Nyeri sebagai Salah Satu Faktor Penyebab Agitasi Pasien Demensia

Oleh :
dr. Soeklola SpKJ MSi

Nyeri terjadi pada lebih dari 34–68% penderita demensia dan diperkirakan berhubungan erat dengan agitasi yang terjadi. Namun, kondisi ini dikatakan sering tidak terdeteksi sehingga pasien kurang mendapat terapi yang sesuai.[1-3]

Deteksi nyeri menjadi sulit dilakukan karena kemampuan verbalisasi dan memberikan respons yang sesuai menurun pada penderita demensia. Deteksi dan tatalaksana nyeri yang sesuai diharapkan akan menurunkan risiko gejala agitasi pada penderita demensia.[1,3,4,5]

agitasi, lansia, alomedika

Gejala agitasi terjadi hampir pada 13 - 71% kasus demensia. Agitasi yang terjadi dapat berupa aktivitas verbal, vokal, dan motorik yang tidak sesuai dengan norma, termasuk berteriak, memukul, dan berjalan mondar-mandir. Hal ini meningkatkan biaya perawatan dan beban bagi pelaku rawat, serta menurunkan kualitas hidup penderita demensia.[1-3]

Hubungan Nyeri dengan Agitasi pada Pasien Demensia

Nyeri pada pasien umumnya disebabkan oleh jatuh, fraktur, gangguan jantung, maupun infeksi. Infeksi jarang terpikirkan oleh praktisi sebagai penyebab nyeri, sehingga penanganan nyeri sering terlewat. Pengukuran derajat nyeri biasa dilakukan berdasarkan self-rating assessment maupun hasil observasi, namun belum ditemukan pengukuran standar yang mampu digunakan oleh penderita demensia.[1,5]

Hasil penelitian Malara et al. mengemukakan penggunaan self-rating assessment terhadap 233 pasien demensia dengan gangguan kognitif ringan maupun tanpa gangguan kognitif menggunakan Numeric Rating Scale (NRS) melaporkan hanya 42.5% pasien yang mampu menjawab dan 20.4% diantaranya tidak mengalami nyeri. Hasil ini berbeda dengan observasi menggunakan Cornell Scale for Depression in Dementia (PAINAD), dengan hasil sebesar 51.8%. Hal ini mengungkapkan bahwa self-rating assessment tidak dapat diadakan tanpa observasi.[5]

Pasien demensia dengan gejala kognitif yang lebih berat, memiliki kesulitan untuk melaporkan nyeri yang ia alami, sehingga akan mengalami kesulitan saat melakukan self-rating assessment. Penderita tersebut juga kesulitan untuk mengenali asal ataupun sumber nyeri berasal. Hal ini menyebabkan munculnya gejala lain yaitu agitasi sebagai bentuk untuk mengungkapkan nyeri yang ia rasakan.[1,3-6]

Penelitian Sampson et al. mengungkapkan bahwa penurunan mood juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator nyeri. Hasil penelitian tersebut menunjukkan tingkat keparahan keluhan nyeri berkaitan dengan meningkatnya frekuensi perilaku agresif. Perilaku agresif tersebut dapat berupa kemarahan verbal, ancaman fisik atau perilaku mengancam lainnya, termasuk mengutuk atau berkata-kata kasar.[1]

Hasil hubungan nyeri dengan agitasi dalam penelitian Sampson et al. dianggap berbeda dengan penelitian Hendriks et al. yang menyebutkan bahwa nyeri tidak berkaitan dengan agitasi. Kedua gejala tersebut sering ditemukan bersamaan pada pasien yang sama dan sering bersifat persisten. Sedangkan bentuk demensia yang lebih berat dikatakan erat berhubungan dengan meningkatnya gejala nyeri.[1,2]

Intervensi Terhadap Nyeri

Pengenalan dan penatalaksanaan optimal terhadap sumber nyeri merupakan pedoman tatalaksana yang paling tepat, namun seringkali sulit menentukan sumber dan deteksi nyeri sendiri. Salah satu indikator nyeri pada pasien demensia adalah gangguan mood.[1,5]

Antidepresi tidak efektif pada pasien demensia namun dapat memperbaiki gejala depresif dan dapat memperbaiki tatalaksana nyeri. Berbeda dengan penggunaan analgetik, terutama paracetamol, sebanyak 75% penderita mengalami nyeri yang persisten.[1]

Gejala nyeri pada penderita demensia merupakan salah satu yang sulit untuk ditatalaksana. Pemberian obat golongan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) dan opioid memiliki risiko efek samping yang tinggi, berupa risiko gangguan jantung, gastrointestinal dan renal pada penggunaan NSAID, dan delirium serta konstipasi pada penggunaan opioid.[1,3]

Penelitian Hendriks et al. menyebutkan walaupun gejala nyeri dan gejala agitasi sering ditemukan bersamaan pada pasien yang sama, keduanya dikatakan membutuhkan intervensi yang berbeda.

Menurut Hendriks et al., nyeri pada 34-52% kasus akan diterapi dengan paracetamol dan pada akhir masa kehidupannya, sekitar 44% kasus membutuhkan penanganan dengan opioid parenteral. Sementara itu, penanganan agitasi kebanyakan dilakukan melalui non farmakologi, yakni sekitar 78-92% kasus. Sekitar 62% kasus agitasi pada akhir masa kehidupannya lebih banyak diatasi dengan pemberian ansiolitik.[2]

Dampak Terapi Nyeri terhadap Gejala Agitasi

Terdapat penelitian lain oleh Husebo et al. yang mengungkapkan bahwa terapi nyeri dapat berdampak terhadap pengurangan gejala agitasi, terutama agitasi verbal. Penelitian tersebut belum mampu menjelaskan hubungan serta jenis agitasi yang berkaitan dengan obat analgesik.

Penelitian oleh Husebo et al. dilakukan di nursing home terhadap 352 pasien demensia sedang hingga berat yang terbagi menjadi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan terapi nyeri. Kelompok perlakuan mendapat terapi nyeri berupa paracetamol, morfin, buprenorfin, dan/atau pregabalin selama 8 minggu.[7]

Terdapat bukti lain yang mendukung hasil penelitian Husebo et al. bahwa terdapat kemungkinan undertreatment terhadap nyeri khususnya pada kasus demensia pada pelayanan paliatif. Hal ini salah satunya disebabkan adanya kekuatiran penggunaan opioid pada pasien lansia. Padahal, terdapat bukti yang menjelaskan penggunaan dosis rendah dan long-acting opioid pada pasien berusia diatas 85 tahun dengan demensia berat ternyata juga mampu mengurangi gejala agitasi.

Adapun agitasi menjadi salah satu indikator apakah nyeri telah tertangani dengan baik, selain pengawasan ketat terhadap titrasi dan efek samping yang mungkin timbul.[6]

Kesimpulan

Nyeri sering timbul bersamaan dengan agitasi pada penderita demensia. Beberapa penelitian bahkan mengemukakan bahwa nyeri merupakan salah satu faktor pencetus agitasi pada demensia. Pemikiran ini didasarkan karena kesulitan penderita demensia mengekspresikan nyeri yang dialami sehingga diekspresikan sebagai bentuk gejala agitasi.

Adapun deteksi dan tatalaksana nyeri menjadi tantangan tersendiri karena hingga saat ini belum ada standar penilaian maupun tatalaksana nyeri pada penderita demensia, namun terdapat indikator nyeri yang telah teruji berupa mood yang menurun. Adapun tatalaksana yang dianggap sesuai berupa mencari dan mengatasi penyebab nyeri jika memungkinkan dan pemberian terapi nyeri yang optimal.

 

 

Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri

Referensi