Konsekuensi Jangka Panjang Akibat Kejang Demam Berulang

Oleh :
dr. Joko Kurniawan, M.Sc., Sp.A

Konsekuensi jangka panjang pada penderita kejang demam berulang sayangnya tidak banyak yang menyadarinya, sehingga seringkali penanganan kejang demam pada anak tidak dilakukan dengan baik. Sebanyak 3% anak dengan kejang demam akan berkembang menjadi epilepsi di kemudian hari. Risiko epilepsi pada kejang demam kompleks 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kejang demam sederhana.[1]

Prevalensi Kejang Demam Berulang

Kejang demam merupakan kejang yang terjadi saat demam > 38 derajat C pada anak yang bukan menderita infeksi neurologis, dan sebelumnya tidak memiliki masalah neurologis. Kejadian kejang demam pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun sebesar 2-5%. Sebagian anak yang menderita kejang demam, sebesar 30-40% memiliki risiko mengalami kejang demam berulang. Kejang demam berulang umumnya terjadi dalam 1 tahun pertama setelah kejang demam pertama, yaitu  pada 75% kasus.[1,2]

shutterstock_1023137134-min

Kejang demam berulang lebih berisiko terjadi pada kondisi sebagai berikut:

  • anak mengalami kejang demam pertama pada usia di bawah 12 bulan (43%)
  • anak laki-laki (72%)
  • kejang terjadi kurang dari 24 jam sejak onset demamnya (46%)
  • riwayat keluarga dengan epilepsi (5%) [2-4]

Sebuah studi retrospektif di Thailand yang melibatkan 335 kasus kejang demam juga menguatkan bahwa faktor-faktor tersebut meningkatkan risiko berulangnya kejang demam pada anak.[4]

Konsekuensi Epilepsi

Konsekuensi epilepsi dapat terjadi pada 3% anak dengan kejang demam berulang. Beberapa faktor risiko epilepsi pasca kejang demam adalah riwayat keluarga yang menderita epilepsi, adanya gangguan neurologis sebelum kejadian kejang demam, dan kejang demam kompleks. Kejadian epilepsi juga meningkat pada kasus kejang demam pada anak berusia di atas 6 tahun, dikenal dengan nama kejang demam plus. Kejang demam plus diyakini berhubungan dengan faktor genetik yang diturunkan secara autosomal dominan.[5]

Adanya sklerosis pada hipokampus dan temporal otak pasca kejang demam dikatakan berhubungan dengan kejadian epilepsi. Terdapat beberapa studi yang menemukan sklerosis pada otak anak penderita epilepsi dengan riwayat kejang demam sebelumnya. Belum ada patofisiologi yang jelas mengenai hal ini.[5,6]

Sebuah studi kohort yang melibatkan 1,5 juta anak menunjukan konsekuensi untuk menjadi epilepsi meningkat 5,43 kali setelah kejadian kejang demam. Pada studi ini tidak dibedakan tipe kejang demam yang menyebabkan epilepsi. Faktor risiko yang ditemukan pada studi ini adalah riwayat epilepsi di keluarga, anak dengan cerebral palsy, dan skor APGAR kurang dari 7 pada menit ke 5.[3]

Konsekuensi Gangguan Perilaku Psikiatri

Studi di Kenya menyebutkan bahwa gangguan perilaku dan emosi meningkat 27% pada anak dengan riwayat serangan kejang demam. Salah satu faktor risiko gangguan perilaku dan emosi tersebut adalah kejang demam yang berulang.[7]

Studi kohort di Denmark yang dilakukan sejak tahun 1977-2011, yang melibatkan lebih dari 2 juta anak, menunjukan adanya hubungan antara kejadian kejang demam berulang dengan risiko terjadinya epilepsi, gangguan psikiatri, dan kematian. Tidak disebutkan secara spesifik gangguan psikiatri seperti apa yang terjadi pada anak pada studi tersebut. Risiko terjadinya epilepsi meningkat 15,8%, sementara kejadian gangguan psikiatri meningkat 29,1% setelah kejang demam terjadi sebanyak 3 kali. Angka mortalitas juga meningkat 1,4-2,7% pada pasien yang sudah mengalami epilepsi. Studi kohort ini berbasis data sekunder dari rekam medis. Belum ada teori yang bisa menjelaskan dengan pasti bagaimana kejang demam berulang menimbulkan gangguan perilaku dan psikiatri.[1]

Mencegah Konsekuensi Jangka Panjang Kejang Demam Berulang

Melihat tingginya risiko kejadian epilepsi maupun masalah lainnya pada pasien kejang demam berulang, maka perlu penanganan yang tepat pada kasus kejang demam. Studi metaanalisis oleh Cochrane tahun 2017, menyertakan 40 artikel yang menggambarkan 30 percobaan acak dengan 4256 peserta, yang menganalisis 13 intervensi profilaksis kontinu atau intermiten pada penanganan kejang demam. Hasil analisis tidak menemukan manfaat yang signifikan untuk fenobarbital intermiten, fenitoin, valproat, piridoksin, ibuprofen, atau seng sulfat, dibandingkan dengan plasebo atau tanpa pengobatan; atau untuk diklofenak dibandingkan dengan plasebo diikuti oleh ibuprofen, paracetamol, atau plasebo; atau untuk fenobarbital terus menerus dibandingkan diazepam, diazepam rektal intermittent versus valproate intermiten, atau diazepam oral versus clobazam.[6,10]

Pemberian harian asam valproat atau fenobarbital dikatakan efektif dalam pencegahan kejang demam, tetapi  efek samping yang merugikan dari penggunaan kedua obat tersebut lebih besar daripada manfaatnya. Selain itu, penggunaan terapi antiepilepsi kronis tidak mengurangi risiko epilepsi. Sehingga, dalam konsensus saat ini tidak dianjurkan terapi antiepilepsi preventif terus menerus untuk pencegahan kejang demam berulang. Penggunaan terapi antikonvulsan intermiten, seperti diazepam, tidak diindikasikan secara rutin. Sedangkan antipiretik tidak memiliki peran dalam pencegahan kejang demam pada anak.[6,8,10]

Kesimpulan

Kejang demam berulang pada anak memiliki banyak konsekuensi jangka panjang. Konsekuensi jangka panjang yang mungkin terjadi di antaranya adalah epilepsi, gangguan neurologis, gangguan perilaku, gangguan psikiatri, dan meningkatnya angka mortalitas. Tipe kejang demam kompleks memiliki risiko untuk menjadi kejang demam berulang dibandingkan dengan kejang demam sederhana.

Penanganan yang tepat pada anak dengan kejang demam terbukti dapat menurunkan kejadian berulangnya kejang demam, sehingga dapat mencegah konsekuensi jangka panjang yang merugikan. Pencegahan menjadi faktor penting dalam pengelolaan kejang demam. Namun, pemberian antiepilepsi maupun antikonvulsan tidak dianjurkan untuk diberikan secara rutin sebagai upaya mencegah kejang demam berulang, karena efek samping lebih besar daripada manfaatnya. Pemberian penurun panas saat demam bertujuan untuk memberikan kenyamanan pada anak, dan bukan untuk mencegah terjadinya kejang demam. Diperlukan studi lebih lanjut di masa depan karena kualitas penelitian sebelumnya, yang diuji metaanalisis, masih rendah.

Referensi