Penatalaksanaan Hiperurisemia Simtomatik pada Penyakit Ginjal Kronis

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Penatalaksanaan hiperurisemia simtomatik pada pasien dengan penyakit ginjal kronis meliputi pendekatan nonfarmakologi dan farmakologi. Berbeda dari pasien tanpa insufisiensi ginjal, pendekatan farmakologi pada pasien penyakit ginjal kronis membutuhkan penyesuaian dosis obat.

Manusia, tidak seperti mamalia lainnya, tidak memiliki enzim urikase yang mampu mengoksidasi asam urat menjadi produk yang mudah larut dalam air ( 5-hydroxyisourate, allantoin) sehingga mudah dikeluarkan lewat urin. Oleh karena itu, produk metabolisme purin pada manusia  hanya berakhir  dalam bentuk asam urat yang sukar larut. Kondisi ini menyebabkan manusia rentan mengalami hiperurisemia.[1-3]

shutterstock_1396401386-min

Secara fisiokimia, hiperurisemia didefinisikan sebagai konsentrasi asam urat yang melampaui solubilitasnya dalam darah. Hiperurisemia dapat diakibatkan oleh peningkatan produksi atau menurunnya ekskresi asam urat. Skenario klinis hiperurisemia simtomatik dapat berupa gout arthritis, batu ginjal, atau nefropati asam urat.[2,4]

Karena asam urat diekskresikan utamanya di urine, peningkatan kadar asam urat sering ditemukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Kondisi hiperurisemia ini juga dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal lebih lanjut yang akan memperburuk kondisi penyakit ginjal kronis.[17]

Pendekatan Nonfarmakologi

Prinsip pendekatan nonfarmakologi untuk penatalaksanaan hiperurisemia meliputi penurunan berat badan untuk mencapai indeks massa tubuh normal, diet rendah purin, latihan jasmani, berhenti merokok, dan menghindari dehidrasi. Menurut pedoman klinis, diet spesifik yang direkomendasikan terdiri dari membatasi konsumsi alkohol (terutama bir), daging dan makanan laut, serta makanan dan minuman dengan kandungan tinggi fruktosa. [5-8]

Selain itu, sedapat mungkin menghindari penggunaan obat-obatan yang dapat memicu hiperurisemia seperti diuretik (loop and thiazide types), beta bloker, aspirin, pyrazinamide, ethambutol, nicotinic acid, asam laktat, siklosporin, takrolimus, teofilin, levodopa, ribavirin, interferon, ritonavir, darunavir, rituximab, basiliximab, teriparatide, sildenafil, diazoxide, dan agen sitotoksik. [11]

Pendekatan Farmakologi

Pendekatan farmakologi untuk hiperurisemia simtomatik pada penyakit ginjal kronis akan dibahas menurut skenario klinisnya yakni gout (akut dan kronis), nefrolitiasis asam urat, dan nefropati asam urat.[4]

Gout Akut

Tujuan pengobatan gout akut adalah untuk mengurangi nyeri. Menurut pedoman klinis, ada tiga macam obat yang dapat digunakan yakni kolkisin, kortikosteroid, dan  Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAIDs).[4,6,7,9,10]

Kolkisin:

Kolkisin mesti diberikan dengan penyesuaian dosis sesuai klirens kreatinin atau laju filtrasi glomerulus pasien (eGFR). Pada penyakit ginjal kronis ringan-sedang dengan klirens kreatinin ≥ 30ml/menit, belum diperlukan penyesuaian dosis kolkisin. Bagi pasien dengan klirens kreatinin < 30ml/menit, dosis kolkisin biasa masih bisa diberikan namun tidak boleh diulangi lebih dari sekali dalam interval dua minggu. Sedangkan pada pasien dialisis, dosis kolkisin diturunkan menjadi 0,6 mg satu dosis saja dan tidak boleh diulangi lebih dari sekali dalam interval dua minggu. [4,9,10]

Kortikosteroid:

Dalam hal keamanan, kortikosteroid merupakan pilihan yang paling baik untuk mengontrol serangan akut gout pada penyakit ginjal kronis. Jika hanya satu atau dua sendi yang terlibat, maka bisa diberikan injeksi intraartikular glukokortikoid. Jika lebih dari dua sendi, dapat dipertimbangkan untuk memberikan kortikosteroid secara sistemik. Karena adanya cross-reactivity dengan reseptor mineralokortikoid yang dapat memicu retensi natrium dan cairan (meningkatkan risiko volume overload), maka perlu dipilih kortikosteroid dengan potensi mineralokortikoid yang paling minim, seperti dexamethasone.[9,10]

Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAID) :

Obat golongan NSAID mesti dihindari pada semua pasien dengan penyakit ginjal kronis terutama bagi pasien penyakit ginjal kronis yang tidak menjalani dialisis. Data klinis menunjukkan bahwa penggunaan NSAID berulang berkontribusi pada penurunan fungsi ginjal, peningkatan risiko kardiovaskular, dan perdarahan gastrointestinal.[9,10]

Pilihan Lain:

Sejumlah studi menunjukkan bahwa penghalang interleukin 1 dapat bermanfaat sebagai antiinflamasi pada serangan akut gout yang tidak berespon terhadap kolkisin, kortikosteroid, dan NSAIDs. Namun penggunaannya belum direkomendasikan karena masih kurangnya bukti ilmiah yang tersedia.[7]

Gout Kronis

Pada gout kronis, hiperurisemia dapat memicu serangan akut gout (acute gout flares). Oleh sebab itu, profilaksis jangka panjang dengan urate lowering therapy (ULT) diperlukan untuk menjaga kadar serum asam urat di bawah 6 mg/dL. Regimen ULT yang tersedia saat ini adalah xanthine oxidase inhibitor dan obat uricosuric.[4-7,9,10]

Xanthine Oxidase Inhibitor:

Lini pertama ULT untuk gout kronis pada kasus gagal ginjal adalah xanthine oxidase inhibitors (XOI), seperti dari allopurinol dan febuxostat.[4-7,9,10] Dosis allopurinol mesti disesuaikan menurut klirens kreatinin atau eGFR pasien. Pada pasien dengan klirens kreatinin > 30 ml/menit, mulai dengan dosis < 100 mg per hari, dengan dosis ditingkatkan setiap 2-5 minggu dan maksimal dosis 800 mg per hari. Untuk pasien dengan klirens kreatinin < 30 ml/menit, dosis mulai 50 mg per hari.

Pada pasien yang menjalani hemodialisis intermiten, berikan allopurinol post dialysis. Mulai dengan dosis 100 mg setiap hari berselang post dialysis. Pada pasien yang menjalani hemodialisis harian, penambahan dosis 50% post dialysis terkadang diperlukan.[9,10]

Jika target serum asam urat tidak bisa dicapai dengan allopurinol atau pasien mengalami reaksi alergi hipersensitivitas, maka dianjurkan untuk mengganti terapi ke febuxostat. Febuxostat tidak membutuhkan penyesuaian dosis pada penyakit ginjal kronis ringan-sedang. Menurut pedoman klinis, dosis febuxostat berkisar dari 40-120 mg per hari. Namun, febuxostat belum direkomendasikan untuk gagal ginjal tahap lanjut.[4,6,7,9,10,12]

Hasil penelitian CONFIRMS menunjukkan bahwa febuxostat lebih superior jika dibandingkan dengan allopurinol untuk menurunkan kadar asam urat baik pada pasien normal atau pasien dengan insufisiensi ginjal ringan-sedang.[12]

Uricosuric:

Jika terdapat kontraindikasi seperti alergi atau intoleransi pada XOI, sebagai alternatifnya dapat digunakan obat golongan uricosuric seperti probenecid atau benzbromarone. Namun, uricosuric tidak dianjurkan pada pasien dengan klirens kreatinin < 30 ml/menit, pasien dengan riwayat nefrolitiasis, atau dosis lebih dari 700-800 mg per 24 jam.[4,6,7,9,10]

Baru-baru ini, lesinurad (selective uric acid reabsorption inhibitor/SURI) sudah mendapat pengesahan dari FDA untuk penatalaksanaan hiperurisemia dan gout. Lesinurad dianjurkan untuk diberikan bersama dengan XOI. Pemberian lesinurad tidak dianjurkan pada pasien dengan eGFR < 45ml/menit/1,73 m2.[4,13]

Pada kasus refrakter hiperurisemia simtomatik, bisa diberikan pegloticase (pegylated recombinant uricase) yang mengkatalisis konversi asam urat menjadi allantoin. Pegloticase diberikan dengan cairan salin normal intravena dan dapat digunakan pada penyakit ginjal kronis tahap lanjut, termasuk pasien dialisis, tanpa penyesuaian dosis.[4,6,14,15]

Nefrolitiasis Asam Urat

Allopurinol merupakan obat pilihan ULT untuk pasien hiperurisemia dengan nefrolitiasis asam urat. Kalium sitrat, sodium bikarbonat, atau acetazolamide dibutuhkan untuk mengalkalisasi urin dan meningkatkan solubilitas dari asam urat. Selain itu, hidrasi yang adekuat turut direkomendasikan untuk menjaga keluaran urin sekurang-kurangnya 2 liter setiap hari, kecuali jika ada kontraindikasi yang berkaitan dengan risiko volume overload.[4]

Nefropati Asam Urat

Kondisi nefropati asam urat banyak terjadi pada kasus onkologi (misalnya tumor lysis syndrome). Pemberian ULT dengan allopurinol, hidrasi intravena dengan larutan salin, dan pemberian furosemid atau manitol untuk mendilusi urin, dibutuhkan untuk mencegah terjadinya presipitasi asam urat lebih lanjut. Mengalkalisasi urin dengan sodium bikarbonat atau acetazolamide juga diperlukan untuk membantu eliminasi asam urat.[4]

Obat rasburicase (recombinant urate oxidase) telah disahkan untuk penanganan hiperurisemia pada kondisi tumor lysis syndrome baik pada anak-anak maupun dewasa. Rasburicase memfasilitasi konversi asam urat ke allantoin yang mudah larut. Tidak dibutuhkan penyesuaian dosis untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.[4,16]

Pemberian dosis tinggi rasburicase (600-900mg/hari) ditujukan untuk mengurangi produksi asam urat sebelum kemoterapi pada pasien-pasien leukemia dan limfoma, bersama-sama dengan hidrasi dan allopurinol hingga beberapa hari setelah kemoterapi. Jika terjadi gagal ginjal akut terlepas dari upaya di atas, maka dibutuhkan tindakan hemodialisis dini untuk membantu proses pemulihan fungsi ginjal.[4,16]

Kesimpulan

Penatalaksanaan hiperurisemia simtomatik pada pasien penyakit ginjal kronis berbeda dengan pasien tanpa insufisiensi ginjal, terutama pada pendekatan farmakologi. Xanthine oxidase inhibitor (XOI) tetap menjadi lini pertama untuk menangani hiperurisemia simtomatik pada penyakit ginjal kronis, baik untuk skenario klinis gout, nefrolitiasis asam urat, maupun nefropati asam urat. Febuxostat tidak membutuhkan penyesuaian dosis pada pasien dengan klirens kreatinin > 30ml/menit, sedangkan allopurinol membutuhkan penyesuaian dosis.

Untuk kasus hiperurisemia simtomatik yang tidak berespon atau ada kontraindikasi terhadap urate lowering therapy konvensional, sebagai alternatifnya dapat digunakan pegloticase atau rasburicase.

Referensi