Hendaya Kognitif pada Pasien Delirium

Oleh :
dr. Soeklola SpKJ MSi

Delirium berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya demensia dan penurunan fungsi kognitif. Demikian juga sebaliknya, pasien hendaya kognitif atau cognitive spectrum disorder (CSD) memiliki kerentanan dua kali lipat lebih tinggi untuk terjadinya delirium.

Prevalensi pasien lansia di rawat inap yang mengalami demensia bervariasi 9−63%, delirium 10−31%, sedangkan delirium superimposed on dementia (DSD) 32−89%. Bahkan sekitar 76% kondisi delirium tidak terdiagnosis di kondisi akut.[1-4]

Hendaya Kognitif pada Pasien Delirium-min

 

Pada kondisi superimposed dengan demensia, delirium sering salah didiagnosis sebagai perburukan gejala demensia. Kondisi ini akan meningkatkan risiko luaran yang lebih buruk. Delirium sendiri berkaitan langsung dengan peningkatan lama rawat, morbiditas, mortalitas, dan biaya perawatan.[2,4]

Perbedaan dan Persamaan Hendaya Kognitif dengan Delirium

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kondisi CSD dan delirium merupakan dua kondisi yang berbeda. Tabel 1 menunjukkan perbedaan pasien dengan delirium dan CSD atau hendaya kognitif pada kondisi pasca operasi atau anestesi.[5,6]

Tabel 1. Perbedaan Delirium dan Hendaya Kognitif[5,6]

Faktor Pembeda Delirium Hendaya Kognitif
Gejala dan Tanda

Terutama ditandai dengan penurunan atensi, tingkat kesadaran, dan kekacauan proses pikir

 

 

Hanya dapat diketahui setelah dilakukan pemeriksaan berkala, dan ditunjukkan dengan adanya penurunan nilai antara keadaan sebelum operasi dan setelah tindakan operasi, sedangkan atensi dan tingkat kesadaran pasien baik
Pemeriksaan Pemeriksaan dapat dilakukan melalui tanda klinis dan instrumen yang mengukur atensi, tingkat kesadaran, dan disorganized thinking; seperti  Confusion Assessment Method for the Intensive Care Unit (CAM-ICU)  atau the 3-min Diagnostic Interview for Confusion Assessment Method-defined Delirium

Pemeriksaan menggunakan instrumen tes neuropsikologis
Ranah kognitif yang terganggu Penurunan atensi Penurunan di ranah kognitif lainnya (terutama memori dan fungsi eksekutif), dan jarang menunjukkan defisit atensi
Awitan Beberapa hari pasca operasi (insiden tertinggi pada hari pertama hingga ketiga pasca operasi); disertai dengan fluktuasi gejala Umumnya terjadi sekitar 1 hingga 3 bulan setelah operasi.
Durasi Cenderung singkat (1-3 hari), dapat teratasi jika penyebab diatasi. Bertahan berbulan-bulan bahkan lebih panjang.

Sumber: dr. Soeklola, 2020

Sebaliknya, terdapat teori yang menyatakan bahwa kondisi delirium dan CSD sama-sama bagian dari spektrum disfungsi neurokognitif pasca operasi. Teori ini dibuktikan dengan persamaan pada beberapa hal, yaitu:

  • Faktor risiko pasien preoperatif, di antaranya tingkat edukasi yang lebih rendah, fungsi kognitif sebelumnya yang lebih rendah, dan riwayat depresi

  • Kejadian delirium pada minggu ke-6 hingga ke-12 pasca operasi berkorelasi dengan terjadinya penurunan fungsi kognitif yang lebih buruk pada tahun ke-3 hingga ke-5 pasca operasi
  • Dugaan adanya proses neuroinflamasi yang sama sebagai mekanisme utama terjadinya delirium maupun hendaya kognitif
  • Dampak yang dirasakan berupa penurunan kualitas hidup dan meningkatnya risiko mortalitas selama 1 tahun pasca operasi[5-8]

Mekanisme Hendaya Kognitif pada Pasien Delirium

Mekanisme yang mendasari hubungan antara hendaya kognitif dan delirium belum sepenuhnya dipahami.

Studi Kohort oleh Brown et al Tahun 2018

Terdapat studi kohort terhadap 142 pasien yang menjalani operasi jantung, yang mendukung dugaan bahwa delirium menjadi prediktor timbulnya disfungsi kognitif. Pasien dilakukan penilaian delirium serta pengukuran fungsi kognitif pada waktu sebelum operasi, satu bulan pasca operasi, dan satu tahun pasca operasi.[9]

Hasil studi menunjukkan insiden terjadinya delirium sebesar 53,5%, dan pasien dengan delirium menunjukkan penurunan fungsi kognitif yang lebih buruk pada bulan pertama, dari hasil penurunan composite cognitive Z score -0.29; 95% CI, -0.54 to -0.05; P = 0.020. Hendaya kognitif yang terjadi terutama pada ranah visual konstruksi dan kecepatan memproses informasi.

Sementara, hasil penilaian setelah 1 tahun menunjukkan tidak ada perbedaan hendaya kognitif pada kelompok yang mengalami delirium dan tidak. Walaupun penurunan kecepatan memproses informasi tampak lebih dominan pada kelompok yang mengalami delirium.[9]

Metaanalisis oleh Liu et al Tahun 2018

Sebuah metaanalisis dilakukan untuk menilai apakah terdapat perbedaan penanda inflamasi di perifer dan cairan serebrospinal, antara pasien yang mengalami delirium pasca operasi atau postoperative delirium (POD) dengan pasien yang mengalami disfungsi kognitif pasca operasi atau postoperative delirium and cognitive dysfunction (POCD).

Sebanyak 54 studi observasional memenuhi kriteria inklusi. Hasil analisis menunjukkan terjadi peningkatan C-reactive protein (CRP) dan interleukin-6 (IL-6) perifer pada POD. Peningkatan S-100 calcium binding protein beta subunit (S-100β) dan IL-8 hanya terjadi pada saat timbulnya gejala POD. Sementara peningkatan neuron-specific enolase (NSE) ditemui pada saat timbulnya gejala POCD.

Namun, pada kondisi sesaat sebelum operasi (baseline), kelompok dengan luaran POD menunjukkan hasil tidak terdapat perubahan kadar IL-1β, tumor necrosis factor (TNF)-α, S-100β, IL-8, dan IL-10 jika dibandingkan kontrol normal. Selain itu pada pemeriksaan sesaat setelah prosedur operasi, kelompok dengan luaran POCD menunjukkan tidak adanya perubahan kadar TNFα dan NSE.[6]

Rekomendasi Penanganan Delirium

Penangan cepat terhadap delirium merupakan salah satu cara pencegahan terjadinya CSD di kemudian hari. Hal ini berhubungan dengan timbulnya hendaya kognitif yang lebih permanen pada beberapa bulan atau tahun setelah pasien mampu melewati kondisi kritis.[10]

Deteksi Dini Pasien dengan Delirium

Prioritas utama penanganan delirium adalah mendeteksi sedini mungkin, disertai intervensi keamanan pasien seperti mengurangi risiko jatuh. Penanganan delirium sedini mungkin ini juga terbukti bermanfaat dalam mengurangi waktu rawat inap maupun melakukan rehabilitasi segera.[11]

Jenis pemeriksaan yang direkomendasikan untuk mendeteksi pasien mengalami delirium adalah melakukan tes 4A (4AT). Tes ini berupa meminta pasien menggenggam jari pemeriksa saat pemeriksa menyebut huruf “A”, dan tidak menggenggam saat pemeriksa menyebut huruf lain.

Selanjutnya pemeriksa akan mengeja kata C-A-S-A-B-L-A-N-C-A. Jika ada huruf “A” terlewat, berarti  pasien tidak mampu mempertahankan atensi. Tes tersebut hanya membutuhkan waktu yang singkat, yaitu kurang dari 2 menit, dan dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tanpa melalui pelatihan khusus. [11,12]

Sedangkan tes confusion assessment method (CAM) terdiri dari penilaian awitan yang akut dan fluktuatif gejala inatensi, kekacauan proses pikir, serta perubahan tingkat kesadaran. Kedua tes di atas sama-sama dapat dilakukan dalam waktu singkat, hanya saja petugas kesehatan yang dapat melakukan CAM memerlukan pelatihan khusus sebelumnya.[11,12]

Mengkomunikasikan tentang diagnosis delirium pada pasien dan keluarga berperan penting dalam melakukan deteksi dini, pengawasan, dan rencana tata laksana. Selain itu, dapat menurunkan kecemasan semua pihak yang terlibat.[11]

Penanganan Cepat Pasien Delirium

Penanganan delirium membutuhkan intervensi multikomponen, yaitu terdiri dari reorientasi, aktivitas stimulasi kognitif, mobilisasi sesegera mungkin, rehidrasi, dan tata laksana nonfarmakologi untuk tidur seperti dengan sleep hygiene. Jika ada gangguan penglihatan maupun pendengaran, maka harus dilakukan penatalaksanaannya juga.[1]

Rekomendasi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) menambahkan prinsip dari tindakan preventif dan terapi nonfarmakologis delirium. Tindakan preventif dan nonfarmakologis berupa deteksi dini delirium pada pasien dengan CSD, yaitu pasien demensia yang memiliki risiko delirium dan delirium superimposed dengan demensia.

Strategi yang dilakukan adalah kontrol nyeri, reorientasi pasien, minimalisasi perpindahan ruangan, edukasi sleep hygiene, mobilisasi awal, pertahankan fungsi regular saluran kemih dan pencernaan, serta optimalisasi asupan nutrisi. Selain itu, keluarga atau caregiver jika memungkinkan diajak untuk terlibat secara aktif selama perawatan, terutama dalam menciptakan delirium-friendly setting.[2,11]

Tata Laksana Farmakologi Pasien Delirium

Rekomendasi SIGN tetap meminimalisasi pemberian tata laksana farmakologis. Pemberian antipsikotik dosis kecil, seperti haloperidol 0,5 mg dua kali sehari atau risperidon 0,5 mg, diberikan peroral dua kali sehari, selama 2 hari, mungkin dapat bermanfaat untuk pasien gaduh gelisah.

Beberapa pemberian obat yang perlu perhatian khusus adalah benzodiazepin, analgesik opioid, dan obat yang menyebabkan penumpukan antikolinergik, seperti digoxin, atenolol, furosemide, atau warfarin. Benzodiazepin diberikan hanya pada kondisi putus zat atau penyakit badan Lewy. Pemberian opioid harus dititrasi secara perlahan untuk menghindari nyeri akibat under-treated atau overdosis. [11]

Rekomendasi Penanganan Hendaya Kognitif

Delirium dapat terjadi bersamaan atau menyamarkan hendaya kognitif, sehingga disarankan melakukan pemeriksaan kognitif pasca terjadinya delirium. Pemeriksaan kognitif dapat dilakukan melalui Addenbrooke’s Cognitive Examination (ACE), atau Montreal Cognitive Assessment (MOCA).[11]

Namun, hingga saat ini belum ada pemeriksaan kognitif yang dapat membedakan tipe demensia maupun gangguan kognitif lainnya. Pembedaan tersebut masih membutuhkan pengalaman klinis. Hasil pemeriksaan dari instrumen pemeriksaan kognitif tersebut lebih bersifat membantu ranah hendaya yang dialami.

Selain itu, penting untuk melihat kondisi gangguan yang dialami, misalnya pasien pasca stroke dengan afasia bisa jadi memiliki skor ACE <82, tetapi tidak dapat digolongkan ke demensia jika masih mampu melakukan aktivitas harian. Demensia baru bisa didiagnosis jika sekurangnya telah 6 bulan mengalami penurunan fungsi kognitif.[13,14]

Adapun penapisan yang disarankan untuk menyingkirkan gangguan organik yang mendasari timbulnya delirium atau hendaya kognitif, meliputi pemeriksaan radiologi, laboratorium rutin, resting electrocardiogram (ECG), serta pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan saraf kranial dan perifer.[13]

Deteksi Dini Pasien Hendaya Kognitif

Penapisan segera munculnya CSD terutama dilakukan pada pasien pasca delirium yang memiliki faktor risiko. Beberapa faktor risiko adalah:

  • pasien berusia di atas 50 tahun
  • riwayat hiperlipidemia
  • overweight
  • ketergantungan alkohol
  • merokok
  • penyakit kardiovaskular termasuk stroke, diabetes mellitus, hipertensi terutama tekanan sistolik >160 mmHg
  • gangguan pendengaran
  • trauma kepala
  • Depresi atau gangguan jiwa kronis lainnya[13,15]

CSD juga lebih berisiko terjadi pada pasien yang berolahraga kurang dari 30 menit, 2 kali dalam seminggu dua kali.[13,15]

Pencegahan Hendaya Kognitif pada Pasien Delirium

Berdasarkan faktor risikonya, maka CSD dapat dicegah dengan cara mengendalikan tekanan darah, kadar kolesterol dan glukosa dalam darah, risiko atrial fibrilasi maupun penyakit kardiovaskuler lainnya.[13]

Beberapa studi telah membuktikan bahwa untuk menurunkan risiko mild cognitive impairment, sebaiknya tekanan darah sistolik <120 mmHg atau <130 mmHg untuk usia >40 tahun. Anjuran ini tidak dapat diterapkan jika terdapat riwayat bilateral karotis, pasien dengan risiko jatuh tinggi, hipotensi postural. Panduan pencegahan stroke sendiri menyarankan tekanan darah <150/90 untuk usia di atas 80 tahun.[13,15,16]

Diketahui bahwa penurunan risiko stroke dapat mencapai 21% dengan menurunkan kolesterol dalam darah sebesar 1 mmol/L. Sehingga pengendalian kadar kolesterol dalam darah juga bermanfaat untuk mengendalikan hendaya kognitif akibat adanya penyakit serebrovaskular kronis. Demikian juga dengan mengontrol kadar glukosa darah dan mengendalikan kondisi diabetes mellitus.[13,15]

Atrial fibrilasi dan penyakit kardiovaskular lainnya dikatakan berhubungan langsung dengan terjadinya atrofi otak dan disfungsi kognitif. Pengendalian faktor risiko terjadinya atrial fibrilasi atau penyakit kardiovaskular, antara lain dengan memberikan terapi antiplatelet pada penyakit aterosklerosis; dan antikoagulan pada penyakit kardio emboli, carotid endarterectomy, carotid angioplasty, atau stenting untuk carotid stenosis. Pengendalian ini dipercaya mampu mengurangi risiko terjadinya hendaya kognitif maupun demensia.[13,15]

Upaya lain untuk mencegah CSD adalah penggunaan alat bantu dengar pada pasien dengan penurunan fungsi pendengaran. Perubahan gaya hidup untuk mengendalikan berat badan, misalnya dengan berolahraga sekurangnya 150 menit per minggu termasuk olahraga moderate, serta mengurangi konsumsi alkohol dan merokok.[13,15]

Program Remediasi Kognitif dan Pengendalian Komorbiditas Gangguan Psikiatri

Hingga saat ini belum terdapat program remediasi kognitif spesifik yang direkomendasikan pada kondisi hendaya kognitif dan delirium. Program remediasi yang ada biasanya diterapkan berdasarkan ranah kognitif yang terganggu.

Selain itu perlu diingat bahwa penyakit jiwa kronis, termasuk depresi berpengaruh terhadap peningkatan potensi hendaya kognitif, sehingga pengendalian penyakit jiwa kronis akan meningkatkan luaran kognitif yang lebih baik.[13,15]

Kesimpulan

Delirium dan hendaya kognitif atau yang dikenal juga sebagai cognitive spectrum disorder (CSD) dapat terjadi terpisah ataupun bersamaan, tetapi delirium merupakan faktor risiko terjadinya CSD maupun sebaliknya.  Perbedaan kedua kondisi ini terletak pada jenis pemeriksaan yang dilakukan, ranah kognitif yang terganggu, awitan, fluktuasi gejala, dan durasi.

Adapun pada beberapa kasus, diagnosis delirium dan hendaya kognitif bisa saja saling bertumpang tindih. Hal ini bisa saja terjadi akibat persamaan faktor risiko dan mekanisme neuroinflamasi yang mendasari.[1-8]

Pengendalian untuk delirium berupa deteksi sedini mungkin dan intervensi keamanan pasien. Sedangkan pengendalian untuk CSD meliputi deteksi dini, pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan glukosa dalam darah, atrial fibrilasi, penyakit kardiovaskular, penggunaan alat bantu dengar pada kasus penurunan fungsi pendengaran, perubahan gaya hidup, remediasi kognitif, dan pengendalian penyakit jiwa kronis.[11,13,15]

 

 

Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja

Referensi