Pemeriksaan Fecal Calprotectin untuk Membedakan Inflammatory Bowel Disease dan Irritable Bowel Syndrome

Oleh :
dr.Petty Atmadja, Sp.PK

Dokter sering mengalami kesulitan dalam membedakan irritable bowel syndrome (IBS) dengan inflammatory bowel disease (IBD). Pemeriksaan fecal calprotectin merupakan pemeriksaan laboratorium sederhana yang dapat membantu dokter dalam membedakan keduanya.

Keluhan gastrointestinal menjadi 5-10% alasan konsultasi pasien ke layanan kesehatan primer. Namun, tidak semua keluhan gastrointestinal membutuhkan konsultasi dokter spesialis ataupun intervensi lebih lanjut. Diperkirakan hanya 25% pasien rujukan dengan keluhan gastrointestinal yang kemudian terdiagnosis memiliki kelainan organik dan membutuhkan penanganan lebih intensif.

Pemeriksaan Fecal Calprotectin untuk Membedakan Inflammatory Bowel Disease dan Irritable Bowel Syndrome-min

Kelainan gastrointestinal fungsional lebih sering terjadi di populasi umum dibandingkan kelainan gastrointestinal organik. Apabila diagnosis kelainan gastrointestinal fungsional telah ditegakkan, maka pasien tidak perlu menjalani evaluasi ataupun pemeriksaan lebih lanjut dan cukup ditangani di fasilitas layanan kesehatan primer. Salah satu kelainan gastrointestinal fungsional yang sering ditemukan adalah irritable bowel syndrome (IBS) dengan insidensi 10-20% pada populasi umum dan awitan usia 20-40 tahun. Sementara itu, inflammatory bowel disease (IBD) adalah kelainan gastrointestinal organik yang meliputi kolitis ulseratif dan Crohn’s disease (CD) dengan insidensi 0,4% pada populasi umum dengan awitan usia 20-40 tahun.[1-4]

Perbedaan Inflammatory Bowel Disease dan Irritable Bowel Syndrome

Irritable bowel syndrome (IBS) memiliki perjalanan penyakit yang jinak, namun menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien dan beban biaya sosioekonomi yang tinggi. Gejala yang paling sering terjadi pada pasien IBS adalah nyeri abdominal, kembung, dan gangguan pola defekasi.

Patofisiologi IBS masih belum diketahui secara pasti, namun beberapa faktor dicurigai berperan, mencakup perubahan motilitas intestinal, hipersensitivitas viseral, gangguan motorik, disfungsi aksis otak-usus (brain-gut axis dysfunction), permeabilitas intestinal yang berlebih, disbiosis usus, stres, gangguan psikologis, dan mekanisme inflamasi pascainfeksi. Sekitar 3% dari total 16-25% kedatangan pasien untuk konsultasi gastroenterologi adalah karena IBS.

Sementara itu, inflammatory bowel disease (IBD) merupakan gangguan gastrointestinal akibat inflamasi kronik dengan progresivitas yang fluktuatif tergantung pada aktivitas inflamasi yang terjadi. IBD meliputi dua jenis kelainan, yaitu kolitis ulseratif dan Crohn’s disease. Perjalanan penyakit IBD diselingi oleh periode relaps dan komplikasi yang membutuhkan perawatan intensif. Kolitis ulseratif ditandai dengan terjadinya inflamasi kontinyu pada mukosa kolon, sedangkan Crohn’s disease ditandai dengan keterlibatan transmural diskontinu yang dapat mengenai semua bagian traktus digestif, terutama ileum terminal dan kolon.[3,4]

Pendekatan Diagnostik Inflammatory Bowel Disease dan Irritable Bowel Syndrome

Hingga kini, belum ada pemeriksaan definitif spesifik yang dapat menegakkan diagnosis irritable bowel syndrome (IBS). Secara umum, IBS dapat ditegakkan setelah dokter menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding organik, seperti penyakit Celiac.

Sementara itu, kecurigaan klinis terhadap inflammatory bowel disease (IBD)  umumnya dievaluasi berdasarkan pemeriksaan darah, analisis feses, endoskopi, biopsi, dan pemeriksaan radiologi.[1,3,5]

Perlunya Pendekatan Noninvasif dalam Diagnosis Inflammatory Bowel Disease dan Irritable Bowel Syndrome

Endoskopi sering menjadi pemeriksaan pilihan dalam menegakkan diagnosis inflammatory bowel disease (IBD) karena dapat mengevaluasi dan mengambil sampel biopsi mukosa intestinal secara langsung. Namun, pemeriksaan ini memiliki berbagai risiko dan keterbatasan karena bersifat invasif dan bergantung pada keahlian operator. Pasien membutuhkan berbagai persiapan dan prosedur anestesi yang bersifat tidak nyaman dan juga mahal. Selain itu, diperkirakan 60% kolonoskopi yang dilakukan pada pasien dewasa tidak menunjukkan abnormalitas bermakna, sehingga pemeriksaan ini sebisa mungkin dihindari.[1,3,5]

Dengan banyaknya konsultasi gastroenterologi dan permintaan endoskopi, dibutuhkan pemeriksaan noninvasif yang mampu mendiagnosis IBD secara efisien dan spesifik. Beberapa penanda biokimia untuk menilai inflamasi gastrointestinal telah dianjurkan, antara lain laju endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP), namun pemeriksaan ini tidak cukup sensitif maupun spesifik pada kasus IBD.

Pemeriksaan fecal calprotectin  telah banyak diteliti sebagai penanda diagnosis IBD. Pemeriksaan fecal calprotectin juga telah disetujui oleh FDA dan direkomendasikan oleh organisasi gastroenterologi global sebagai pemeriksaan yang bermanfaat dalam diagnosis IBD. Pemeriksaan fecal calprotectin dapat digunakan di layanan kesehatan primer sebagai pemeriksaan skrining kelainan gastrointestinal organik. Keterbatasan fecal calprotectin antara lain memiliki nilai positive predictive value yang rendah, sehingga pemeriksaan lanjutan masih harus dilakukan pada pasien dengan kadar fecal calprotectin yang tinggi.[1-3,5]

Sekilas Tentang Pemeriksaan Fecal Calprotectin

Kalprotektin merupakan protein pengikat kalsium dan zinc dengan berat molekul 36 kDa yang meliputi 60% protein terlarut dalam sitoplasma sel granulosit. Sebagian besar kalprotektin berasal dari sel neutrofil dan monosit. Kalprotektin bersifat resisten terhadap panas maupun proteolisis, dan berperan dalam inhibisi kompetitif enzim dependen zinc, aktivitas biostatik terhadap mikroba melalui kelasi ion zinc, induksi apoptosis pada sel ganas, dan regulasi proses inflamasi. Pada saat terjadi inflamasi, konsentrasi kalprotektin dapat meningkat hingga 4-6 kali lipat di plasma dan akan tinggi secara signifikan pada pasien inflammatory bowel disease (IBD). [6-8]

Fecal calprotectin telah menjadi salah satu penanda noninvasif pilihan dalam membedakan IBD dari kelainan gastrointestinal fungsional. Namun terdapat beberapa faktor yang dapat mengganggu kadar fecal calprotectin dalam keperluan diagnostik, yaitu intervensi pembersihan kolon, usia, dan kadar mukus atau darah di feses. Keterbatasan lainnya yaitu spesifisitas yang rendah dalam membedakan kolitis ulseratif dari Crohn’s disease, serta membedakan IBD aktif dari inflamasi intestinal non-IBD seperti infeksi, kerusakan akibat obat antiinflamasi nonsteroid, kanker, dan divertikulitis.[6]

Dalam kasus IBD, studi telah menunjukkan adanya kadar fecal calprotectin yang lebih tinggi pada IBD meskipun dalam fase remisi. Sebaliknya, kadar fecal calprotectin akan normal atau rendah pada irritable bowel syndrome (IBS).[9]

Peran Fecal Calprotectin dalam Membedakan Inflammatory Bowel Disease dan Irritable Bowel Syndrome

Masing-masing penelitian telah merekomendasikan nilai ambang (cut-off) yang berbeda-beda sesuai dengan jenis alat dan populasi pasien yang diteliti. Namun, nilai cut-off 50 µg/g telah menjadi batas fecal calprotectin yang paling sering digunakan untuk pasien dewasa ataupun anak-anak di atas 4 tahun untuk membedakan inflammatory bowel disease (IBD) dari inflamasi gastrointestinal lainnya. sebuah studi menunjukkan bahwa nilai cut-off 50 µg/g sebagai batas skrining untuk pemeriksaan endoskopi memiliki spesifisitas 60% dan sensitivitas 92%.

Pasien simptomatik dengan kadar fecal calprotectin <50 µg/g  dapat didiagnosis menderita kelainan gastrointestinal fungsional dan tidak membutuhkan pemeriksaan lanjutan dengan nilai negatif palsu yang rendah (6-8%). Sedangkan, hasil positif pada batas cut-off tinggi (100 µg/g) dapat menunjukkan kemungkinan diagnosis IBD yang perlu dikonfirmasi dengan pengulangan tes 6 bulan kemudian. [5,6,10]

Fecal calprotectin telah dinyatakan sebagai pemeriksaan yang sangat bermanfaat dalam mendiagnosis IBD, terutama untuk penapisan pasien dengan keluhan abdominal yang membutuhkan prosedur endoskopi. Meski demikian, pemeriksaan fecal calprotectin tidak dapat membedakan antara kolitis ulseratif dengan Crohn’s disease. Peningkatan kadar fecal calprotectin juga dapat ditemukan pada berbagai kondisi lain, seperti infeksi, kanker lambung, kanker kolorektal, limfoma intestinal, kolitis eosinofilik, atau enteropati autoimun.[5,10]

Pengaruh Usia Terhadap Nilai Cut Off Fecal Calprotectin

Kadar fecal calprotectin memiliki korelasi yang berbanding terbalik dengan usia. Pada beberapa bulan pertama setelah kelahiran, bayi memiliki kadar fecal calprotectin yang tinggi akibat migrasi granulosit dan makrofag transepitelial, serta ketidakmampuan sistem pencernaan bayi dalam meregulasi flora mikrobial usus. Hal ini kemudian menyebabkan perlunya nilai cut-off yang berbeda-beda untuk anak berusia kurang dari 4 tahun. Nilai cut-off kadar fecal calprotectin yang disarankan pada populasi pediatrik adalah:

  • Usia 1-6 bulan: 538 µg/g
  • Usia 6 bulan hingga 3 tahun: 214 µg/g
  • Usia 3-4 tahun: 75 µg/g [6]

Pengaruh Aktivitas Penyakit Terhadap Kadar Fecal Calprotectin

Pemeriksaan fecal calprotectin juga terbukti bermanfaat dalam membedakan pasien inflammatory bowel disease (IBD) yang aktif dan nonaktif. Sebuah studi melaporkan kadar fecal calprotectin yang lebih rendah secara signifikan pada pasien dengan Crohn’s disease inaktif dibandingkan aktif. Kadar fecal calprotectin juga dilaporkan lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan kolitis ulseratif aktif dibandingkan inaktif. Selain itu, kadar fecal calprotectin juga ditemukan lebih tinggi pada pasien IBD inaktif dibandingkan dengan pasien irritable bowel syndrome (IBS).[1,5,7]

IBD merupakan penyakit kronik dengan episode remisi dan relaps yang membutuhkan pemantauan reguler dalam perjalanan penyakitnya. Pemeriksaan fecal calprotectin bermanfaat dalam memprediksi episode relaps pada pasien IBD. Kadar fecal calprotectin yang tinggi telah dihubungkan dengan peningkatan risiko relaps sebesar 2 kali lipat pada pasien dengan Crohn’s disease dan 14 kali lipat pada pasien kolitis ulseratif.[5,6]

Kesimpulan

Pemeriksaan fecal calprotectin efektif dalam membedakan inflammatory bowel disease (IBD) dan irritable bowel syndrome (IBS), sehingga pemeriksaan ini dapat dimanfaatkan dalam penapisan di layanan kesehatan primer. Kadar  fecal calprotectin yang rendah dapat menyingkirkan kemungkinan IBD, sementara kadar yang tinggi akan membutuhkan pemeriksaan lanjutan untuk mengonfirmasi diagnosis. Selain itu, kadar fecal calprotectin juga dapat dimanfaatkan untuk memprediksi kemungkinan relaps pada pasien IBS.

Keterbatasan fecal calprotectin adalah tidak dapat membedakan antara IBD aktif dengan proses inflamasi gastrointestinal non-IBD lainnya (misalnya akibat kanker atau infeksi). Pemeriksaan ini juga tidak dapat membedakan antara kolitis ulseratif dengan Crohn’s disease. Meskipun begitu, dengan menggunakan pemeriksaan fecal calprotectin, dokter bisa menentukan mana pasien yang membutuhkan pemeriksaan invasif, seperti endoskopi, dengan yang tidak.  

Perlu dicatat bahwa studi terkait fecal calprotectin mayoritas dilakukan di negara dengan angka infeksi gastrointestinal, seperti demam tifoid dan kecacingan, yang rendah. Oleh karenanya, studi lebih lanjut pada populasi ini diperlukan untuk memastikan angka cut off dan manfaatnya.

Referensi