Kesehatan Mental dalam Kondisi Pandemik Virus Corona

Oleh :
dr. Soeklola SpKJ MSi

Kesehatan mental dalam kondisi pandemik COVID-19/coronavirus disease 2019 perlu penanganan tersendiri karena telah mengubah beberapa aspek kehidupan, termasuk social distancing, karantina dan isolasi diri, beraktivitas di rumah, panic buying, hingga perubahan penanganan di fasilitas kesehatan. Kondisi yang berubah dengan begitu cepat, untuk waktu yang tidak dapat ditentukan lamanya, serta pemberitaan secara terus-menerus, menyebabkan perubahan kesehatan mental. Survei yang dilakukan di Tiongkok menunjukkan peningkatan gangguan ansietas, panik, dan depresi, terkait kondisi perubahan yang terjadi.[1-7]

Faktor yang Mempengaruhi Distres Psikologis

Sebuah survei mengenai distres psikologis terkait COVID-19, dilakukan di Tiongkok, Hong Kong, Macau, dan Taiwan, melibatkan 52.730 responden. Hasil survei menunjukkan beberapa faktor yang berperan meningkatkan distres psikologis, seperti peningkatan gangguan cemas menyeluruh, panik, dan depresi, yaitu:

  • Jenis kelamin wanita lebih rentan mengalami stres dan dapat mengalami post traumatic stress disorder / PTSD

  • Usia 18-30 tahun atau diatas 60 tahun lebih rentan, karena usia 18-30 tahun merupakan usia produktif dan lebih banyak mendapatkan informasi dari sosial media sehingga meningkatkan terjadinya stres. Sementara, tingginya tingkat kematian pada pasien berusia diatas 60 tahun membuat terjadinya distres psikologis yang meningkat pada kelompok usia tersebut
  • Tingkat pendidikan yang lebih tinggi berkaitan dengan self-awareness terhadap kesehatan yang lebih tinggi, sehingga mereka mudah mengalami stres
  • Pekerja yang bermigrasi mengalami peningkatan distres terkait kekhawatiran risiko penularan dari transportasi publik, serta penurunan pendapatan akibat penundaan atau pengurangan pekerjaan
  • Masyarakat yang tinggal di dekat dengan regio sentral kasus tertinggi[2]

Depositphotos_183463126_s-2019-min

Hal lain yang akan mempengaruhi tingkat distres psikologis, adalah tersedianya sumber daya kesehatan, efisiensi sistem kesehatan publik, serta tindakan mengontrol dan preventif yang dilakukan pemerintah terhadap situasi pandemik tersebut.[2,5,8]

Kesehatan Mental Terkait Karantina

Karantina merupakan salah satu langkah yang diambil untuk mencegah penyebaran wabah virus corona. Tindakan ini dilaporkan memberikan efek perburukan psikologis, termasuk terjadinya gejala PTSD, kebingungan, dan kemarahan.[5,9]

Faktor-faktor yang dianggap menjadi stressor selama karantina, antara lain:

  • Durasi karantina yang lebih panjang dari 10 hari berhubungan dengan meningkatnya gangguan mental khususnya gejala PTSD, perilaku menghindar dan kemarahan
  • Ketakutan akan infeksi yang dialami dan menularkan ke orang lain. Ketakutan ini khususnya terjadi pada wanita hamil dan mereka yang memiliki anak kecil
  • Frustasi dan kebosanan terjadi akibat seseorang kehilangan rutinitas harian, dan terjadi pengurangan kontak fisik dan sosial dengan orang lain, termasuk akibat perasaan menjadi terisolasi dari dunia sekitar
  • Tidak memiliki cukup cadangan kebutuhan dasar, seperti makanan, minuman, pakaian, atau akomodasi, termasuk obat-obatan hingga alat pelindung diri
  • Kekurangan informasi resmi dari pemerintah mengenai panduan langkah yang perlu dilakukan, pembagian tingkat berisiko, dan tujuan dari karantina. Informasi yang kurang ini merupakan salah satu prediktor timbulnya gejala PTSD[5,9-11]

Pasca karantina dapat menimbulkan stressor baru berupa:

  • Sebuah penelitian di Korea menyatakan gejala cemas dan kemarahan tetap bertahan pada 4 hingga 6 bulan setelah selesai karantina
  • Penurunan atau kehilangan sokongan finansial terutama bagi pekerja dengan tingkat pendapatan rendah. Hal ini menjadi faktor risiko terjadinya kemarahan dan ansietas di beberapa bulan setelah karantina selesai, serta berkembangnya distres sosio-ekonomi
  • Stigma terhadap orang yang mengalami karantina berupa diperlakukan berbeda, dihindari, tidak diundang dalam acara sosial, dianggap menakutkan dan berbahaya, dianggap menularkan, serta mendapat kritikan
  • Bagi tenaga medis yang bekerja mengatasi wabah, mendapatkan pandangan dari keluarga bahwa pekerjaannya terlalu berisiko dan menimbulkan ketegangan di dalam keluarganya. Beberapa tenaga kesehatan maupun pasien yang dapat selamat dari wabah juga menunjukkan ketakutan untuk kembali bekerja karena merasa takut dirinya menjadi sumber penyebaran penyakit[3,5,9,11,12]

Kesehatan Mental Tenaga Kesehatan

Menghadapi kasus infeksius dalam jumlah besar akan membuat tenaga medis berada dalam tekanan fisik dan mental. Terdapat kecenderungan bagi tenaga medis untuk mengecilkan risiko tertular terhadap dirinya, menolak untuk beristirahat, dan menolak dikatakan membutuhkan bantuan psikologis. Besaran dampak psikologis yang dialami akan sangat berkaitan dengan faktor budaya.[5,12,13]

Beban yang secara langsung dihadapi oleh tenaga medis adalah perasaan cemas terinfeksi dan meninggal, berpisah dengan keluarga terkait tuntutan bekerja, menyaksikan pemandangan traumatik termasuk pasiennya yang dalam kondisi kritis atau meninggal, bekerja dalam setting overburdened yang kronik, mengalami putus asa akibat kehilangan nyawa pasien dalam jumlah besar walaupun telah berupaya maksimal, kekurangan reinforcements dan replacements, serta kelelahan atau burnout. Beberapa kekhawatiran lainnya termasuk khawatir membuat keluarga khawatir, khawatir membawa pulang virus ke rumah, khawatir kekurangan alat perlindungan diri/APD, atau khawatir ketidakmampuan mengatasi pasien.[5,12,13]

Beban dan kekhawatiran yang tinggi ini tentu akan meningkatkan tingkat stres, seperti depresi, ansietas, perilaku permusuhan, dan gejala somatik. Kondisi ini pun dapat terjadi bahkan setelah 1 tahun pandemik berlalu, sehingga dapat disimpulkan dapat bersifat akut maupun kronik.[12]

Kesehatan Mental Pasien

Kesehatan mental pasien akan dipengaruhi oleh keparahan gejala, komplikasi, gejala sisa, efek terapi, maupun kemampuan mengakses layanan kesehatan. Kesulitan menjalani fungsi sehari-hari akibat gejala penyakit atau gejala sisa yang dialami dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seseorang. Beberapa pasien dapat mengalami perasaan tidak berdaya, bahkan perasaan duka akibat kehilangan orang-orang terdekat mereka termasuk sesama pasien dalam perawatan. Selain itu, adanya penyebaran infeksi ke sistem saraf pusat dapat menyebabkan terjadinya gejala neuropsikiatri tergantung area otak yang terkena. Gejala neuropsikiatri tersebut dapat bersifat menetap ataupun mengalami perbaikan setelah infeksi teratasi.[5,11,12,14]

Pasien lansia digolongkan sebagai pasien yang rentan karena memiliki risiko penularan yang lebih tinggi dan memiliki keterbatasan untuk mengakses layanan kesehatan. Gejala depresi juga sering ditemui sebagai akibat langsung dari keterbatasan yang mereka miliki.[14]

Pasien dengan Komorbiditas Gangguan Mental

Pasien dengan komorbiditas gangguan mental akan lebih mudah mengalami relaps dan hendaya dalam fungsi sehari-hari, terutama pada komorbiditas gangguan psikotik atau gangguan perkembangan yang sulit memperoleh pengobatan rutinnya. Stres yang bersumber dari pandemik juga dapat meningkatkan gejala psikotik, mania, depresi, anxietas, penyalahgunaan zat, dan risiko bunuh diri sehingga meningkatkan penggunaan obat-obat psikotropika khususnya antipsikosis dan benzodiazepine.[5,12,15]

Kesehatan Mental Keluarga

Keluarga dari tenaga kesehatan maupun pasien yang terkonfirmasi terinfeksi COVID-19 dilaporkan memiliki peningkatan risiko terjadinya distress psikologi. Meningkatnya gejala depresi pada keluarga tenaga kesehatan sejalan dengan tingginya jam kerja tenaga kesehatan. Sedangkan keluarga pasien berisiko tinggi mengalami gangguan cemas menyeluruh terkait dengan tingginya risiko penularan infeksi dan ketakutan akan meninggalnya anggota keluarga yang terjangkit infeksi, serta berkurangnya jam berkumpul dengan keluarga.[16,17]

Penanganan Psikologis

Prinsip krisis intervensi yang dapat dilakukan selama masa pandemik, adalah memahami status mental populasi yang berbeda yang diinduksi oleh pandemi yang terjadi; mengidentifikasi orang yang memiliki risiko tinggi melakukan bunuh diri dan tindakan agresif; menyediakan intervensi psikologis pada orang yang membutuhkan.[5]

Populasi berdasarkan target penanganan terbagi menjadi empat tingkatan, yaitu:

  • Tingkat 1, populasi yang paling rentan mengalami masalah kesehatan mental, seperti pasien yang sedang dirawat terkonfirmasi COVID-19, pasien dengan kondisi fisik kritis, tenaga medis, dan staf administrasi di garda terdepan
  • Tingkat 2, pasien karantina, termasuk isolasi diri atau pasien dengan gejala minimal yang kontak dengan pasien tersangka COVID-19
  • Tingkat 3, populasi yang kontak erat dengan individu tingkat 1 dan 2, seperti keluarga, rekan kerja, teman, dan regu penyelamat atau pekerja sukarelawan yang terlibat selama penanganan
  • Tingkat 4, populasi orang yang mengalami dampak dari kegiatan preventif dan pengontrolan publik

Penanganan Psikologi pada Masa Karantina

Stress psikologi dapat menetap setelah selesai masa karantina, faktor yang mempengaruhi antara lain terdapatnya gejala yang berhubungan dengan infeksi virus selama masa karantina, kebutuhan yang tidak terpenuhi,aktivitas sosial, riwayat gangguan jiwa, dan kehilangan finansial. Telah diketahui dari sebuah systematic review bahwa pasien dengan komorbiditas gangguan mental akan membutuhkan dukungan ekstra selama masa karantina.[9,11]

Berdasarkan penelitian, beberapa upaya penanganan yang perlu dilakukan adalah:

  • Waktu karantina diupayakan sependek mungkin dan dengan batasan periode tertentu. Beberapa penelitian menyarankan durasi karantina dapat disesuaikan dengan periode inkubasi. Perpanjangan waktu karantina telah diketahui akan mengeksaserbasi gejala frustasi
  • Pemberian informasi yang adekuat oleh lembaga kesehatan resmi mengenai tujuan karantina dan pemahaman menyeluruh tentang penyakit yang dihadapi. Informasi yang adekuat juga dapat berperan menurunkan stigma yang terjadi pasca karantina
  • Terjaminnya pasokan kebutuhan dasar selama masa karantina
  • Mengurangi kebosanan dengan tetap menjalankan kontak sosial melalui telepon atau media lain terutama dengan keluarga, orang yang dicintai, atau teman; serta tetap bekerja atau beraktivitas dengan memanfaatkan koneksi internet, termasuk tetap menjalani pendidikan jarak jauh bagi siswa
  • Penyediaan Support grup dari sesama orang yang menjalani karantina mandiri akan membuat seseorang merasa dimengerti, divalidasi, dan dikuatkan oleh sesama yang menjalaninya
  • Altruisme atau perasaan bahwa orang lain akan mendapatkan keuntungan dengan melakukan pengorbanan diri, termasuk melakukan karantina mandiri secara sukarela (home-based quarantine) dapat menurunkan tingkat stres yang dialami. Rasa terima kasih oleh otoritas kesehatan atas karantina mandiri yang dilakukan terbukti menurunkan gangguan jiwa[5,9,10,15]

Penanganan Psikologi Petugas Medis dan Paramedis di Fasilitas Kesehatan

Tenaga medis dan staf pendukung di garda terdepan sangat membutuhkan dukungan yang lebih kompleks, terkait beban kerja dan risiko tinggi yang dialami. Dukungan yang dapat diberikan mencakup:

  • Dukungan dari tenaga medis lain terbukti akan mengurangi perasaan terisolasi dan merupakan prediktor negatif terjadinya PTSD
  • Dukungan dari penyedia layanan medis, seperti pelatihan penanganan, kelengkapan alat pelindung diri sehingga meningkatkan kepercayaan diri, pembagian tugas kerja untuk mengurangi kelelahan/burnout, pembentukan tim intervensi psikologis, penyediaan tempat tinggal sementara yang terjamin asupan makanan dan kebutuhan sehari-hari, serta fasilitas agar tenaga kesehatan dapat terus terkoneksi dengan keluarganya
  • Dukungan dari pemerintah dan penentu kebijakan berupa penyediaan informasi yang adekuat mengenai pelatihan penanganan dan pencegahan penyakit, perkembangan situasi pandemik, serta protokol pengontrolan infeksi saat pulang ke rumah. Pemerintah juga harus menyediakan sarana komunikasi efektif untuk mendiskusikan kondisi atau hambatan yang ditemui di lapangan, termasuk ketersediaan alat pelindung diri[5,9,12,13,19]

Penanganan Psikologi Pasien

Pemberian penanganan baik farmakoterapi maupun intervensi psikososial yang sesuai dengan gangguan mental yang dialami akan membantu pemulihan pasien. Intervensi psikososial dapat dilakukan baik perorangan maupun kelompok. Intervensi ini berguna untuk meningkatkan pemahaman pasien tentang apa yang ia alami, cara penanganan hingga mengkoneksikan dengan bantuan-bantuan komunitas yang ia perlukan kelak. Penyediaan bimbingan agama atau pemuka suatu kebudayaan dapat menolong memberikan harapan dan kepercayaan diri bahwa ia mampu melewati masa wabah tersebut. Bagi beberapa pasien khususnya pasien lansia dan pasien dengan komorbid gangguan jiwa, pendampingan oleh orang sekitar diperlukan agar mampu mengakses layanan kesehatan yang dibutuhkan.[12,14]

Pasien yang berhasil diselamatkan dari suatu wabah atau yang berhasil melewati wabah, juga mungkin dapat mengalami gangguan traumatik seperti gangguan stres akut dan PTSD. Hal ini menjadi pertimbangan pentingnya melakukan penapisan gangguan psikiatrik setelah pandemik berakhir, terutama untuk mencari adanya gejala gangguan stres akut, PTSD, gangguan depresi, gangguan penyalahgunaan zat, dan gangguan terkait stigma yang terjadi.[12,14]

Penanganan Pasien dengan Komorbid Gangguan Psikiatrik

Bagi pasien dengan komorbid gangguan psikiatrik perlu diberikan perhatian khusus, dapat melalui diskusi serta pencarian solusi bersama keluarga. Beberapa kebijakan yang dapat diberikan adalah:

  • Pemberian jatah obat yang diperpanjang menjadi beberapa bulan pada masa pandemic, tetapi harus dengan melibatkan pengawasan dari keluarga yang dapat dipercaya
  • Melakukan pemantauan yang lebih ketat sesuai derajat keparahan penyakit setelah pandemik berakhir, misalnya dengan merutinkan konsultasi menjadi dua kali sebulan atau bahkan mingguan
  • Bagi pasien yang tidak mampu mengakses layanan kesehatan maka dapat dilakukan telepsikiatri jika memungkinkan[5,12,15]

Penanganan Psikologi Keluarga

Penanganan keluarga sering tidak menjadi fokus dalam suatu wabah, sehingga isu mengenai kesehatan mentalnya sering terlewat. Keluarga masuk ke dalam tingkat ke-3 dari tingkatan risiko gangguan jiwa, karena itu penanganan psikologi keluarga juga membutuhkan peran serta penentu kebijakan dan pemangku kepentingan, seperti:

  • Menyediakan pelayanan krisis intervensi bagi keluarga, termasuk menyediakan terapi kognitif dan perilaku secara online untuk mengatasi gejala depresi
  • Menyediakan peralatan perlindungan diri yang memadai, pengaturan jadwal kerja, akomodasi sementara, dan layanan komunikasi bagi tenaga medis agar keluarga merasa terlindungi dan tetap dapat memberikan dukungan dua arah
  • Menyediakan informasi yang memadai dari pemerintah mengenai situasi pandemik maupun kondisi keluarganya. Hal ini akan meningkatkan perasaan memiliki kontrol diri, pemahaman dan kemampuan mengatasi dampak psikologis dari wabah yang dihadapi[5,9,16,17]

Tim Intervensi Psikologis

Pembentukan tim intervensi psikologis adalah tim yang terdiri dari terapis psikologis yang dapat melakukan beberapa layanan, yaitu:

  • Layanan hotline dan kunjungan berkala ke area istirahat. Kunjungan berkala berfungsi mendengarkan keluhan selama bekerja dan menyediakan dukungan psikologis
  • Penapisan gejala psikiatrik dan melakukan intervensi baik individual maupun kelompok. Penapisan dan intervensi dilakukan baik selama penanganan pandemik berlangsung maupun setelah pandemik berakhir
  • Pemberian pelatihan dalam mengidentifikasi dan merespon masalah psikologis pada pasien, serta bagaimana cara berhadapan dengan pasien yang tidak kooperatif
  • Manajemen stres, berupa latihan relaksasi, mindfulness, program workforce resilience, strategi penanganan diri sendiri, aktivitas kerja kelompok dan pembentukan moral, kegiatan untuk mengapresiasi kerja, maupun pendampingan oleh pemuka agama[5,12,13]

Stigma dan Media Sosial

Pasca perawatan atau pandemik, beberapa pasien atau tenaga medis mengalami stigma tertentu seperti penolakan oleh komunitas lokalnya. Hal ini dapat menimbulkan sikap menyalahkan diri sendiri, halangan untuk kembali ke rumah atau pekerjaan, dan halangan untuk mencari pertolongan. Sedangkan media sosial yang tidak terkendali akan menyebabkan kondisi pemberitaan yang berlebihan, menyebarkan ketakutan, bahkan meningkatkan risiko gangguan jiwa pada yang menerima pesan ataupun mengirim pesan. Selain itu media sosial juga dapat meningkatkan stigma terhadap pasien dan tenaga kesehatan yang menjalani karantina.[3,5-7,12]

Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi stigma adalah:

  • Memberikan validasi terhadap pengalaman yang ia alami, khususnya oleh orang terdekat dan lingkungan sekitar
  • Beberapa Negara memberikan gelar pahlawan bagi tenaga kesehatan atau pasien yang berhasil selamat
  • Pembinaan ketahanan diri orang tersebut dan komunitasnya, sehingga dapat mencapai efikasi diri dan pertahanan dalam menghadapi perbedaan yang terjadi[12,20]

Telah diketahui dari penelitian bahwa pesan yang banyak dibagikan akan meningkatkan pengaruh dari persepsi sehingga dapat meningkatkan perubahan perilaku yang dipengaruhi oleh pesan tersebut. Oleh karena itu, pembatasan penyebaran informasi yang dilakukan oleh pemerintah, dan pembuatan media resmi untuk penyebaran informasi valid yang berasal dari pemerintah, diperlukan untuk membantu pemahaman tentang situasi yang terjadi.[3,5,9]

Media sosial dan pesan yang disampaikan terus-menerus dapat dimanfaatkan sebagai intervensi perilaku. Perubahan perilaku yang diharapkan berupa penerapan pola hidup sehat yang diperlukan untuk pengontrolan infeksi seperti penerapan mencuci tangan, social distancing, work from home, penggunaan alat perlindungan diri, etika batuk dan bersin. Bagi individu yang memanfaatkan media sosial penting untuk melakukan pembatasan penggunaan dan penyaringan tentang isi media sosial agar dapat mengurangi kecemasan yang dirasakan.[7,9]

Kesimpulan

Perubahan yang terjadi selama pandemik COVID-19 akan mempengaruhi kesehatan mental bagi pasien, tenaga medis, keluarga, maupun orang yang merasakan dampak dari perubahan kebijakan yang terjadi. Faktor yang menentukan terjadinya peningkatan risiko gangguan jiwa antara lain jenis kelamin wanita, usia produktif dan usia lansia, tingkat pendidikan yang lebih tinggi, pekerja yang bermigrasi, dan makin dekat dengan daerah penyebaran tertinggi. Berdasarkan tingkatan kerentanan populasi untuk berkembangnya gangguan jiwa dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu tingkatan tertinggi di tingkat pertama dan tingkat terendah di tingkat keempat. Adanya kerjasama dari berbagai pihak termasuk pemerintah akan menentukan tingkat keberhasilan penanganan dari gangguan mental yang terjadi.

Referensi