Hubungan Aktivitas Fisik dan Atrofi Otak

Oleh :
dr. Paulina Livia Tandijono

Aktivitas fisik diperkirakan dapat memengaruhi proses fisiologis di otak dan mencegah atrofi otak. Studi menunjukkan bahwa aktivitas fisik dapat mempertahankan fungsi otak. Gaya hidup yang sedentari berisiko menyebabkan atrofi otak. Atrofi otak ini dapat menurunkan fungsi otak dan kualitas hidup, serta meningkatkan mortalitas.

Seiring bertambahnya usia, otak akan mengalami atrofi, terutama pada lobus prefrontal, temporal, dan parietal. Pada usia >35 tahun, terjadi penurunan volume otak sekitar 0,2% tiap tahun. Angka ini akan terus meningkat hingga mencapai 0,5% per tahun pada usia 60 tahun. Di atas usia 60 tahun, terjadi penurunan volume otak >0,5% per tahun yang stabil (akselerasi minimal).[1,2]

Hubungan Aktivitas Fisik dan Atrofi Otak-min

Sekilas tentang Atrofi Otak

Pada pasien atrofi otak, terjadi penurunan volume substansia alba (white matter) dan substansia nigra (grey matter). Selain itu, atrofi otak juga berhubungan dengan infark, amyloid angiopathy, neuritic plaques, dan neurofibrillary tangles. Secara klinis, berbagai perubahan ini menyebabkan gangguan fungsi otak (memori, kognitif) serta penurunan kemampuan motorik yang akan menyebabkan penurunan kualitas hidup.[3]

Atrofi otak juga berhubungan dengan peningkatan mortalitas. Suatu penelitian pada tahun 2014 menyatakan bahwa volume otak yang lebih besar berhubungan dengan penurunan risiko mortalitas secara signifikan. Atrofi otak mengganggu fungsi otak yang berperan dalam menjaga kelangsungan hidup, misalnya pengaturan tekanan darah, nafsu makan, suhu tubuh, dan keseimbangan elektrolit.

Atrofi otak juga sering ditemukan bersamaan dengan penyakit lain, misalnya penyakit Alzheimer, hipertensi, obesitas, atau gangguan motorik. Penyakit-penyakit tersebut juga berperan dalam meningkatkan risiko kematian.[4,5]

Aktivitas Fisik dan Atrofi Otak

Berbagai penelitian menyatakan bahwa aktivitas fisik dapat memperlambat degenerasi otak. Systematic review tahun 2017 yang melibatkan 18 studi menyatakan bahwa aktivitas fisik rekreasi (leisure time physical activity) seperti berjalan, berlari pagi, senam aerobik, dan bermain tenis dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit Alzheimer.

Akan tetapi, aktivitas fisik yang berhubungan dengan pekerjaan (work related physical activity) seperti berkendara menuju tempat kerja justru meningkatkan risiko penyakit Alzheimer.[6]

Aktivitas fisik juga berperan dalam mengurangi perkembangan penyakit Parkinson. Studi kohort dengan 213.701 subjek menyatakan bahwa aktivitas fisik berintensitas sedang hingga berat dapat menurunkan risiko penyakit Parkinson sekitar 40%.[7]

Suatu review yang dipublikasi pada tahun 2014 merangkum efek aktivitas fisik terhadap volume otak. Sebagian besar studi dalam review tersebut menyatakan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan volume substansia nigra yang lebih besar, terutama pada korteks prefrontal dan hipokampus. Kedua korteks ini berperan dalam fungsi memori dan eksekusi. Efek positif ini akan semakin terlihat pada usia atau kondisi tertentu, yaitu saat atrofi otak terjadi paling berat atau pada demensia fase awal.[1]

Lima studi dalam review tersebut sebenarnya menyatakan bahwa hubungan antara aktivitas fisik dan volume otak ini tidak bermakna. Akan tetapi, setelah melakukan perhitungan ulang dengan meniadakan faktor perancu (usia, kebiasaan merokok, dan obesitas), tiga dari lima studi tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dan atrofi otak.[1]

Review tersebut juga menyatakan bahwa durasi aktivitas fisik memiliki hubungan linear dengan volume substansia nigra. Durasi aktivitas fisik selama 6–12 bulan sudah cukup untuk memberikan dampak pada substansia nigra. Selain itu, intensitas aktivitas fisik yang diperlukan adalah intensitas sedang.[6]

Selain substansia nigra, penelitian lain pada tahun 2016 menyatakan bahwa aktivitas fisik juga berhubungan dengan volume substansia alba yang lebih besar.[8]

Mekanisme yang mendasari efek neuroprotektif aktivitas fisik masih belum sepenuhnya diketahui. Menurut perkiraan, berbagai perubahan molekuler yang memengaruhi proses neurogenesis, plastisitas neuron, jalur persinyalan neuron, serta reseptor neuron terjadi ketika seseorang beraktivitas fisik.

Aktivitas fisik intensitas sedang hingga berat yang reguler dapat meningkatkan produksi antioksidan dan faktor pertumbuhan, seperti superoxide dismutase, endothelial NO synthase, brain derived neurotrophic factor, faktor pertumbuhan saraf, dan faktor pertumbuhan endotel vaskular. Selain itu, aktivitas fisik juga diduga dapat mengurangi produksi reactive oxygen species, bahan neuroinflamasi, dan plak amyloid-β.[9,10]

Dampak Gaya Hidup Sedentari terhadap Otak

Belakangan ini, penelitian mengenai efek gaya hidup sedentari terhadap atrofi otak mulai dipelajari. Diperkirakan, sekitar 13% penyakit Alzheimer berkaitan dengan gaya hidup sedentari.[11]

Pada tahun 2016, suatu penelitian dengan 352 subjek mempelajari efek gaya hidup sedentari terhadap volume otak selama 5 tahun. Subjek-subjek yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk duduk secara signifikan memiliki volume substansia alba yang lebih kecil. Dalam penelitian tersebut, tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara gaya hidup sedentari dan volume substansia nigra.[8]

Penelitian lain dengan 35 subjek nondemensia pada tahun 2018 menyatakan bahwa gaya hidup sedentari berhubungan dengan lebih tipisnya lobus temporal bagian medial. Penelitian ini juga melakukan subanalisis terhadap ketebalan korteks parahipokampus, korteks entorhinal, dan subikulum. Ketebalan ketiga regio tersebut juga berbanding terbalik dengan jumlah waktu yang dihabiskan untuk duduk dalam sehari.[12]

Saat ini belum banyak penelitian mempelajari cara gaya hidup sedentari memengaruhi atrofi otak. Penelitian yang sudah ada menganggap bahwa efek buruk gaya hidup sedentari terhadap otak disebabkan oleh tidak rutinnya seseorang melakukan aktivitas fisik. Dengan kata lain, seseorang yang menjalani gaya hidup sedentari dianggap tidak melakukan aktivitas fisik yang mencukupi, sehingga dirinya tidak mendapatkan efek neuroprotektif dari aktivitas fisik.

Padahal, seseorang yang aktif melakukan aktivitas fisik tidak selalu terhindar dari gaya hidup sedentari. Dirinya tetap dapat menghabiskan sebagian besar waktunya menjalani gaya hidup sedentari. Contohnya, seseorang yang aktif melakukan aerobik (misalnya 2 jam/hari) dapat menghabiskan sisa waktunya untuk duduk (misalnya 8 jam/hari). Oleh sebab itu, penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara gaya hidup sedentari dan atrofi otak masih diperlukan.[12,13]

Rekomendasi Aktivitas Fisik untuk Mencegah Atrofi Otak

Hingga saat ini, belum ada rekomendasi yang menyatakan jenis, frekuensi, dan durasi aktivitas fisik yang dibutuhkan untuk mencegah atrofi otak. Review pada tahun 2015 menyarankan untuk melakukan aktivitas fisik secara teratur. Intensitas aktivitas yang disarankan adalah sedang hingga berat.

Selain melakukan aktivitas fisik, gaya hidup sedentari juga harus dikurangi dengan menghindari duduk dalam waktu yang terlalu lama. Jika memang harus duduk dalam waktu lama (misalnya sedang bekerja), dapat diselingi dengan berdiri atau berjalan sebentar. Selain itu, performa otak juga dapat dipertahankan dengan menjaga pola makan dan melakukan kegiatan yang mengasah otak (intellectual challenges).[13]

Kesimpulan

Seiring bertambahnya usia, otak akan mengalami atrofi, terutama pada lobus prefrontal, temporal, dan parietal. Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh atrofi otak ini dapat mengganggu fungsi otak dan menurunkan kemampuan motorik, yang kemudian dapat menurunkan kualitas hidup pasien.

Berbagai penelitian menyatakan bahwa aktivitas fisik dapat memperlambat degenerasi di otak. Namun, hingga saat ini, belum ada rekomendasi yang jelas mengenai jenis, frekuensi, dan durasi aktivitas fisik yang dibutuhkan untuk mencegah atrofi otak. Selain itu, aktivitas fisik saja belum tentu cukup untuk mencegah atrofi otak. Gaya hidup yang sedentari juga harus dikurangi.

 

 

 

Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur

Referensi