Pedoman Puasa Sebelum Operasi pada Anak

Oleh :
dr.Citra Amelinda, SpA., MKes., IBCLC

Pedoman puasa sebelum operasi pada anak-anak bertujuan untuk mengurangi risiko pneumonia aspirasi akibat regurgitasi isi lambung dan hilangnya refleks proteksi jalan napas karena obat anestesi. Sebelumnya, anak dipuasakan sejak malam sebelum hari operasi. Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa pneumonia aspirasi sebenarnya jarang terjadi pada anak, sehingga manfaat praktik ini kurang sebanding dengan risiko puasa terlalu lama.[1-4]

Saat ini, anjuran durasi puasa sebelum operasi pada anak menjadi lebih singkat. Anak masih boleh minum air putih hingga 1 jam sebelum operasi dan masih boleh minum ASI hingga 3 jam sebelum operasi.[5]

shutterstock_368931749-min

Mekanisme Terjadinya Pneumonia Aspirasi

Ada tiga mekanisme yang melindungi paru-paru terhadap aspirasi isi lambung, yaitu kontraksi sfingter esofagus bagian bawah, kontraksi sfingter esofagus bagian atas, serta refleks pelindung jalan napas seperti batuk dan spasme laring. Hal yang dapat meningkatkan risiko isi lambung masuk ke saluran napas adalah:

  • Regurgitasi meningkat karena refluks gastroesofageal, striktur, dan tonus sfingter esofagus bawah menurun
  • Refleks pelindung jalan napas hilang, misalnya karena gangguan neuromuskular atau pengaruh anestesi umum
  • Volume lambung meningkat karena puasa yang tidak adekuat atau pengosongan lambung yang terlambat[6]

Faktor yang dapat dimodifikasi untuk mengurangi risiko pneumonia aspirasi adalah pengosongan isi lambung sebelum operasi. Selain itu, pencernaan akan berbeda saat pasien berpuasa, di mana motilitas lambung lebih lambat dan sekresi saliva-gastrik lebih sedikit, sehingga dapat mengurangi risiko regurgitasi.[6]

Penelitian di Inggris pada tahun 2013 menyebutkan bahwa kejadian pneumonia aspirasi sebenarnya jarang dijumpai pada anak. Dalam waktu 1 tahun, hanya ada 24 kasus pneumonia aspirasi dari sekitar 120.000 tindakan bedah anak di 11 rumah sakit. Angka insiden adalah 2,0 per 10.000 pasien operasi elektif dan 2,2 per 10.000 pasien operasi darurat. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang perlu tidaknya puasa dengan durasi sangat lama sebelum operasi anak.[3]

Fisiologi Pengosongan Lambung

Kecepatan pengosongan lambung tergantung pada perbedaan tekanan dalam lambung (terutama kontraksi bagian antral) dengan tekanan duodenum atau resistensi bagian pilorus. Kontraksi antral dipengaruhi volume lambung, sekresi enzim pencernaan, dan komposisi chyme atau bubur hasil pencernaan yang masuk ke dalam duodenum.[6]

Kecepatan pengosongan isi lambung dipengaruhi oleh jenis makanan dan minuman. Minuman tanpa kalori seperti air putih meninggalkan lambung dengan cepat dalam waktu 30 menit. Minuman manis yang mengandung kalori dan osmolaritas lebih tinggi akan meninggalkan lambung lebih lama walaupun secara klinis perbedaannya dengan air putih tidak terlalu relevan.[6,7]

Pengosongan lambung setelah minum ASI lebih cepat daripada susu formula, tetapi lebih lambat daripada air putih. ASI dapat meninggalkan lambung setelah 4 jam karena memiliki rasio whey to casein yang tinggi.[6,7]

Susu formula akan lebih lama meninggalkan lambung karena acidity, osmolaritas, dan konsentrasi asam lemaknya lebih tinggi. Selain itu, susu formula memiliki komponen cair dan padat, sehingga mengalami pencernaan bifasik atau dua fase. Fase pertama adalah komponen cair dan partikel <2 mm yang dicerna dalam fundus hingga bisa meninggalkan lambung maksimal 30 menit. Kemudian, komponen padat membutuhkan waktu hingga 6 jam untuk meninggalkan lambung.[6-8]

Karena itu, susu formula diperkirakan memiliki kecepatan pengosongan lambung sama dengan makanan padat, yaitu 6 jam. Namun, makanan padat dengan kandungan lemak tinggi membutuhkan waktu lebih panjang, yaitu antara 8–9 jam. Makanan yang sulit dicerna seperti serat yang mengandung selulosa dikosongkan dengan mekanisme lain saat perut kosong.[6-8]

Faktor-faktor individual yang memengaruhi kecepatan pengosongan lambung adalah kelainan saluran pencernaan dan penggunaan opioid (methadone, codeine, morfin). Bayi (terutama bayi prematur) dilaporkan memiliki waktu pengosongan lambung yang lebih lambat karena neuromodulasi motilitas lambung masih imatur. Namun, menurut meta analisis pada 1.457 pasien, kecepatan pengosongan isi lambung tidak berbeda signifikan antara bayi prematur, neonatus, hingga anak besar.[1,6]

Dampak Puasa Berkepanjangan

Puasa berkepanjangan pada anak dapat menimbulkan beberapa dampak yang tidak diinginkan. Puasa akan menyebabkan metabolisme menjadi lambat dan menyebabkan glikogenolisis hepatik untuk memenuhi kebutuhan glukosa sebagai sumber energi. Hal ini menyebabkan ketoasidosis pada anak, terutama pada anak usia <3 tahun yang berpuasa >7 jam. Akibatnya, anak akan mengalami hipotensi saat induksi anestesi.[1,6]

Sebaliknya, stress yang dipicu oleh trauma operasi menyebabkan metabolisme tubuh meningkat, sehingga simpanan glikogen dalam hepar dan otot menurun, asam lemak bebas dan asam amino terlepas, dan terjadi resistensi insulin. Hal ini dapat dikaitkan dengan durasi perawatan setelah operasi yang memanjang.[1,6]

Selain itu, puasa berkepanjangan membuat anak merasa tidak nyaman, merasa mual bahkan muntah, mengalami dehidrasi, atau menjadi semakin rewel. Hal ini mungkin mengganggu stabilitas kardiovaskuler, sehingga anak butuh diberikan analgesik.[1,6]

Rekomendasi Puasa Sebelum Operasi pada Anak

Sejak tahun 1990-an, berbagai asosiasi anestesi dari beberapa negara menerapkan pedoman puasa sebelum operasi pada anak-anak yang lebih singkat untuk menggeser kebijakan puasa makanan dan minuman sejak tengah malam sebelum hari operasi. Pedoman puasa yang digunakan adalah interval 6-4-2, yaitu:

  • 6 jam puasa makanan padat, termasuk susu formula dan produk susu lainnya
  • 4 jam puasa ASI
  • 2 jam puasa air putih[10-12]

Namun, rekomendasi terbaru dari European Society of Anaesthesiology (2022) justru menyarankan durasi puasa air putih dan ASI yang lebih singkat lagi, yaitu:

  • 3 jam puasa ASI
  • 1 jam puasa air putih[5]

Meta analisis Cochrane telah mempelajari 23 uji klinis acak yang melibatkan 2.350 anak yang tidak memiliki kondisi berisiko regurgitasi. Hasil menyebutkan hanya ada satu kejadian aspirasi dan regurgitasi dari seluruh partisipan.[9]

Tidak ada bukti mendukung bahwa anak yang dipuasakan lebih lama memiliki manfaat volume dan pH lambung yang lebih baik daripada anak yang masih boleh minum air putih hingga 1–2 jam sebelum operasi. Anak-anak yang diizinkan minum air putih juga dinilai lebih nyaman dalam hal kehausan dan kelaparan.[5,9]

Penelitian di Inggris melaporkan bahwa dari 120.000 operasi elektif maupun operasi darurat pada pasien anak yang menjalani pedoman puasa dengan waktu lebih singkat, hanya ada 24 kasus pneumonia aspirasi. Anak yang mengalami aspirasi pun memang sudah tercatat memiliki faktor risiko aspirasi sejak awal, yaitu gangguan saluran napas, kelainan saluran cerna, obesitas, sepsis, gagal ginjal, dan pemberian opioid sebelum operasi.[3]

Kesimpulan

Pedoman puasa sebelum operasi pada anak dimaksudkan untuk mengurangi risiko pneumonia aspirasi serta memfasilitasi pelaksanaan anestesi yang aman dan efisien. Namun, studi terkini menunjukkan bahwa pneumonia aspirasi memang jarang terjadi pada anak, sehingga pelaksanaan puasa yang terlalu lama mungkin kurang bermanfaat dan justru menyebabkan ketidaknyamanan pada anak.

Pedoman puasa untuk anak saat ini lebih singkat, di mana anak masih diizinkan untuk makan makanan padat atau minum susu formula hingga 6 jam sebelum operasi, minum air putih hingga 1 jam sebelum operasi, atau minum ASI hingga 3 jam sebelum operasi.

Manfaat durasi puasa yang lebih singkat ini adalah kepuasan anak dan orang tua meningkat, pH lambung tidak terlalu asam, kalori dalam tubuh tidak defisit sehingga risiko hipoglikemia dan lipolisis menurun, serta homeostasis cairan tubuh terjamin.

Namun, dokter perlu memahami bahwa pedoman durasi puasa sebelum operasi harus disesuaikan dengan kondisi klinis masing-masing anak. Anak yang berisiko mengalami pengosongan lambung lambat disarankan untuk berpuasa sejak malam hari, misalnya anak dengan kelainan saluran napas, saluran cerna, gagal ginjal, dan pemberian opioid sebelum operasi.

 

 

Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur

Referensi