Penanganan Kegawatdaruratan pada Acute Radiation Syndrome

Oleh :
dr.Eva Naomi Oretla

Acute radiation syndrome (ARS) atau sindrom radiasi akut dapat menyebabkan manifestasi klinis, seperti luka bakar dan neutropenia, sebagai akibat gangguan pada sistem hematopoietik, kutaneus, gastrointestinal, dan neurovaskular. Acute radiation syndrome merupakan kombinasi dari manifestasi cedera akut yang terjadi setelah sebagian besar tubuh terpapar radiasi pengion dosis tinggi oleh photon atau campuran radiasi photon dan neutron dengan dosis iradiasi lebih dari 1 Gy.[1-3]

Acute radiation syndrome dapat berasal dari penyebab aksidental seperti kecelakaan industri (kecelakaan nuklir Chernobyl dan Fukushima), kecelakaan radioterapi, kesalahan penanganan bahan radioaktif. Penyebab yang disengaja termasuk bom nuklir, seperti Hiroshima dan Nagasaki, ataupun keracunan dengan polonium dan plutonium.

Radiation,Sign,On,The,Doors,In,The,Hospital.,High,Radiation

Terdapat korelasi antara persentase tubuh yang mengalami iradiasi, homogenitas dosis pengion, dan intrinsik radiosensitivitas dari individu yang terpapar dengan tingkat keparahan manifestasi klinis dari acute radiation syndrome. Kondisi ini memerlukan penanganan awal yang tepat dan cepat untuk mencegah morbiditas dan mortalitas yang tinggi.[2-4]

Manifestasi Klinis Acute Radiation Syndrome (ARS)

Dosis radiasi kurang dari 0,5 Gy diharapkan tidak menyebabkan gejala akut, sedangkan dosis radiasi 4,5 Gy dapat menyebabkan mortalitas hampir 50% pada orang yang terpapar radiasi. Acute radiation syndrome memiliki 3 fase progresivitas yaitu fase prodromal yang terjadi 0–2 hari setelah paparan; fase laten yang terjadi 2–20 hari setelah paparan; serta manifestasi penyakit yang terjadi pada 21-60 hari setelah paparan.[1-3]

Onset, durasi, dan manifestasi klinis yang dominan dari acute radiation syndrome bergantung pada banyaknya dosis radiasi yang diterima. Perubahan pada sistem organ dan fungsional tubuh akan terlihat dalam 2 bulan pertama setelah pajanan. Perubahan tersebut meliputi kerusakan kulit, abnormalitas pada sistem saraf pusat, abnormalitas pada sistem respirasi dan gastrointestinal, serta jaringan hematopoietik.[3,5]

Fase Prodromal

Pada fase prodromal, terdapat beberapa gejala awal yang timbul akibat paparan total radiasi pada tubuh. Gejala awal ini meliputi tingkat kesadaran yang apatis, mual, muntah diare, demam, takikardia dan sakit kepala, bergantung pada besarnya dosis radiasi dan adanya cedera tambahan. Gejala prodromal terjadi dalam waktu 48 jam setelah pajanan.[2,3]

Tabel 1. Gejala Acute Radiation Syndrome pada Fase Prodromal

Gejala

Ringan

(1-2 Gy)

Sedang

(2-4 Gy)

Berat

(4-6 Gy)

Sangat Parah

(6-8 Gy)

Mematikan

(>Gy)

Muntah 2 jam atau beberapa jam kemudian setelah paparan. 1-2 jam setelah paparan Dalam 1 jam setelah paparan. Dalam 30 menit setelah paparan. Dalam 10 menit setelah paparan.
Diare Tidak Tidak Sedang Berat Berat
Sakit kepala Sangat ringan Ringan Sedang Berat Berat
Kesadaran Tidak terpengaruh (unaffected) Tidak terpengaruh (unaffected) Tidak terpengaruh (unaffected) Terpengaruh (affected) Penurunan kesadaran
Temperatur tubuh Normal Demam ringan Demam Demam tinggi Demam tinggi

Sumber: dr. Eva Naomi, Alomedika, 2023.[1-3]

Pada umumnya sindrom prodromal memiliki tingkat morbiditas yang ringan atau bahkan tidak menimbulkan gejala pada tubuh apabila dosis paparan radiasi < 1 Gy. Gejala prodromal yang timbul dalam 2 jam pertama biasanya menunjukkan pajanan yang signifikan dan berpotensi mematikan apabila dosis paparan radiasi ≥ 2 Gy. Pada paparan radiasi dosis tinggi (10 hingga >20 Gy) gejala prodromal akan terjadi pada hampir semua pasien dalam beberapa menit setelah paparan.[1-4]

Sindrom Serebrovaskular

Secara umum, gejala pada sistem serebrovaskular (neovaskular) hanya terjadi pada pajanan radiasi ke seluruh tubuh dengan dosis > 10 Gy dan menyebabkan perubahan pada sistem saraf pusat. Kerusakan neovaskular akibat pajanan radiasi meliputi gangguan sirkulasi kapiler dengan kerusakan sawar darah-otak, edema interstisial, inflamasi akut, perdarahan, inflamasi meninges, dan hipertrofi astrosit perivaskular.[1-3,7]

Pajanan radiasi dengan dosis 10-20 Gy, akan menyebabkan individu mengalami mual dan muntah yang berat dan persisten, sakit kepala dengan derajat berat, dan defisit neurologis. Selain itu, dapat juga ditemukan disorientasi, kehilangan keseimbangan, dan kejang. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya papilledema, ataksia, serta penurunan refleks tendon dalam dan refleks kornea.[2,3,7]

Sindrom Gastrointestinal

Pada pajanan radiasi dengan dosis < 1,5 Gy, sindrom gastrointestinal yang timbul berupa mual dan muntah. Gejala yang lebih parah pada gastrointestinal dapat terjadi pada pajanan radiasi dengan dosis 5-12 Gy, akibat hilangnya sel kripta usus dan kerusakan barier mukosa. Perubahan tersebut akan mengakibatkan nyeri perut dan kram pada otot perut, diare, perdarahan gastrointestinal, dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.[1,6,7]

Fase awal prodromal pada sindrom gastrointestinal dalam kasus acute radiation syndrome sering diikuti oleh fase laten yang berlangsung selama 5-7 hari, di mana gejala mulai mereda. Efek sistemik dari sindrom gastrointestinal yang dapat terjadi adalah kondisi malnutrisi dari malabsorpsi.[2,6,7]

Sepsis dapat terjadi akibat kerusakan barier mukosa sistem gastrointestinal yang menyebabkan sebagian bakteri melakukan infiltrasi dari dinding usus. Komplikasi berat lainnya termasuk ulserasi dan nekrosis dinding usus yang dapat menyebabkan stenosis, paralisis, dan perforasi pada usus.[6,7]

Sindrom Hematopoietik

Sindrom hematopoietik dapat terjadi pada pajanan radiasi ke seluruh tubuh dengan dosis ≥2 -3 Gy, di mana akan terjadi induksi apoptosis pada sel darah dan mengubah sifat resirkulasi sel terutama limfosit. Limfopenia sering terjadi sebelum depresi elemen seluler lain, dapat berkembang dalam 6-24 jam pertama setelah paparan dosis sedang hingga tinggi.[1-3,7,9]

Penurunan jumlah limfosit absolut sebesar 50% dalam 24 jam pertama setelah paparan, diikuti penurunan lebih lanjut yang lebih berat dalam 48 jam, mencirikan paparan yang berpotensi fatal dalam kisaran dosis radiasi 5-10 Gy. Jumlah limfosit absolut yang tetap dalam 50% dari normal selama minggu pertama setelah paparan menunjukkan paparan <1 Gy dan kemungkinan bertahan hidup > 90%.

Meski demikian, limfopenia juga dapat disebabkan oleh stres patologis, luka bakar, dan trauma yang menyertai pajanan radiasi, sehingga penting melakukan pemeriksaan lebih dari satu elemen biodosimetri.

Neutropenia dan trombositopenia yang mencapai titik nadir akan terjadi pada 2-4 minggu setelah pajanan dan menjadi persisten dalam durasi bulan hingga tahun. Anemia juga pasti terjadi, karena efek akumulasi dari perdarahan pada gastrointestinal, perdarahan organ internal, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang belakang.[7,9]

Sindrom Kutaneus

Sindrom kutaneus dapat terjadi 1-2 hari setelah pajanan dan bertahan selama beberapa tahun. Lesi awal yang dapat ditemukan adalah eritema, ekskoriasi yang kering, dan edema. Beberapa variasi abnormalitas akibat paparan radiasi yang tidak seragam juga akan menyebabkan epilasi dan radionekrosis pada lapisan kulit.[2,7]

Lesi kulit lainnya yang dapat ditemukan dalam derajat yang berat adalah bula, deskuamasi kulit pada seluruh permukaan tubuh, dan onikolisis. Ulserasi pada kulit juga dapat terjadi pada lapisan epidermis atau mungkin melibatkan struktur yang lebih dalam, seperti dermis, jaringan subkutan, dan bahkan otot dan atau tulang.[1,2,7]

Penanganan Prehospital

Penanganan sebelum tiba di rumah sakit (prehospital care) merupakan tindakan pertolongan pertama, berupa bantuan hidup dasar (basic life support) yang dilakukan secepat mungkin di lokasi kejadian, sesaat setelah terjadi trauma. Meski begitu, pada kondisi acute radiation syndrome di mana terdapat paparan radiasi, sebaiknya penanganan harus tetap mempertimbangkan keselamatan individu lain.[1,3]

Langkah 1

Aktivasi sistem emergency medical service (EMS) dan personel layanan darurat yang sedang bertugas harus memulai struktur komando, untuk mengamankan tempat kejadian, memastikan perlindungan diri, dan berusaha menyelamatkan korban yang terluka dengan meminimalisir paparan radiasi ke semua individu termasuk penolong. [1,2,7]

Langkah 2

Penolong wajib untuk menggunakan alat pelindung diri yang sesuai khusus untuk penanganan radiasi sebelum tiba di tempat kejadian dan wajib mengikuti petunjuk dari petugas keselamatan radiasi. Instrumen pemantauan radiasi wajib digunakan untuk semua personel layanan darurat termasuk petugas medis untuk mendeteksi keberadaan medan radiasi yang tinggi atau melebihi batas normal.[1,2,7]

Langkah 3

Setelah tempat kejadian dinilai aman, petugas medis harus segera menilai dan merawat cedera yang mengancam jiwa. Perawatan medis standar untuk pertolongan pertama harus segera dimulai dan tidak dapat ditunda untuk menilai status kontaminasi. Lakukan resusitasi jantung paru (RJP) segera jika pasien mengalami henti jantung.

Kontrol kontaminasi dapat dilakukan dengan melepas semua pakaian korban dan membungkusnya dalam kain bersih yang telah ditentukan oleh petugas keselamatan radiasi. Perlu diingat proses kontrol kontaminasi tidak boleh menunda perawatan medis definitif dan resusitasi.[1,2,7]

Penanganan Awal di Instalasi Gawat Darurat

Penanganan awal di instalasi gawat darurat terdiri atas primary survey dan secondary survey. Primary survey adalah resusitasi fungsi vital yang dilakukan secara simultan, cepat, dan efisien. Sementara itu, secondary survey dilakukan secara rinci namun berfokus pada tinjauan sistemik yang paling sering mengalami abnormalitas akibat paparan radiasi. Secondary survey dapat dilakukan pada saat primary survey selesai dilakukan, saat RJP sedang berjalan, atau saat fungsi vital pasien menunjukkan perbaikan.[1-3,7]

Primary Survey Acute Radiation Syndrome

Dalam menangani korban acute radiation syndrome, dilakukan primary survey yang meliputi penatalaksanaan ABCDE yaitu airway, breathing and ventilation, circulation, disability (evaluasi neurologis), serta exposure and environmental.[2,7]

Airway:

Penilaian cepat pada airway (jalan napas) meliputi tanda-tanda dari obstruksi jalan napas, menilai apakah ada trauma pada wajah yang dapat menyebabkan obstruksi airway. Tindakan membebaskan airway harus didukung dengan proteksi terhadap c-spine, karena pasien yang terpapar radiasi dapat mengalami trauma jatuh akibat mekanisme ledakan (seperti ledakan nuklir) sehingga pasien memiliki potensi tinggi untuk mengalami cedera servikal.

Bila pasien dapat berbicara dengan jelas, maka airway dinyatakan paten, namun bila pasien mengalami gurgling segera lakukan suction naso dan orofaring. Pasien dengan Glasgow Coma Scale (GCS) ≤8 membutuhkan definitive airway seperti intubasi endotrakeal karena ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan jalan napas. Teknik jaw-thrust merupakan intervensi awal untuk membuka airway pasien. Bila pasien tidak sadar dan tidak memiliki refleks muntah, dapat dilakukan pemasangan oropharyngeal airway untuk sementara.[2,7]

Breathing and Ventilation:

Pasien acute radiation syndrome yang tidak terintubasi harus diberikan suplementasi oksigen melalui sungkup muka non-rebreathing dengan kecepatan aliran oksigen sebesar 9-15 liter/menit yang dapat memberikan konsentrasi oksigen sebesar 90-100%. Pada pasien yang membutuhkan definitive airway, tetap pertahankan pemberian oksigenasi dan ventilasi sebelum, saat, dan segera setelah melakukan intubasi.

Wanita hamil yang mengalami acute radiation syndrome dengan penurunan kesadaran harus segera diintubasi dan pertimbangkan untuk mempertahankan PCO2 yang sesuai dengan trimester kehamilannya.[1,7]

Circulation:

Luka bakar dapat terjadi pada acute radiation syndrome akibat pajanan radiasi dan dapat menyebabkan hipotensi. Inisiasi resusitasi cairan sebaiknya dilakukan segera dengan pemberian Ringer laktat 4 ml x berat badan x % TBSA (total body surface area) sampai tidak ditemukan pigmentasi pada urin. Diperlukan juga pemasangan kateter urin untuk mengetahui urine output.

Lakukan titrasi maksimal pada pemberian ringer laktat, untuk mempertahankan urine output 30-50 ml per jam pada orang dewasa atau 1 ml/kg/jam pada anak. Bila terdapat pigmentasi merah (seperti myoglobin) dalam urin, maka urine output harus dipertahankan antara 75-100 ml/jam sampai urin benar-benar bersih. Pantau tanda vital seperti nadi, tekanan darah, mean arterial pressure (MAP), dan capillary refill time (CRT).

Wanita hamil yang mengalami acute radiation syndrome sebaiknya harus mendapatkan perlakuan manual displacement of uterus ke sisi kiri untuk mengurangi dekompresi pada vena cava inferior agar tidak memperburuk keadaan syok dan memperbaiki sirkulasi dan perfusi ke janin sehingga janin memiliki viabilitas.[2,7]

Disability (Evaluasi Neurologis):

Evaluasi neurologis harus dilakukan pada pasien acute radiation syndrome akibat adanya kemungkinan sindrom neurovaskular. Penilaian tingkat kesadaran pasien dengan metode GCS, menilai ukuran dan reaksi pupil, dan mengidentifikasi tanda lateralisasi perlu dilakukan.[1,3,7]

Exposure and Environmental (Paparan dan Lingkungan):

Selama primary survey, pakaian pasien sepenuhnya ditanggalkan untuk pemeriksaan dan penilaian yang menyeluruh, setelah itu pasien harus segera diselimuti dengan selimut hangat atau menggunakan external warming device untuk mencegah hipotermia. Pakaian pasien yang telah terpapar oleh radiasi harus dibungkus ke dalam kain dan diletakkan di tempat khusus yang telah disesuaikan oleh petugas keselematan radiasi.[2,4,7]

Secondary Survey Acute Radiation Syndrome

Hal-hal yang perlu dilakukan saat secondary survey adalah evaluasi riwayat lengkap pasien, pemeriksaan fisik evaluasi head to toe, dan penilaian kembali semua tanda-tanda vital pasien. Evaluasi riwayat lengkap pasien dapat berpedoman pada AMPLE, yaitu;

  • A: allergies -riwayat alergi
  • M: medications - obat-obatan yang sedang digunakan
  • P: past illnesses/pregnancy- riwayat penyakit dahulu dan kehamilan
  • L: last meal –waktu makan terakhir
  • E: events/environment – mekanisme kejadian yang berhubungan dengan trauma[1,7]

Pada secondary survey perlu dilakukan pemeriksaan fisik head to toe dan pemeriksaan penunjang laboratorium atau pencitraan bila diperlukan. Sebaiknya lakukan juga observasi dan pencatatan keadaan umum pasien dan manifestasi klinis yang timbul selama 48 jam pertama untuk manajemen terapeutik acute radiation syndrome dan prediksi kegagalan organ multipel.[1-3,7]

AcuteRadiationSyndrome

Gambar 1. Acute Radiation Syndrome dalam 48 Jam (Sumber: dr.Eva Naomi, Alomedika, 2023)

PenilaianPrimerARS

Gambar 2. Penilaian Primer pada Acute Radiation Syndrome dalam 48 jam (Sumber: dr.Eva Naomi, Alomedika, 2023)

Penatalaksanaan Acute Radiation Syndrome

Berdasarkan penatalaksanaannya, pasien acute radiation syndrome dengan pajanan radiasi diklasifikasikan menjadi pasien yang sembuh dengan intervensi minimal, pasien yang membutuhkan perawatan suportif yang agresif, hingga  pasien yang memerlukan tindakan invasif seperti transplantasi sel punca sumsum tulang.[2,5,7]

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat, menghilangkan kontaminasi eksternal, estimasi dosis radiasi, perawatan suportif, pengobatan simtomatik, dan penggantian cairan dan elektrolit harus menjadi tujuan paling awal dari penatalaksanaan kegawatdaruratan acute radiation syndrome.[1-3]

Penatalaksanaan Terapeutik Awal

Penatalaksanaan terapeutik awal dapat mempertimbangkan skor pasien berdasarkan penilaian primer.

Skor 1:

Observasi, tidak memerlukan terapi agen sitokin. Pemantauan klinis rawat jalan. Follow up pemeriksaan darah lengkap setiap hari selama 6 hari, lalu seminggu sekali selama 2 bulan.

Skor 2:

Terapi kuratif agen sitokin G-CSF/KGF harus digunakan sedini mungkin selama 14-21 hari. Pengobatan simtomatik dengan agen antiulserasi untuk kerusakan saluran cerna. Jika terjadi aplasia parah, pastikan pasien berada dalam lingkungan yang terlindungi (bebas radiasi atau radiasi minimal). Paparan radiasi yang tidak disengaja umumnya bersifat heterogen; beberapa regio dari sumsum tulang yang kurang terpapar / terlindungi, dapat menimbulkan pemulihan hematopoietik endogen.

Skor 3:

Terapi agen sitokin diberikan sampai penilaian ulang skor. Pengobatan paliatif/simtomatik dapat diberikan. Evaluasi ulang selama minggu pertama berdasarkan hasil laboratorium atau klinis. Gejala yang timbul pada skor ini menunjukkan kerusakan/disfungsi organ yang ireversibel.[1-3,7]

Penatalaksanaan Terapeutik Khusus

Penatalaksanaan terapeutik khusus mencakup:

  • Dekontaminasi dan penggunaan agen kelasi (chelating agents): DTPA, Prusian blue dan kalsium/aluminium fosfat.
  • Kalium iodida dapat diberikan berfungsi untuk menjenuhkan situs pengikatan yodium di dalam tiroid dan menghambat penggabungan radioiodin ke dalam kelenjar.
  • Bila diperlukan intervensi bedah harus dilakukan selama 36 jam pertama. Transfusi trombosit 75000/mcl untuk intervensi bedah (jika diperlukan).
  • Profilaksis neutropenia: fluoroquinolone sebagai antibakteri + antivirus acyclovir + antijamur fluconazole

  • Neutropenia dan demam pada acute radiation syndrome: antimikroba profilaksis spektrum luas.
  • Berikan profilaksis Pneumocystis Carinii jika CD4 < 200/L.[1-3,7]

Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi yang diperlukan dalam penatalaksanaan acute radiation syndrome meliputi penggunaan obat untuk saluran cerna, potassium iodide (kalium iodida), agen sitokin, dan antimikroba.[7-10]

Obat Saluran Cerna:

Obat untuk saluran cerna dapat menggunakan antiulserasi sukralfat dengan dosis 1 gram 6 kali sehari (dosis maksimal 8 gram per hari) untuk mencegah perdarahan saluran cerna. Antiemesis dapat menggunakan ondansetron 8 mg intravena (IV) diikuti dengan 1 mg/jam selama 24 jam berikutnya.[2,6,7]

Kalium Iodida:

Pemberian kalium iodida sangat direkomendasikan untuk pasien, terutama anak-anak dan wanita hamil yang terpapar radiasi iodine radioaktif dalam jumlah besar, misalnya yang didapat melalui insiden senjata nuklir atau pembangkit listrik).[7,8,10]

Tabel 4. Dosis Kalium Iodida

Usia Dosis kalium iodida
Dewasa >40 tahun dengan paparan tiroid ≥5 Gy 130mg/hari
Dewasa 18–40 tahun dengan paparan tiroid ≥0,1 Gy 130mg/hari
Wanita hamil atau menyusui dengan paparan tiroid ≥0,05 Gy 130mg/hari
Usia 3–18 tahun dengan paparan tiroid ≥0,05 Gy 65 mg/ sehari (dikonsumsi 1 kali/hari)
Bayi 1 bulan hingga 3 tahun dengan paparan tiroid ≥0,05 Gy 32 mg/ sehari (dikonsumsi 1 kali/hari)
Neonatus sejak lahir hingga 1 bulan dengan paparan tiroid ≥0,05 Gy 16 mg/ sehari (dikonsumsi 1 kali/hari)

Sumber: dr. Eva Naomi, Alomedika, 2023.[4,5]

Agen Sitokin:

Agen sitokin seperti granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) harus dimulai sesegera mungkin. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa risiko sindrom hematopoietik dapat dikurangi ketika sitokin diberikan lebih awal setelah paparan, yaitu dalam 24 jam pertama ketika apoptosis terjadi.

Indikasi pemberian sitokin pada acute radiation syndrome adalah:

  • Pasien terpapar radiasi seluruh tubuh dengan dosis ≥ 3 Gy atau ketika terdapat manifestasi klinis yang menunjukkan toksisitas tingkat tinggi.
  • Pasien terpapar radiasi seluruh tubuh dengan dosis 2 Gy dengan trauma mekanis dan atau luka bakar (cedera gabungan)
  • Pasien dengan usia ekstrem: anak-anak < 12 tahun dan lansia ≥ 60 tahun)

Pilihan terapi agen sitokin yang tersedia untuk pasien ARS dengan neutropenia berat adalah:

  • Filgrastim (G-CSF) 2,5–5µg/kg/hari secara subkutan

  • Sargramostim (GM-CSF) 5–10µg/kg/hari secara subkutan
  • Pegfilgrastim (pegG-CSF) 6 mg sekali subkutan.

Terapi sitokin harus dilanjutkan selama 2-3 minggu atau sampai jumlah neutrofil absolut >1000/L.[7-10]

Terapi Antimikroba:

Terapi antimikroba diberikan karena adanya kerentanan terhadap infeksi lokal maupun sistemik setelah paparan radiasi, yang timbul sebagai akibat dari rusaknya barrier kulit dan mukosa, serta penekanan imunitas. Antimikroba profilaksis dengan spektrum luas seperti fluoroquinolone harus digunakan, karena durasi neutropenia yang cenderung berkepanjangan.[1-3,7]

Bagi pasien yang mengalami demam dan neutropenia yang signifikan (absolut neutrophil count-ANC <500/L), pendekatan pertama adalah monoterapi antimikroba intravena (IV) dengan imipenem/silastatin, meropenem, atau sefalosporin antipseudomonal spektrum luas seperti cefepime atau ceftazidime. Terapi dengan antimikroba ini harus dilanjutkan sampai pasien mengalami pemulihan neutrofil.[1-3,7]

Intervensi Bedah

Intervensi bedah dapat dilakukan pada pasien acute radiation syndrome dengan trauma yang menyertai. Intervensi harus dilakukan dalam kurun waktu 36 jam dan tidak lebih dari 48 jam setelah pajanan radiasi. Intervensi bedah tambahan (jika diperlukan) tidak boleh dilakukan hingga setidaknya 6 minggu pasca pajanan radiasi.[1-3,7]

Kesimpulan

Acute radiation syndrome (ARS) merupakan sindrom radiasi yang disebabkan oleh paparan radiasi pengion pada tubuh. Acute radiation syndrome memiliki sindrom khas yaitu sindrom hematopoietik, neovaskular, gastrointestinal, dan kutaneus. Morbiditas dan mortalitas dari ARS ditentukan oleh besaran dosis radiasi pengion pada pasien dan penanganan awal yang cepat dan tepat.

Kondisi yang mengancam jiwa seperti cedera neovaskular, luka bakar, sindrom gangguan pernapasan akut, trauma multisistem, dan kegagalan organ multipel dapat terjadi pada acute radiation syndrome. Prinsip penanganan kegawatdaruratan pada acute radiation syndrome melibatkan penanganan di tempat kejadian, primary survey, dan secondary survey yang dilakukan di instalasi gawat darurat. Semua pasien harus dinilai secara sistematik dengan mengutamakan stabilisasi jalan napas, manajemen pernapasan dan ventilasi, serta manajemen resusitasi cairan yang adekuat.

Referensi