Favipiravir Tidak Terbukti Bermanfaat untuk COVID-19

Oleh :
dr. Mia Amelia Mutiara Salikim

Favipiravir merupakan salah satu obat yang dianggap berpotensi untuk mengobati COVID-19, karena diteliti dapat menghambat replikasi beberapa virus RNA. Namun, manfaat favipiravir pada pasien COVID-19 secara klinis sendiri masih dalam perdebatan.[1-3]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Studi Favipiravir pada COVID-19 Asimtomatik dan Gejala Ringan-Sedang

Studi prospektif, acak, open-label oleh Doi et al pada tahun 2020 di Jepang yang mengikutsertakan 89 pasien di Jepang membandingkan antara memulai terapi favipiravir awal (pada perawatan hari pertama) dan terlambat (pada perawatan hari keenam) bagi pasien COVID-19 yang asimtomatik atau bergejala ringan.[4]

Hasil studi menunjukkan terjadi pembersihan virus terjadi dalam 6 hari setelah pemberian favipiravir sebanyak 66,7% pada pasien kelompok terapi awal dan 56,1% pada kelompok terapi terlambat (adjusted hazard ratio [aHR], 1.42; 95% CI, 0.76-2.62).[4]

Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara terapi favipiravir yang awal dan yang diberikan terlambat dalam pembersihan virus setelah 6 hari pemberian.[4]

Efikasi Favipiravir Pada COVID19-min

Pada studi ini juga tidak dilaporkan adanya pasien yang membutuhkan rawat inap, ICU, penggunaan ventilasi mekanik, ataupun terjadi mortalitas pada hari ke-28 dalam kedua kelompok. Terdapat efek samping yang yang terjadi pada kedua kelompok dimana sebanyak 84,1% mengalami hiperurisemia, 11% mengalami peningkatan kadar trigliserida dan 8,5% pada serum alanin aminotransferase (SGPT).

Dari hasil studi ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada manfaat pemberian favipiravir dari segi pembersihan virus maupun luaran klinis.[4]

Uji Buta-Ganda Acak Terkontrol Favipiravir

Uji buta-ganda, acak, dengan kontrol plasebo yang melibatkan berbagai center dilakukan oleh Bosaeed et al tahun 2022 di Saudi Arabia. Studi yang mengikutsertakan 231 pasien ini menguji efikasi favipiravir pada pasien rawat jalan yang didiagnosa COVID-19 gejala ringan.[5]

Hasil studi menunjukkan bahwa median waktu pembersihan virus adalah 10 hari (jarak interkuartil/IQR 6-12 hari) pada kelompok favipiravir dan 8 hari (IQR 6-12 hari) pada kelompok plasebo (95% confidence interval/CI 0.571-1.326; p = 0.51).[5]

Selain itu, median waktu untuk resolusi klinis pada kelompok favipiravir dan plasebo adalah sama-sama 7 hari (95% CI 0.639-1.250; p = 0.51). Studi ini menunjukkan bahwa favipiravir tidak memberikan efikasi yang lebih baik dalam waktu pembersihan virus maupun resolusi klinis yang lebih cepat untuk pasien COVID-19 gejala ringan.[5]

Pada luaran lain seperti persentase pasien yang kemudian dirawat inap biasa, dirawat Intensive Care Unit (ICU), pneumonia bakterial, dan mortalitas pada hari ke-28, tidak ditemukan perbedaan hasil yang signifikan antara kedua kelompok.[5]

Meta Analisis Favipiravir pada COVID-19 Derajat Ringan

Pada studi meta analisis Manabe et al yang dipublikasi pada tahun 2021 menyertakan 11 studi mengenai manfaat favipiravir. Namun bersama dengan studi-studi lainnya, hanya 3 studi acak terkontrol yang diikutsertakan pada meta analisis dan risiko bias pada studi-studi tersebut dinilai tinggi.[2]

Meta analisis menemukan bahwa terdapat manfaat favipiravir dalam mempercepat pembersihan virus setelah 7 hari pengobatan pada pasien COVID-19 derajat ringan-sedang. Pada kelompok yang diberikan favipiravir, didapatkan pembersihan virus lebih baik pada hari ke 7 setelah pengobatan dibandingkan dengan kelompok komparator (odds ratio [OR] = 2.49, 95% CI 1.19–5.22).[2]

Selain itu, perbaikan klinis yang lebih baik secara signifikan terlihat pada hari ke-7 (OR = 1.60, 95% CI  1.03–2.40, p = 0.04) dan terutama pada hari ke-14 (OR = 3,03, 95% CI = 1,17–7,80, p = 0,02) dibandingkan kelompok komparator. Meski demikian, tingginya bias menyebabkan level of evidence yang rendah.[2]

Studi meta analisis melaporkan adanya adverse reactions berupa gangguan gastrointestinal, penurunan kadar albumin, dan hiperurisemia (OR = 0.69, 95% CI = 0.13–3.52, p = 0.62.[2]

Studi Favipiravir pada COVID-19 Gejala Sedang-Berat

Studi observasional retrospektif oleh Aung et al yang dipublikasi tahun 2021 mengikutsertakan 309 pasien ICU yang dibagi secara acak untuk menerima favipiravir atau pelayanan standar.[3]

Berdasarkan studi ini, tidak ada perbedaan angka mortalitas, hasil evaluasi kadar ureum, kreatinin, parameter fisiologi fase akut, durasi rawat inap, keperluan continuous renal replacement therapy (CRRT) dan ventilasi mekanik yang signifikan antara pasien COVID-19 gejala berat dan ARDS yang diberikan plasebo maupun favipiravir. Namun, terdapat peningkatan aspartat aminotransferase (SGOT) (p = 0.039) dan SGPT (p = 0.001) yang signifikan pada kelompok favipiravir dibandingkan kelompok plasebo.[3]

Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada manfaat klinis penggunaan favipiravir pada pasien ICU dan ada potensi bahaya disfungsi hepar dalam penggunaan favipiravir.[3]

Studi Favipiravir pada COVID-19 Gejala Sedang-Berat di Jepang

Shinkai et al melakukan uji single-blind acak terkontrol pada pasien rawat inap COVID-19 gejala sedang yang tidak memerlukan terapi oksigen (saturasi oksigen [SpO2] ≥94%). Luaran utama adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai komposit perbaikan parameter: (1) suhu, (2) capaian SpO2 ≥96% tanpa terapi oksigen, (3) perbaikan gambaran pencitraan dada, dan (4) pembersihan virus.[6]

Hasil studi Shinkai et al tahun 2021 dengan 156 pasien menunjukkan favipiravir secara signifikan mempercepat waktu yang diperlukan untuk memperbaiki gejala dan pembersihan virus (p = 0.0136). Waktu median yang dibutuhkan untuk mencapai luaran utama adalah 11,9 hari pada kelompok favipiravir dan 14,7 hari pada kelompok plasebo (aHR 1.593, 95% CI, 1.024–2.479).[6]

Pada luaran sekunder seperti pemulangan pasien di hari ke-21, tidak ada perbedaan signifikan antara kedua kelompok. Insiden adverse events pada penelitian terjadi pada 93,0% (106/114) pasien kelompok favipiravir dimana terdapat 4 kasus serious adverse events (SAEs). Terdapat dua kasus SAEs (infark serebri dan gangguan hepar) yang mempunyai hubungan dengan favipiravir. Insidens AEs lebih dari 5% adalah hiperurisemia (38,6%), peningkatan asam urat darah sebanyak (37,7%), pireksia (7,9%) dan peningkatan kedua enzim hati (7,9%).[6]

Berdasarkan studi tersebut, ditemukan bahwa tidak ada keunggulan dalam aspek luaran pemulangan pasien pada kelompok favipiravir tetapi terdapat bahaya dari peningkatan adverse events.[6]

Berbagai Studi Favipiravir pada COVID-19 Gejala Sedang-Berat di Timur Tengah

Penelitian kohort prospektif oleh Al Muhsen et al pada pasien COVID-19 gejala sedang-berat mendapatkan bahwa favipiravir berhubungan dengan perpanjangan durasi rawat inap (14 vs 10 median, P = 0.034) dan angka mortalitas yang lebih tinggi (aHR 3.63; 95% CI 1.06–12.45).[7]

Penelitian kohort oleh Almoosa et al tahun 2021 dengan 226 pasien menganalisa manfaat pemberian favipiravir dibandingkan hanya pelayanan standar (SOC) pada pasien COVID-19 gejala berat. Hasil studi menunjukkan kelompok pasien yang menerima favipiravir memiliki durasi demam lebih lama (4.9± 4.1, p = 0.05), masa penyembuhan lebih lama (14.2 ± 8.8, p = 0.17), dan mortalitas yang lebih tinggi (33 [30.0%], p = 0.10).[8]

Sebanyak 51,8% pasien kelompok favipiravir dan 29,3% pasien kelompok kontrol memerlukan bantuan pernapasan yang signifikan (p = 0.001), sementara 16,4% pasien kelompok favipiravir dan 4,3% kelompok kontrol mengalami evolusi penyakit menjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS) secara signifikan (p = 0.001).[8]

Uji acak open-label multicenter oleh Solaymani-Dodaran et al tahun 2021 dengan 380 orang menemukan bahwa tidak ada perbedaan mortalitas, intubasi, kebutuhan ICU yang signifikan antara kelompok pasien COVID-19 gejala sedang-berat yang menerima favipiravir dengan yang menerima lopinavir/ritonavir. Rata-rata durasi rawat inap juga tidak berbeda secara signifikan antara kedua kelompok (p = 0.61). Demikian pula dengan waktu perbaikan klinis (HR = 0.94, 95% CI 0.75 – 1.17).9

Meta Analisis Favipiravir pada COVID-19 Derajat Sedang-Berat

Sebuah studi meta analisis oleh Özlüşen et al tahun 2021 yang menyertakan 12 uji klinis dengan 1636 pasien menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara  kelompok yang menerima dengan yang tidak menerima favipiravir dalam angka fatalitas (OR 1.11, 95% CI 0.64–1.94) pada pasien COVID-19 gejala sedang-berat.[10]

Selain itu, favipiravir tidak memberikan efikasi yang lebih baik dalam kebutuhan penggunaan ventilasi mekanik pada pasien COVID-19 gejala sedang dan berat dibandingkan kelompok komparator (OR 0.50, 95% CI 0.13–1.95).[10]

Penggunaan Favipiravir pada Kehamilan

Studi paparan favipiravir pada hewan oleh Pilkington et al dan Ghasemnejad-Berenji et al menyatakan bahwa favipiravir memiliki potensi teratogenik. Dosis favipiravir  ekuivalen untuk manusia diberikan pada model hewan dan ditemukan memberikan gambaran keterlambatan perkembangan atau kematian embrio di trimester satu pada 4 spesies hewan berbeda.[11,12]

Paparan favipiravir pada ibu hamil dilaporkan dalam studi oleh Tırmıkçıoğlu et al. Tidak ada kasus lahir mati atau abortus spontan, serta semua kehamilan berakhir dengan bayi lahir hidup. Tidak ditemukan adanya malformasi kongenital yang dilaporkan pada penelitian, namun terdapat patent foramen ovale (PFO) pada seorang bayi. Hasil dari studi ini mengindikasikan bahwa favipiravir kemungkinkan tidak bersifat teratogenik, namun masih kurangnya penelitian pada ibu hamil untuk menilai risiko ini.[13]

Kesimpulan

Beberapa negara, termasuk Indonesia, merekomendasikan penggunaannya pada tatalaksana pasien COVID-19. Meski demikian, manfaat penggunaan favipiravir tidak ditemukan dan dampak buruk didapatkan lebih tinggi pada mayoritas studi yang ada.[2-10]

Favipiravir mempercepat waktu pembersihan virus tapi tidak memberikan manfaat yang lebih signifikan pada luaran klinis yang lebih bermanfaat seperti dalam mengurangi kebutuhan perawatan ICU, penggunaan ventilasi mekanik, maupun mortalitas pada pasien COVID-19 yang lebih ringan.[2,4-6,10]

Pada pasien COVID-19 dengan gejala yang lebih berat, pemberian favipiravir tidak memperpendek durasi rawat inap maupun mencegah kebutuhan perawatan ICU dan  penggunaan ventilasi mekanik. Beberapa studi menunjukkan favipiravir memberikan  hasil  luaran yang lebih buruk dibandingkan kelompok kontrol.[3,7-9]

Berbagai studi juga melaporkan efek samping dari penggunaan favipiravir, yaitu gejala gastrointestinal, hiperurisemia, dan peningkatan enzim hepar sehingga pemberian favipiravir perlu diperhatikan pada pasien dengan riwayat tersebut.[3,4,6]

Penelitian mengenai dampak penggunaan favipiravir pada kelompok ibu hamil masih terbatas meski studi yang sudah ada tidak melaporkan adanya risiko morbiditas dan mortalitas. Studi hewan menunjukkan adanya efek teratogenik sehingga pemberian favipiravir tidak direkomendasikan pada usia produktif.[11-13]

Walau dahulu favipiravir dianggap sebagai terapi potensial untuk COVID-19 karena dapat menghambat replikasi beberapa virus RNA, favipiravir sebaiknya tidak diberikan pada pasien COVID-19 karena telah terbukti tidak memperbaiki luaran klinis. Panduan Living World Health Organization (WHO) on drugs for COVID-19 juga tidak memasukkan favipiravir sebagai salah satu obat terapi COVID-19 yang direkomendasikan.[1,14]

Referensi