Pemahaman Terkini Patogenesis Dermatitis Atopik

Oleh :
dr. Margaretha Indah Maharani, Sp.KK, FINSDV.

Memahami lebih dalam mengenai patogenesis dermatitis atopik diperlukan sebagai dasar dikembangkannya strategi baru dan pendekatan terapi yang komprehensif. Dermatitis atopik merupakan kelainan inflamasi kulit yang sering dijumpai. Dermatitis atopik didiagnosis berdasarkan klinis. Kelainan kulit ini sering menjadi permasalahan karena sering kali terapi tidak memberikan hasil yang memuaskan dengan tingginya angka eksaserbasi dan kegagalan mempertahankan remisi. Untuk mencapai keberhasilan terapi, diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai patofisiologi dermatitis atopik sehingga dapat dikembangkan strategi baru dan pendekatan terapi yang komprehensif.

Manifestasi Klinis Dermatitis Atopik

Dermatitis atopik merupakan kelainan kulit inflamasi yang bersifat kompleks, kronik, dan berulang. Distribusi dan morfologi kulit sangat penting dalam menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Gambaran lesi kulit dermatitis atopik sangat bervariasi dan ketiga stadium dapat ditemukan bersamaan atau pada waktu berlainan.

  • Lesi akut ditandai eritema berbatas tidak tegas, papul, papulovesikel, erosi, dan eksudat
  • Lesi subakut berupa plak eritematosa, berskuama, ekskoriasi, dan papul
  • Lesi kronik berupa plak likenifikasi, kehitaman, dan papul fibrotik (prurigo)[1]

shutterstock_279539987-min

Menurut Hill dan Sulzberger, dermatitis atopik dibagi menjadi 3 fase.

  1. Fase infantil (0-2 tahun) berupa lesi akut yang biasanya dimulai dari pipi dan kulit kepala, kadang sampai badan. Seiring usia, lesi dapat mengenai ekstensor ekstremitas
  2. Fase anak (2 tahun-pubertas) berupa lesi yang lebih kronik dan lebih kering, berupa plak eritematosa, skuama, batas tidak tegas, dapat disertai eksudat, krusta, dan ekskoriasi. Distribusi lesi simetris di fleksural pergelangan tangan, antecubiti, poplitea, leher, dan intragluteal
  3. Fase dewasa (usia pubertas-dewasa) berupa lesi kering, papul, plak eritematosa, skuama, dan likenifikasi, biasanya pada lipatan fleksural, wajah, leher, lengan atas, punggung, serta dorsal tangan, kaki, jari tangan, dan jari kaki[1]

Patogenesis Dermatitis Atopik

Patofisiologi dermatitis atopik sangat kompleks dan multifaktorial. Paradigma sebelumnya menitikberatkan pada disfungsi respons imun yang dimediasi sel T helper tipe 2 (Th2) disertai respons Imunoglobulin E (IgE) yang berlebih terhadap alergen. Penelitian terkini membuktikan bahwa disfungsi sawar kulit merupakan prekursor dan faktor penting dalam patofisiologi dermatitis atopik.[2,3]

Terdapat tiga faktor kunci yang berperan dalam patogenesis dermatitis atopik, yaitu disfungsi sawar kulit, abnormalitas sistem imun, dan pruritus.[4,5] Namun selain itu, terdapat juga berbagai faktor lain yang berperan, meliputi faktor genetik, mikrobiom, dan lingkungan.[2]

Disfungsi Sawar Kulit

Disfungsi sawar kulit tidak hanya ditemukan pada lesi kulit, namun juga pada kulit non-lesi pasien dermatitis atopik. [4] Adanya disfungsi sawar kulit ini memfasilitasi pengenalan alergen, iritan, dan mikroba, serta inisiasi kaskade inflamasi. [2]Disfungsi sawar kulit disebabkan penurunan regulasi filaggrin, ceramides, cornified envelope precursors, dan claudin-1.[3-5]

Filaggrin

Filaggrin berperan dalam agregasi filamen keratin membentuk susunan keratinosit dan stratum korneum. Metabolit filaggrin seperti urocanic acid dan pyrrolidone carboxylic acid berperan dalam menjaga kelembaban dan mempertahankan keasaman pH stratum korneum. Hal ini sangat penting dalam menjaga homeostasis sawar epidermal melalui regulasi aktivitas berbagai enzim yang mengatur deskuamasi, sintesis lipid, dan inflamasi.[3-6]

Defisiensi filaggrin mengakibatkan gangguan pada diferensiasi keratinosit, keutuhan dan kohesi korneosit, serta formasi tight-junction.[2,3,5] Selain itu, defisiensi filaggrin menyebabkan penurunan retensi air, perubahan pembentukan lipid kulit, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, menurunkan kadar natural moisturizer factor, meningkatkan pH stratum korneum, menyebabkan degradasi prematur korneodesmosom, serta mengaktivasi IL-1β.[2,3,7]

Ceramides

Ceramides merupakan lipid stratum korneum utama yang berperan dalam pembentukan extracellular lamellar membrane bilayer, ikatan kovalen cross-linked insoluble proteins di sekeliling korneosit yang disebut cornified envelope. Cornified envelope membentuk lipid monolayer yang disebut cornified lipid envelope. Jenis ceramides yang paling penting dalam sawar stratum korneum adalah omega-O-acylCer (acylCer). Defisiensi acylCer berhubungan dengan abnormalitas sintesis dan metabolisme ceramides, serta defisiensi asam lemak esensial. Hal ini menyebabkan terganggunya fungsi barier epidermis kulit. Penurunan acylCer interselular ditemukan pada lesi kulit maupun non-lesi pasien dermatitis atopik.[3,4,7]

Cornified Envelope Precursors

Epidermal Differentiation Complex merupakan protein genes encoding yang terlibat dalam diferensiasi epidermal. Tiga kelompok gen pengkode tersebut, yaitu:

  • Cornified envelope precursors, contohnya yaitu loricrin, yang merupakan protein struktural yang berperan dalam sawar stratum korneum

  • S100 proteins, contohnya yaitu S100A8, berperan sebagai antimicrobial peptide atau chemoattractant yang menyertai diferensiasi abnormal epidermis dan kerusakan sawar

  • S100 fused type proteins, contohnya yaitu filaggrin

Pada kulit pasien dermatitis atopik, baik di lesi maupun non-lesi, terdapat peningkatan regulasi S100A8 dan S100A7, dan penurunan regulasi loricrin dan filaggrin.[4,5]

Claudin-1

Claudin-1 adalah protein tight junction yang diperlukan dalam integritas sawar epidermal. Pada pasien dermatitis atopik ditemukan penurunan mRNA dan ekspresi  protein claudin-1. Polimorfisme CLDN1 (pengkode claudin-1) berhubungan dengan kerentanan terhadap dermatitis atopik.[4]

Abnormalitas Sistem Imun

Salah satu sebab dari dermatitis atopik adalah abnormalitas sistem imun yang diperantarai oleh sel Th1 dan Th2, Th2/Th1 respons, dan hipersensitivitas IgE.[8] Abnormalitas sistem imun ini diakibatkan oleh adanya kelainan genetik pada pasien dermatitis atopik. Terutama pada gen sistem imun adaptif.[9]

Imun Respons Th2/Th1 (Sistem Adaptif)

Mekanisme awal inflamasi  kulit pada pasien dengan dermatitis atopik tidak diketahui, namun diduga disebabkan oleh neuropeptide-induced, irritation-induced, atau pruritus-induced scratching. Pada epidermis pasien dermatitis atopik terdapat peningkatan Langerhans cells dan inflammatory dendritic epidermal cells (IDECs), dimana keduanya menunjukkan afinitas yang tinggi terhadap reseptor IgE dan berperan dalam sensitisasi terhadap antigen protein.[10]

Antigen menyebabkan Langerhans cells yang diperantarai IgE menginduksi sel T naif yang kemudian berdiferensiasi menjadi sel Th2. Sel Th2 kemudian menghasilkan sitokin inflamasi (IL-4, IL-5, dan IL-13) yang menarik mediator inflamasi seperti eosinofil dan sel mast yang memperberat inflamasi.[2–5] Selain itu, IDECs akan menghasilkan IL-12 dan IL-18 yang menginduksi polarisasi Th1 dan memulai fase kronik dermatitis atopik.[4,5]

Reaksi silang terhadap autoantigen atau pajanan terus-menerus terhadap antigen yang sering dijumpai di epidermis (seperti tungau debu rumah dan Malassezia furfur) menyebabkan perjalanan penyakit menjadi kronik.[2] Hadirnya sel T memori di jaringan kulit, akan mempercepat respons inflamasi akibat pajanan ulang antigen.

Respons Sistem Imun Bawaan Keratinosit

Keratinosit menghasilkan berbagai kemokin dan sitokin alamiah seperti thymic stromal lymphopoietin (TSLP) dan IL-33. Pada pasien dermatitis atopik, TSLP diekspresikan secara berlebih yang mengakibatkan inisiasi dan eksaserbasi respons imun berlebih. Sel TSLP menginduksi ekspresi ligan OX40L di sel dendritik yang menyebabkan diferensiasi sel T  ke Th2 dan secara tidak langsung memodulasi basofil dan maturasi sel B.[8]

Antimicrobial peptides diekspresikan keratinosit membentuk sawar kimiawi alami saat infeksi, inflamasi, dan luka. Ekspresi Antimicrobial Peptides (AMP) regulasinya menurun akibat sitokin Th2.[4,7] Pada dermatitis atopik terdapat defisiensi AMPs yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan kecenderungan infeksi Staphylococcus aureus yang berkontribusi pada eksaserbasi dermatitis atopik.[4]

Pruritus

Sebagian besar pasien dermatitis atopik menunjukkan peningkatan sensitivitas rasa gatal terhadap stimulus minimal. Fenomena ini disebut alloknesis. Stres emosional dan konsumsi alkohol sering menjadi pemicu atau memperberat keluhan gatal. Pada pasien dermatitis atopik juga ditemukan fenomena unconscious nocturnal pruritus, yang merupakan refleks menggaruk saat tidur akibat sensasi gatal. Mekanisme patofisiologi gatal pada dermatitis atopik belum sepenuhnya dipahami. Pemberian antihistamin non-sedatif kurang efektif mengurangi keluhan gatal pada pasien dermatitis atopik, diduga adanya keterlibatan mekanisme non-histaminergik.[4]

Peningkatan Inervasi Epidermal

Alloknesis disebabkan peningkatan inervasi epidermal, penurunan ambang rasa gatal, atau keduanya. Pertumbuhan serabut saraf sampai ke epidermis ditemukan pada dermatitis atopik. Pertumbuhan ini diregulasi oleh keseimbangan antara faktor elongasi nervus (misalnya nerve growth factor (NGF), amphiregulin) dan faktor repulsion nervus (misalnya semaphorin 3A). Artemin dan IL-31 juga berkontribusi terhadap pertumbuhan saraf tersebut.[4,5] IL-4 dan IL-13 yang dihasilkan Th2, serta TSLP yang dihasilkan keratinosit, juga berperan sebagai pruritogen.[4,5]

Contagious Itch

Stimulus visual dan auditori diketahui menginduksi gatal dan refleks menggaruk (dikenal dengan istilah contagious itch). Contagious itch ditemukan sangat nyata pada pasien dermatitis atopik. Hal ini menunjukkan adanya aktivitas otak area sirkuit fronto-striatal yang berhubungan dengan keinginan menggaruk.[4]

Interaksi Antara Disfungsi Sawar Kulit, Abnormalitas Sistem Imun, dan Pruritus

Disfungsi sawar kulit, abnormalitas sistem imun, dan pruritus saling berinteraksi menghasilkan siklus umpan balik positif yang menginduksi dan mempertahankan kondisi dermatitis atopik.[4,5]

Disfungsi sawar kulit diakibatkan penurunan regulasi filaggrin, acylceramides, cornified envelope precursors, dan claudin-1. Hal ini menyebabkan penetrasi alergen sehingga mengaktivasi sistem imun yang dimediasi terutama Th2. Adanya sitokin yang dihasilkan dari sel Th2 seperti IL-4 dan IL-13, serta sitokin yang dihasilkan keratinosit seperti TSLP dan IL-33  berkontribusi terhadap inflamasi dermatitis atopik. IL-4, IL-13, dan IL-33 juga menyebabkan penurunan regulasi ekspresi komponen sawar epidermal seperti filaggrin, cornified envelope, ceramides, dan tight-junction. Hal ini menjelaskan mengapa ekspresi filaggrin menurun pada pasien dermatitis atopik yang tanpa disertai mutasi filaggrin.[4]

Disfungsi sawar kulit menyebabkan masuknya pruritogen, sehingga menginduksi rasa gatal. Gangguan sawar kulit juga menyebabkan peningkatan inervasi epidermal disertai peningkatan kadar nerve growth factor dan amfiregulin, dan meningkatkan ekspresi terhadap TSLP yang menginduksi rasa gatal. Sebaliknya, menggaruk menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada sawar kulit.[4]

Aktivasi sel Th2 menghasilkan sitokin pruritogenik seperti IL-4, IL-13, dan IL-31. Pada dermatitis atopik kronis, apoptosis keratinosit yang diinduksi IFN- γ dapat menyebabkan pelepasan pruritogen TSLP. Sebaliknya, garukan menyebabkan eksaserbasi inflamasi. Kerusakan mekanik terhadap keratinosit memicu kaskade pro-inflamasi yang berkontribusi terhadap infiltrasi sel imun ke kulit.[4,5] Gambaran “butterfly sign” pada punggung penderita dermatitis atopik dimana terdapat area bebas lesi di daerah yang tidak terjangkau menunjukkan pengaruh garukan terhadap inflamasi kulit.[4]

Faktor Genetik

Palmer et al. melaporkan pertama kali adanya mutasi genetik encoding filaggrin yang berhubungan dengan dermatitis atopik. [6] Mutasi gen filaggrin diketahui sebagai faktor risiko genetik terbesar, namun terdapat berbagai faktor lain seperti lingkungan dan imunologi yang mempengaruhi manifestasi dan perjalanan penyakit dermatitis atopik.[2]

Mikrobiom

Pada pasien dermatitis atopik, terdapat perubahan komposisi mikrobiom bakterial kulit yang berpengaruh pada fungsi sawar kulit. Perubahan komposisi mikrobiom ini dikenal dengan istilah disbiosis kulit. [2,8] Pada pasien dermatitis atopik ditemukan penurunan jenis varian mikrobiom kulit dan peningkatan kolonisasi Staphylococcus aureus dan S. epidermidis yang ikut berperan dalam eksaserbasi penyakit.[2]

Kolonisasi S. aureus berhubungan dengan kerusakan sawar kulit yang ditandai dengan peningkatan transepidermal water loss. Superantigen dan peptida Staphylococcus memicu inflamasi dermatitis atopik, toksin delta Staphylococcus menyebabkan degranulasi sel mast, toksin alfa menyebabkan apoptosis keratinosit, enterotoksin menstimulasi sel T, dan protein permukaan Staphylococcus memodulasi inflamasi.[11]

Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang paling berperan adalah kerusakan mekanik, termasuk akibat garukan, penggunaan detergen, dan protease eksogen yang sering kali berasal dari tungau debu rumah. Mandi juga dapat menjadi penyebab kerusakan mekanik. Mandi menggunakan air sadah (air dengan kandungan mineral tinggi) dan frekuensi mandi tinggi meningkatkan risiko dermatitis atopik.[2,12]

Iklim juga memberikan pengaruh terhadap sawar kulit. Kelembaban lingkungan yang rendah, suhu rendah, dan indeks ultraviolet yang rendah berhubungan dengan peningkatan angka prevalensi dermatitis atopik.[2,13,14]

Kesimpulan

Patogenesis dermatitis atopik melibatkan berbagai macam faktor seperti disfungsi sawar kulit, abnormalitas sistem imun,dan pruritus yang saling terkait. Disfungsi sawar kulit disebabkan oleh penurunan regulasi filaggrin, ceramides, cornified envelope precursors, dan claudin-1. Penurunan regulasi tersebut menyebabkan gangguan pada sawar kulit yang menyebabkan mudahnya alergen untuk masuk ke dalam kulit.

Disfungsi sawar kulit menyebabkan masuknya pruritogen, sehingga menginduksi rasa gatal. Gangguan sawar kulit juga menyebabkan peningkatan inervasi epidermal disertai peningkatan kadar nerve growth factor dan amfiregulin, dan menginduksi rasa gatal. Sebaliknya, menggaruk menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada sawar kulit.

Abnormalitas sel Th2 menghasilkan sitokin pruritogenik seperti IL-4, IL-13, dan IL-31. Pada dermatitis atopik kronis, apoptosis keratinosit yang diinduksi IFN- γ dapat menyebabkan pelepasan pruritogen TSLP. Sebaliknya, garukan menyebabkan eksaserbasi inflamasi. Kerusakan mekanik terhadap keratinosit memicu kaskade pro-inflamasi yang berkontribusi terhadap infiltrasi sel imun kekulit.

Akibat dari berbagai macam faktor eksogen dan endogen tersebut dari dermatitis atopik maka untuk mencapai keberhasilan terapi, perlu dilakukan penanganan terhadap berbagai faktor patogen tersebut. Oleh sebab itu, pendekatan terapi harus dilakukan secara komprehensif melibatkan berbagai faktor tersebut.

Referensi