Intubasi pada Pasien Penurunan Kesadaran

Oleh :
Yelvi Levani

Pedoman kegawatdaruratan sering menyarankan intubasi endotrakeal pada pasien penurunan kesadaran yang memiliki Glasgow Coma Scale atau GCS ≤8. Saran ini didasarkan pada perkiraan bahwa intubasi dapat mencegah pneumonia aspirasi dan pneumonitis pada pasien penurunan kesadaran. Namun, hasil studi terbaru melaporkan bahwa intubasi rutin pada semua pasien dengan GCS ≤8 mungkin berdampak buruk.

Penurunan kesadaran merupakan salah satu penyebab utama pasien dibawa ke unit gawat darurat (UGD). Penyebab penurunan kesadaran bisa bervariasi, misalnya trauma kepala, intoksikasi, gangguan neurologis seperti stroke, dan gangguan metabolik seperti koma hipoglikemia. Penilaian level kesadaran pasien secara kuantitatif biasanya dilakukan dengan Glasgow Coma Scale (GCS).[1-3]

Intubasi pada Pasien Penurunan Kesadaran-min

Sekilas tentang Penilaian Glasgow Coma Scale

Skor GCS dinilai berdasarkan respons pasien terhadap rangsangan tertentu. Respons dibedakan menjadi kemampuan membuka mata (eye opening), kemampuan bicara (verbal performance), dan kemampuan respons motorik (motor responsiveness). Skor GCS ini terutama digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien trauma kepala.

Penilaian dilakukan oleh dokter atau perawat saat pasien tiba di UGD. Penilaian skor GCS berulang (serial) dalam beberapa waktu juga dapat dilakukan untuk menilai apakah pasien mengalami perbaikan atau penurunan kesadaran. Skor GCS yang paling tinggi adalah 15, sedangkan skor GCS yang paling rendah adalah 3.[1-3]

Manfaat dan Risiko Intubasi Rutin pada Pasien Penurunan Kesadaran

Beberapa studi terdahulu menunjukkan bahwa pasien dengan penurunan kesadaran, misalnya karena trauma kepala atau intoksikasi opioid, memiliki peningkatan risiko aspirasi. Aspirasi dapat menyebabkan pneumonia atau pneumonitis yang diduga akan memperburuk prognosis. Oleh karena itu, pedoman kegawatdaruratan banyak menyarankan intubasi endotrakeal pada pasien GCS ≤8 untuk mencegah aspirasi.

Namun, efektivitas praktik ini sebenarnya belum didukung oleh bukti uji klinis yang cukup. Hasil studi terdahulu juga masih saling bertentangan, di mana beberapa studi menunjukkan bahwa pasien yang tidak diintubasi memiliki risiko aspirasi yang tidak berbeda bermakna dengan pasien yang diintubasi. Selain itu, seberapa signifikannya peningkatan mortalitas akibat aspirasi juga belum dibuktikan dengan pasti.

Studi lain juga menunjukkan bahwa risiko pneumonia aspirasi tidak selalu terjadi pada pasien dengan GCS ≤8. Penilaian kehilangan refleks saluran pernapasan atas tidak bisa hanya berdasarkan skor GCS saja. Intubasi endotrakeal yang dilakukan tidak pada tempatnya diperkirakan justru meningkatkan mortalitas dan durasi rawat inap di unit perawatan intensif (ICU).[2-5]

Studi tentang Dampak Intubasi Rutin pada Pasien Penurunan Kesadaran

Studi observasional prospektif terdahulu oleh Donald et al. pernah membandingkan grup pasien intoksikasi akut dengan GCS <9 yang tidak diintubasi dan grup pasien intoksikasi akut dengan GCS <9 yang diintubasi. Hasil menunjukkan bahwa pasien yang diintubasi memiliki durasi rawat di ICU maupun durasi rawat total di rumah sakit yang lebih panjang daripada yang tidak diintubasi.

Hasil studi ini menyimpulkan bahwa GCS sendiri tidak bisa dijadikan indikator intubasi. Dokter perlu melakukan pemeriksaan klinis yang komprehensif dan menentukan perlu tidaknya intubasi berdasarkan hasil pemeriksaan komprehensif tersebut.[6]

Studi Terbaru terkait Dampak Intubasi Rutin pada Pasien GCS ≤8

Hatchimonji et al. mempelajari 6.676 pasien dewasa dengan skor GCS 6–8. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.078 pasien menerima intubasi dalam waktu 1 jam sejak ketibaan di UGD. Hasil analisis menunjukkan adanya peningkatan mortalitas pada pasien yang diintubasi (OR 1,05; 95% CI 1,03–1,06), baik yang disertai trauma kepala maupun yang tidak disertai trauma kepala.

Studi tersebut juga menganalisis 5.742 pasien yang dirawat di ICU lebih lanjut. Hasil menunjukkan bahwa intubasi meningkatkan durasi rawat di ICU sebesar 14% (rerata 5,5 vs. 4,8 hari; p < 0.001). Selain itu, durasi rawat total di rumah sakit juga mengalami peningkatan 27% (rerata 7,7 vs. 6,0 hari; p < 0.001).[3]

Tinjauan sistematik Orso et al. yang mempelajari 13 studi juga menunjukkan bahwa manfaat intubasi untuk mencegah aspirasi pada pasien penurunan kesadaran belum bisa dipastikan. Selain itu, ada tidaknya peningkatan kejadian aspirasi pada pasien dengan GCS rendah juga belum bisa dipastikan. Oleh karena itu, tinjauan sistematik ini menyatakan bahwa penggunaan patokan GCS ≤8 untuk intubasi perlu ditinjau kembali dengan uji klinis lebih lanjut.[5]

Studi retrospektif oleh Elkbuli et al. meninjau kembali batasan GCS untuk pasien yang dibawa ke IGD akibat trauma kepala. Berdasarkan hasil studi ini, dinilai bahwa tidak ada perbedaan mortalitas dan komplikasi pada pasien dengan GCS ≤5 yang diintubasi dan tidak diintubasi. Pasien yang diintubasi ≤8 dan ≤10 justru mengalami peningkatan mortalitas secara signifikan dibandingkan yang tidak diintubasi. Elkbuli et al. menyimpulkan bahwa intubasi pada GCS>5 meningkatkan risiko komplikasi serta memperpanjang durasi rawat inap di bangsal dan ICU.[7] 

Kesimpulan

Anjuran untuk melakukan intubasi endotrakeal rutin pada pasien dengan GCS ≤8 sudah tidak disarankan menurut hasil studi yang terbaru, karena praktik ini belum didukung bukti manfaat yang adekuat. Bahkan, beberapa studi menunjukkan adanya peningkatan mortalitas, durasi rawat di ICU, dan durasi rawat di rumah sakit akibat intubasi rutin pada pasien GCS ≤8.

Skor GCS bukan merupakan satu-satunya faktor penentu intubasi. Penilaian klinis oleh dokter yang komprehensif dan pemeriksaan penunjang yang tepat diperlukan untuk menentukan apakah pasien perlu diintubasi atau tidak.

 

Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur

Referensi