Menilai Risiko Partus Macet Karena Cephalopelvic Disproportion dengan Kamera 3 Dimensi – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr.Giovanny Azalia Gunawan

Three-dimensional Camera Anthropometry to Assess Risk of Cephalopelvic Disproportion-related Obstructed Labour in Ethiopia

Tolentino L, Yigeremu M, Teklu S, et al. Three-dimensional camera anthropometry to assess risk of cephalopelvic disproportion-related obstructed labour in Ethiopia. Interface Focus. 2019 May;9(5):1-13. PMID: 31485318

berkelas

Abstrak

Partus macet yang disebabkan oleh cephalopelvic disproportion (CPD) membutuhkan sectio caesarea (SC). Namun, di negara dengan sumber daya yang terbatas, fasilitas kesehatan yang memiliki kemampuan SC sering kali berlokasi jauh. Penelitian ini ingin membandingkan 3 alat berbiaya rendah untuk menilai risiko CPD sebelum persalinan, sehingga dokter dapat menyediakan waktu yang cukup untuk rujukan dan perencanaan persalinan.

Peneliti melakukan pengukuran dengan pita pengukur dan antropometri yang berbasis kamera 3 dimensi (3D). Kamera yang digunakan adalah 2 kamera 3D (Kinect dan Structure). Pasien yang diperiksa adalah pasien primigravida dengan usia kehamilan ≥36 minggu di Addis Ababa, Ethiopia.

Suatu skor dikembangkan dan diuji untuk mengidentifikasi model dengan prediksi yang tertinggi pada area under the receiver-operator characteristic curve (AUC) dan untuk mengidentifikasi angka deteksi serta angka triage. Angka deteksi adalah angka positif asli pada 5% angka positif palsu, sedangkan angka triage adalah angka negatif asli pada 0% angka negatif palsu.

Untuk pita pengukur, kamera Kinect, dan kamera Structure, angka deteksi adalah 53%, 61%, dan 64% secara berurutan. Sementara itu, angka triage adalah 30%, 56%, dan 63% secara berurutan. AUC adalah 0,871, 0,908, dan 0,918 secara berurutan.

Angka deteksi adalah 77%, 80%, dan 84% pada J-statistik maksimal, yang mewakili angka positif palsu sebesar 10%, 15%, dan 11% secara berurutan untuk pita pengukur, kamera Kinect, dan kamera Structure.

Peneliti menyimpulkan bahwa pita pengukur merupakan alat prediksi yang cukup baik, tetapi kamera Kinect dan Structure merupakan alat pengukur antropometri yang lebih baik untuk memprediksi risiko CPD.

Menilai Risiko Partus Macet Karena Cephalopelvic Disproportion dengan Kamera 3 Dimensi-min

Ulasan Alomedika

Partus macet akibat cephalopelvic disproportion (CPD) menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi di masa perinatal, terutama di area terpencil yang membutuhkan waktu dan jarak tempuh jauh menuju fasilitas kesehatan dengan sectio caesarea (SC).

Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai metode untuk menilai risiko CPD sebelum persalinan telah diteliti agar tenaga medis bisa mempersiapkan rujukan dan membuat perencanaan persalinan yang lebih baik. Contoh metode yang diteliti adalah pelvimetri klinis (palpasi posisi anatomis pelvis) dan pelvimetri radiologis dengan MRI dan CT.

Namun, pelvimetri klinis memerlukan tenaga terlatih dan hasilnya bisa bersifat subjektif. Sementara itu, pelvimetri radiologis dapat memaparkan janin dengan radiasi dan tidak selalu tersedia di area terpencil. USG juga tidak bisa menilai dimensi pelvis. Oleh sebab itu, alat ukur yang murah, mudah diakses, dan akurat masih diperlukan.

Penelitian ini ingin mengetahui apakah antropometri berbasis kamera (sensor Kinect V2 yang dipakai dengan laptop dan kamera Structure yang dipakai dengan smartphone) merupakan alat ukur yang baik untuk menilai risiko CPD sebelum persalinan. Kedua antropometri berbasis kamera ini memiliki biaya relatif terjangkau dan mudah dipakai.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan partisipan dari 3 fasilitas kesehatan, yaitu rumah sakit Tikur Anbessa, klinik kesehatan Girar, dan klinik kesehatan Worreda 08 di Addis Ababa, Ethiopia. Total partisipan adalah 685 orang, yang kemudian dikombinasi dengan data 148 orang dari penelitian yang dilakukan oleh Gleason.

Kriteria inklusi partisipan adalah primigravida, usia 18–40 tahun, usia kehamilan ≥36 minggu dengan presentasi vertex, dan kehamilan tunggal. Semua partisipan diminta untuk membaca informed consent secara saksama dan menandatanganinya.

Pengukuran yang pertama menggunakan pita pengukur. Beberapa parameter yang diukur adalah tinggi badan, berat badan, panjang dan lebar bahu, panjang dan lebar pinggang, panjang dan lebar pinggul, lingkar kepala, dan panjang kaki.

Pengukuran yang kedua menggunakan kamera 3 dimensi Kinect dan Structure. Sensor Kinect V2 digunakan dengan laptop, sedangkan kamera Structure digunakan dengan smartphone.

Partisipan memakai pakaian yang disiapkan dan menghadap kamera Kinect dengan kedua lengan terbuka 45° dan kedua kaki terbuka dengan jarak 50 cm. Pengambilan gambar dilakukan dari depan, belakang, kiri, dan kanan. Kamera diletakkan secara tetap di satu tempat, sedangkan partisipan menyesuaikan posisi dan arah tubuh yang difoto. Sebaliknya, pada pengambilan gambar menggunakan Structure, partisipan berdiam diri di satu tempat, sedangkan kamera digerakkan oleh operator.

Parameter yang diukur pada Kinect maupun Structure adalah tinggi badan, panjang bahu, panjang pinggang, iliaka, simfisis, pinggul, diameter bahu (jarak ketiak kanan dan kiri), diameter pinggang (diameter terkecil dari torso), diameter iliaka, diameter pinggul (jarak terjauh area pelvis), 5 diameter (diameter torso 1–5) jarak antara pinggul dan bahu, tinggi fundus, dan ukuran fundus.

Berdasarkan semua parameter yang diukur, partisipan lalu dikategorikan menjadi risiko sangat tinggi, risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah CPD. Selanjutnya, peneliti melakukan analisis statistik two-sample t-test. Setelah persalinan, peneliti juga mengumpulkan data pasien yang akhirnya menjalani SC untuk mengetahui apa indikasi SC tersebut, yakni melalui wawancara, rekam medis, dan dokter yang merawat.

Ulasan Hasil Penelitian

Suatu skor baru dikembangkan untuk mengidentifikasi model dengan prediksi tertinggi pada area under the receiver-operator characteristic curve (AUC), angka deteksi, serta angka triage. Angka deteksi merupakan angka positif asli pada 5% angka positif palsu, sedangkan angka triage merupakan angka negatif asli pada 0% angka negatif palsu.

Secara berurutan untuk pita pengukur, kamera Kinect, dan kamera Structure, angka deteksi adalah 53%, 61%, dan 64%. Sementara itu, angka triage adalah 30%, 56%, dan 63% secara berurutan. AUC adalah 0,871, 0,908, dan 0,918 secara berurutan.

Angka deteksi adalah 77%, 80%, dan 84% pada J-statistik maksimal, yang berkaitan dengan angka positif palsu sebesar 10%, 15%, dan 11% secara berurutan untuk pita pengukur, kamera Kinect, dan kamera Structure.

Setelah membandingkan angka deteksi, angka triage, dan AUC, peneliti menyimpulkan bahwa pita pengukur merupakan alat prediksi yang cukup baik, tetapi kamera Kinect dan Structure menghasilkan prediksi risiko CPD yang lebih baik.

Pada perbandingan kamera Kinect dan Structure, tampak bahwa kamera Structure bisa menghasilkan angka triage dan AUC yang agak lebih tinggi daripada Kinect. Hal ini diduga terjadi karena kamera Structure memiliki resolusi yang lebih baik. Selain itu, kamera Structure tidak memerlukan sumber listrik eksternal karena bisa menggunakan smartphone. Namun, kamera Kinect memiliki kemampuan skeletal mapping.

Kelebihan Penelitian

Proses pemilihan subjek penelitian ini dinilai cukup baik karena melibatkan 3 fasilitas kesehatan dan jumlah sampel yang cukup banyak, yaitu 810 orang. Kriteria inklusi yang ditentukan pun sudah tepat karena tujuan dari penelitian ini adalah menilai risiko CPD yang memang harus sudah dinilai pada kehamilan pertama.

Pada proses pengukuran menggunakan kamera 3 dimensi, banyaknya parameter yang diukur merupakan suatu kelebihan yang signifikan dibandingkan dengan pita pengukur yang hanya bisa mengukur bagian luar tubuh.

Selain itu, peneliti juga membandingkan hasil antropometri kamera 3 dimensi antara Kinect dan Structure yang tidak dilakukan pada penelitian serupa sebelumnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Gleason, et al.

Limitasi Penelitian

Meskipun jumlah subjek dalam penelitian ini cukup banyak (810), jumlah subjek yang mengalami CPD hanya sedikit, yaitu 34 orang. Hal ini mungkin menyebabkan hasil studi bersifat underpowered.

Selain itu, hasil penelitian belum tentu dapat diaplikasikan di tempat lain karena ukuran antropometri wanita dengan ras berbeda dan hubungannya dengan CPD juga mungkin berbeda. Penelitian ini juga hanya menguji wanita pada usia gestasi ≥36 minggu. Studi yang menguji kamera 3D pada usia gestasi lebih awal masih diperlukan di masa depan, karena waktu deteksi CPD yang lebih awal dapat membantu dokter mempersiapkan rujukan dan rencana persalinan dengan lebih baik.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Hasil penelitian ini cukup menjanjikan untuk diterapkan di Indonesia karena kamera yang digunakan dengan laptop atau smartphone dapat menjadi opsi yang lebih mudah diakses dan lebih efektif dari segi biaya jika dibandingkan dengan pelvimetri radiologis yang membutuhkan MRI dan CT. Selain itu, kamera 3 dimensi juga tidak menghasilkan paparan radiasi yang berisiko bagi janin. Kemampuan prediksi kamera 3 dimensi juga dilaporkan lebih baik daripada antropometri konvensional.

Namun, sebelum dapat digunakan di Indonesia, algoritme kamera 3 dimensi yang turut memuat data antropometri wanita Indonesia masih perlu dikembangkan.

Selain itu, studi yang mengevaluasi akurasi kamera 3 dimensi untuk usia gestasi lebih awal masih diperlukan. Wanita Indonesia yang tinggal di daerah terpencil mungkin tidak dapat melakukan kunjungan antenatal sesuai jadwal. Kemampuan deteksi CPD di usia gestasi yang lebih awal akan meningkatkan jumlah wanita dari berbagai usia gestasi yang bisa menjalani pemeriksaan ini, sehingga mengurangi mortalitas ibu dan bayi.

Referensi