Mengatasi Resistensi Antibiotik terhadap Gonorrhea

Oleh :
dr. Fresa Nathania Rahardjo, M.Biomed, Sp.KK

Resistansi antibiotik terhadap gonorrhea adalah salah satu dari new emerging disease. Resistansi antibiotik terhadap gonorrhea ini merupakan salah satu dari resistansi antibiotik yang luas di dunia.

Menurut WHO, setidaknya ada 78 juta orang terinfeksi dengan gonorrhea setiap tahunnya. Sebanyak 77 negara telah melaporkan adanya gonorrhea resistansi antibiotik. Peningkatan gonorrhea resisten obat terjadi karena menurunnya penggunaan kondom, meningkatnya urbanisasi dan perjalanan, deteksi infeksi gonorrhea yang rendah dan pengobatan yang tidak memadai.[1]

resistensi antibiotik, resistensi gonore, resistensi antibiotik gonore, resistensi antibiotik gonorrhea, infeksi gonorrhea, infeksi gonore, alomedika

Hal ini sesuai dengan European Centre for Disease and Prevention Control (ECDC) mengenai sebab peningkatan gonorrhea resisten obat. Peningkatan resistansi terjadi karena peningkatan aktivitas seksual oleh turis (travel–associated gonorrhea) dan norma yang tidak diterima oleh masyarakat.[2]

Keadaan Resistansi Gonorrhea saat ini

Saat ini terdapat 2 pembagian besar resistansi antibiotik terhadap gonorrhea, yaitu multidrug–resistant gonorrhea (MDR–GC) dan extensively drug resistant gonorrhea (EDR–GC).

Multidrug–resistant gonorrhea (MDR-GC) adalah infeksi gonorrhea yang resisten terhadap salah satu dari antibiotik kategori 1 (termasuk sefalosporin spektrum luas bentuk injeksi/oral dan spectinomycin) dan minimal 2 antibiotik kategori 2 (termasuk penicillin, fluoroquinolon, azithromycin, aminoglikosida dan carbapenem).[2]

Extensively drug resistant gonorrhea (EDR–GC) didefinisikan menjadi infeksi yang resistan terhadap 2 atau lebih dari kelas antibiotik kategori I dan 3 atau lebih dari kategori II.[2]

Keadaan Resistansi Gonorrhea secara Global

Pada tahun 2016, sebanyak 23.708 kasus gonorrhea dilaporkan oleh kementrian kesehatan masyarakat Kanada. Kasus ini meningkat sebanyak 87%, dari 34,9 kasus per 100.000 populasi pada 2012 menjadi 65,4 kasus per 100.000 populasi pada 2016.[4]

Pada 2012, 7 isolat (0,2%) EDR–GC menunjukkan terjadinya penurunan suseptibilitas terhadap cephalosporin dan resistansi terhadap azithromycin, yang kemudian meningkat menjadi 8 (0,3%) pada tahun 2013. Mulai tahun 2014 sampai 2016, didapatkan penurunan kejadian XDR–GC, hanya 5 kasus pada rentang ini. Sedangkan kejadian MDR–GC meningkat 6,2% (n=189/3,036) tahun 2012 menjadi 8,9% (n=406/4,538) tahun 2016 di Kanada.[4]

Persentase ini menunjukkan penurunan proporsi isolat dengan suseptibilitas terhadap cephalosporin atau resistansi terhadap azithromycin, yang dilanjutkan dengan resistansi terhadap 2 antimikroba lainnya.[4]

Selanjutnya, menurut European Gonococcal Antimicrobial Surveillance Programme (EURO–GASP), terdapat hubungan peningkatan tren resistansi terhadap antibiotik cefixime dan ciprofloxacin pada heterosexual (hanya pria untuk resistansi ciprofloxacin), pasien yang lebih tua (>25 tahun), dan tanpa infeksi chlamydia sebelumnya.[5]

Keadaan resistansi Gonorrhea di Indonesia

Di Indonesia, pada tahun 2014 ditemukan 79 kasus infeksi N. gonorrhoeae yang tidak resistansi terhadap ceftriaxone atau cefixime dan 1 kasus resisten azithromycin. Akan tetapi, 98,8% terbukti resisten terhadap doxycycline dan 97,6% terhadap ciprofloxacin. Resistansi ini sekarang berkembang menjadi multidrug–resistant gonorrhea dan extensively drug-resistant gonorrhea. [2]

Rositawati et al. pada tahun 2019 di melakukan penelitian tes resistansi gonorrhea terhadap cefixime pada pasien di Surabaya. Hasil penelitian ini menemukan bahwa 7 dari 20 isolat (35%) resisten terhadap cefixime, sisanya masih sensitif cefixime. Selain itu, 11 sampel (35%) melakukan swamedikasi untuk infeksi gonorrhea. Obat yang diberikan secara bebas berdasarkan penelitian ini adalah cefixime/azithromycin, tetracycline, ampicillin dan ofloxacin. [6]

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resisten Antibiotik pada Gonorrhea

Sebuah review oleh Abraha et al. pada tahun 2018 menilai faktor–faktor yang diasosiasikan dengan gonorrhea resisten antibiotik. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah faktor epidemiologis, kebiasaan, dan klinis.[7]

Faktor Epidemiologis

Umur, jenis kelamin, hubungan seksual sesama jenis dan ras secara epidemiologi mempengaruhi infeksi gonorrhea. Usia 20–24 tahun merupakan kelompok puncak infeksi gonorrhea di Amerika dan Inggris Raya. Laki–laki berisiko 2 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hubungan seksual sesama jenis terutama pada pria berhubungan dengan angka infeksi gonorrhea yang lebih tinggi dibandingkan dengan perilaku heteroseksual.[7]

Kondisi sosial ekonomi yang rendah memiliki angka infeksi gonorrhea yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan rendahnya pendidikan, sulitnya fasilitas kesehatan, dan rendahnya pengetahuan tentang infeksi menular seksual (IMS). [7]

Faktor Kebiasaan Hidup

Beberapa pola perilaku dinilai dapat meningkatkan infeksi gonorrhea. Perilaku seperti partner seksual multiple, pelancong atau turis yang melakukan aktivitas seksual (sex tourism), pekerjaan seks komersial (PSK), penyalahgunaan alkohol dan obat–obatan.[7]

Faktor Klinis

Berikut ini ada beberapa faktor klinis yang memperberat infeksi gonorrhea resisten antibiotik:

Regio Anatomi Infeksi:

Di Eropa faring merupakan situs anatomi tersering infeksi gonorrhea yang resisten antibiotik pada kelompok hubungan seksual sesama jenis. Sedangkan pada kelompok heteroseksual terdapat pada area genital.[7,12]

Koinfeksi dengan HIV dan IMS Lain:

Infeksi gonorrhea resisten antibiotik pada pasien dengan HIV positif memiliki angka risiko yang lebih tinggi. Studi terakhir hanya dilakukan pada infeksi dengan HIV negatif yang memiliki angka OR sebesar 0,72 dengan IK 95% 0,54–0,96.[7]

Penggunaan Antibiotik Sebelumnya:

Penggunaan antibiotik sebelumnya, seperti ciprofloxacin pada PSK di Filipina memiliki angka infeksi gonorrhea yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak menggunakan antibiotik sebelumnya.[7]

Upaya Menurunkan Angka Gonorrhea Resistan Obat

Melihat peningkatan infeksi gonorrhea resisten antibiotik dan potensi bahaya di masa mendatang, dibutuhkan upaya menurunkan angka kejadian gonorrhea. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah meningkatkan skrining dan promosi kesehatan, konseling sebelum bepergian, dan pemberian pengobatan yang optimal.[3]

Tabel 1. Empat Rekomendasi yang Diperlukan dalam Penanggulangan Resistansi Antibiotik Terhadap Infeksi Gonorrhea

Rekomendasi Poin Penting
Peningkatan skrining dan promosi aktivitas seksual yang aman

Edukasi untuk menghilangkan stigma negatif infeksi gonorrhea

Pemeriksaan rutin terhadap infeksi menular seksual

Sampel diambil dari area tubuh yang terpapar aktivitas seksual yang mencurigakan

Skrining pra travel

Konseling pra travel untuk edukasi aktivitas seksual yang aman

Pemeriksaan infeksi menular seksual sebelum bepergian

Pencatatan terhadap aktivitas seksual yang mencurigakan dalam penularan gonorrhea

Peningkatan kultur spesimen sebagai diagnosis dan tes laboratoris Peningkatan frekuensi tes nucleic acid amplification tests (NAAT) dalam diagnosis gonorrhea dalam usaha pengurangan terjadinya resistansi antibiotik terhadap gonorrhea
Terapi antibiotik kombinasi sesuai konsensus terbaru

Penggunaan antibiotik kombinasi disesuaikan dengan area infeksi gonorrhea tiap pasien.

Update setiap tata laksana terapi kombinasi

Terapi empiris dilakukan dalam 60 hari pasca terjadinya aktivitas seksual yang mencurigakan.

Sumber: dr. Fresa Nathania Rahardjo, M.Biomed, Sp.KK, 2020[3,11]

Pedoman Klinis Penanggulangan Resistansi Antibiotik terhadap Gonorrhea dan Terapi Antibiotik Gonorrhea saat ini

Saat ini terdapat pedoman nasional dalam menangani kasus gonorrhea yang dikeluarkan oleh persatuan dokter spesialis kulit dan kelamin (PERDOSKI). Pada Panduan Praktis Klinis dari PERDOSKI, dicantumkan bahwa infeksi gonokokus dan infeksi Chlamydia trachomatis hampir selalu bersamaan maka dalam pengobatan infeksi gonokokus sebaiknya diberikan juga pengobatan untuk infeksi Chlamydia.[8]

Berdasarkan studi oleh Pitasari et al. pengobatan gonorrhea dengan cefixime diberikan pada 75 pasien (60%), kombinasi cefixime dengan doksisiklin pada 24 pasien (19,2%), serta kombinasi ciprofloxacin dan doxycycline pada 4 pasien (2,2%).

Tujuan pemberiannya bersamaan dengan doksisiklin adalah selain untuk eradikasi N.gonorrhoeae, juga untuk eradikasi Chlamydia Trachomatis, sebab infeksi gonorrhea seringkali mengalami koinfeksi dengan C. Trachomatis.[9]

Sebanyak 10–30% orang dengan infeksi gonorrhea mengalami koinfeksi dengan chlamydia, sehingga terapi kombinasi doxycycline/azithromycin direkomendasikan dan terbukti efektif. Terapi rangkap dua ini juga menurunkan perkembangan resistansi antibiotika pada bakteri.[9]

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Kesehatan Indonesia nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik juga diatur berbagai antibiotik empiris dalam penanggulangan infeksi menular seksual dan protokol dalam penanggulangan resistansi antibiotik terhadap berbagai infeksi menular seksual dan non seksual.[10]

Kesimpulan

Infeksi gonorrhea merupakan infeksi menular seksual dengan angka insiden cukup tinggi dan meningkat setiap tahunnya. Telah terdapat berbagai tata laksana dalam penanganan infeksi ini oleh Kemenkes dan PERDOSKI yang dapat diikuti oleh seluruh praktisi di indonesia.

Akan tetapi, sesuai hasil data penelitian global dan di Indonesia, terdapat berbagai kasus yang mengindikasikan terjadinya resistansi antimikroba dalam 10 tahun terakhir, sehingga penggunaan dual antibiotik dalam eradikasi kasus infeksi ini sangat disarankan.

Rekomendasi internasional dalam praktek sehari–hari adalah peningkatan skrining dan promosi aktivitas seksual yang aman, skrining pra–travel, peningkatan kultur spesimen sebagai diagnosis dan tes laboratorik, dan terapi antibiotik kombinasi sesuai konsensus terbaru.

Keempat rekomendasi ini di konsesuskan oleh kementrian kesehatan masyarakat Kanada untuk prevensi resistansi antibiotik terhadap gonorrhea. Dalam praktek di Indonesia keempat rekomendasi ini dapat digunakan secara luas dalam praktek sehari–hari dalam menghindari terjadinya resistansi antibiotik terhadap gonorrhea.

 

 

Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli

Referensi