurut American Academy of Pediatrics, tekanan darah perlu diukur setiap tahun pada anak mulai usia 3 tahun. Pada anak dengan obesitas, penyakit ginjal, obstruksi arkus aorta, koarktasio aorta, diabetes mellitus, atau riwayat penggunaan obat-obat yang bisa menaikkan tekanan darah, pengukuran harus dilakukan setiap anak tersebut datang ke fasilitas kesehatan.[7,8]

Metode Pengukuran Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah di fasilitas kesehatan bisa menggunakan metode auskultasi (dengan sphygmomanometer raksa atau aneroid) atau metode oscillometric (dengan alat otomatis yang sudah divalidasi untuk populasi pediatrik). Terlepas dari metode awal yang dipilih, bila hasil pengukuran pertama menunjukkan hipertensi, maka pengukuran harus diulang dua kali lagi dengan metode auskultasi pada kunjungan tersebut. Hasil pengukuran kemudian dirata-rata.[2,7]

Apabila hasil normal, pengukuran tekanan darah dapat diulang sekali setiap tahun atau lebih sering, tergantung pada tingkat risiko masing-masing pasien. Apabila hasil tidak normal, tindak lanjut diperlukan sesuai keparahan hipertensi masing-masing pasien.[7]

Follow Up Jika Hasil Menunjukkan Tekanan Darah Naik

Apabila tekanan darah pasien naik tetapi belum memasuki definisi hipertensi, pasien dapat dianjurkan untuk menjalani perubahan gaya hidup. Ulangi pengukuran dalam 6 bulan. Jika tekanan darah masih tinggi, ukur tekanan darah pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah untuk menyingkirkan kemungkinan koarktasio aorta. Bila hasil masih tinggi dalam 12 bulan, anjurkan untuk menjalani ABPM (ambulatory blood pressure monitoring) dan evaluasi diagnosis lebih lanjut.[7]

ABPM adalah pengukuran tekanan darah 24 jam yang dilakukan dalam setting aktivitas normal pasien sehari-hari. ABPM telah dianjurkan oleh berbagai asosiasi medis untuk konfirmasi hipertensi sebelum memulai terapi antihipertensi pada anak. Hal ini didasari oleh sering terjadinya hipertensi “white coat”, di mana tekanan darah yang diukur di faskes lebih tinggi daripada tekanan darah sebenarnya dalam keseharian pasien. Hasil ABPM dinyatakan lebih akurat daripada hasil pengukuran di faskes.[2,7]

Follow Up Jika Hasil Menunjukkan Hipertensi Derajat I

Rekomendasikan pasien untuk menjalani perubahan gaya hidup. Ukur kembali tekanan darah dalam 1–2 minggu. Bila masih tinggi, ukur tekanan darah di ekstremitas atas dan bawah, lakukan pemeriksaan laboratorium standar, dan pertimbangkan untuk merujuk ke bagian manajemen nutrisi dan berat badan.[7]

Bila tekanan darah masih tinggi dalam 3 bulan, lakukan ABPM dan evaluasi ulang ada tidaknya etiologi yang mendasari hipertensi tersebut. Berbagai etiologi yang telah diulas di atas perlu dipertimbangkan, terutama etiologi renal yang paling umum menjadi sebab hipertensi sekunder pada anak. Jika kasus merupakan hipertensi sekunder, lakukan terapi untuk etiologinya dan rujuk ke ahli terkait bila perlu.[2,7]

Follow Up Jika Hasil Menunjukkan Hipertensi Derajat II

Bila hasil pengukuran di fasilitas kesehatan menunjukkan pasien mengalami hipertensi derajat II, lakukan pengukuran tekanan darah ekstremitas atas dan bawah, lakukan tes laboratorium standar, dan instruksikan pasien untuk menjalani perubahan gaya hidup. Setelah itu, dokter dapat merujuk ke subspesialisasi terkait ataupun meminta pasien untuk menjalani pengukuran ulang 1 minggu kemudian.[7]

Bila dalam 1 minggu hasil masih tinggi, lakukan ABPM dan evaluasi ulang ada tidaknya etiologi yang mendasari hipertensi tersebut. Jika kasus merupakan hipertensi sekunder, lakukan terapi untuk etiologi yang mendasari dan rujuk ke ahli terkait bila perlu.[7]

Manajemen Hipertensi Sekunder pada Anak

Secara umum, manajemen hipertensi sekunder pada anak terdiri dari modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologis, serta terapi spesifik pada penyakit yang mendasari. Modifikasi gaya hidup meliputi olahraga ringan, seperti jalan kaki 30–60 menit dengan frekuensi 3–5 kali per minggu. Dari sisi nutrisi, orang tua diedukasi untuk membatasi asupan garam anak dan menerapkan DASH (dietary approach to stop hypertension) pada anak.[2,3]

Dalam DASH, anak dianjurkan untuk mengonsumsi buah, sayuran, produk susu rendah lemak, produk gandum utuh, ayam, ikan, kacang-kacangan, dan daging rendah lemak. Anak juga diminta untuk membatasi makanan manis, makanan siap saji, dan makanan lain yang tinggi lemak jenuh.[3]

Terapi farmakologis diinisiasi ketika hipertensi tetap terjadi meskipun modifikasi gaya hidup sudah dilakukan dan penyakit yang mendasari sudah stabil. Selain itu, bila ada kemungkinan kerusakan target organ seperti pembesaran katup jantung, maka terapi farmakologis dapat dipertimbangkan. Terapi farmakologis yang telah terbukti efektif dan aman untuk anak adalah angiotensin-converting enzyme inhibitors, angiotensin receptor blockers, calcium channel blockers, dan diuretik thiazide.[3,7]

Terapi penyakit yang mendasari, seperti penyakit renal, endokrin, dan kardiovaskular harus dilakukan sedini mungkin setelah diagnosis hipertensi sekunder. Keputusan untuk menginisiasi terapi antihipertensi harus berdasarkan faktor risiko pada penyakit renal dan kardiovaskular, yaitu ada kemungkinan kerusakan organ target, riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular, hiperlipidemia, penyakit renal atau diabetes.[2]

Kesimpulan

Hipertensi sekunder pada anak adalah hipertensi yang disebabkan oleh suatu kondisi medis yang bisa diidentifikasi. Contoh penyakit yang sering menjadi etiologi hipertensi sekunder pada anak adalah penyakit parenkim atau vaskular ginjal, koarktasio aorta, dan penyakit endokrin. Deteksi hipertensi sekunder pada anak sejak dini diperlukan untuk mengurangi risiko hipertensi berlanjut hingga usia dewasa dan mengurangi risiko morbiditas serta mortalitas kardiovaskular.

Sebagai upaya deteksi dini hipertensi pada anak, American Academy of Pediatrics menyarankan agar tekanan darah anak diukur setiap tahun mulai usia 3 tahun. Pada anak dengan faktor risiko, misalnya obesitas, penyakit ginjal, atau riwayat penggunaan obat-obatan yang bisa menaikkan tekanan darah, pengukuran harus dilakukan lebih sering dan dilakukan setiap anak berkunjung ke faskes.

Pengukuran dengan ABPM lebih dianjurkan sebagai konfirmasi sebelum memulai terapi antihipertensi pada anak, karena hasil yang lebih akurat daripada pengukuran di faskes. Terapi antihipertensi umumnya diberikan jika modifikasi gaya hidup tidak cukup untuk mengurangi tekanan darah. Selain itu, terapi juga harus mencakup terapi penyakit yang mendasari hipertensi sekunder pada anak.

 

Referensi