Penyakit Addison akibat Tuberkulosis

Oleh :
dr. Monik Alamanda

Penyakit Addison atau Addison’s disease (AD) diketahui dapat disebabkan oleh infeksi tuberkulosis. Prevalensi kasus ini sebenarnya telah menurun selama beberapa dekade terakhir, tetapi di negara berkembang seperti di Indonesia kejadiannya masih cukup sering dilaporkan.

Penyakit Addison primer merupakan suatu insufisiensi glukokortikoid adrenal dan/atau insufisiensi mineralokortikoid adrenal kronik yang disebabkan oleh kerusakan korteks adrenal. Saat pertama kali ditemukan, etiologi utama penyakit ini adalah infeksi tuberkulosis (TB). Namun, saat ini prevalensi penyakit Addison yang disebabkan oleh TB sudah berkurang dan umumnya hanya ditemukan di negara berkembang.[1,2]

 shutterstock_1540815983-min

Patofisiologi Penyakit Addison akibat Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan jenis infeksi yang paling sering menyebabkan penyakit Addison. Insufisiensi adrenal dapat disebabkan oleh infeksi TB secara langsung pada kelenjar adrenal atau oleh efek samping obat antituberkulosis (OAT).[3]

Bakteri Mycobacterium tuberculosis umumnya menyebar ke kelenjar adrenal melalui jalur hematogen atau limfogen sehingga sebagian besar kasus melibatkan kelenjar adrenal bilateral. Diseminasi bakteri ini dapat terjadi saat infeksi paru primer atau saat reinfeksi atau reaktivasi infeksi di kemudian hari. Penyebaran umumnya terjadi akibat diagnosis dan inisiasi OAT yang terlambat atau akibat TB yang resisten obat.[4,5]

Penelitian Nomura menunjukkan bahwa 93% pasien dengan TB adrenal memiliki riwayat TB ekstraadrenal dengan tuberkulosis paru dan pleura sebagai jenis tersering. Munculnya manifestasi AD yang didahului oleh TB nonadrenal memiliki rerata interval 31 tahun. Pada sebagian besar kasus, manifestasi AD muncul saat TB sudah bersifat inaktif.[4,6]

Gejala insufisiensi adrenal umumnya muncul saat kerusakan telah terjadi pada lebih dari 90% jaringan adrenal. TB pada kelenjar adrenal menyebabkan inflamasi,  nekrosis, dan destruksi jaringan korteks bilateral yang lalu menurunkan produksi glukokortikoid dan mineralokortikoid. Manifestasi klinis yang bisa muncul adalah rasa lelah, penurunan berat badan, demam, hiperpigmentasi kulit, hipotensi, hiponatremia, hiperkalemia, dan hipoglikemia.[1,3,4]

Epidemiologi Penyakit Addison akibat Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan etiologi utama AD (70%) pada tahun 1930-an. Namun, seiring berkembangnya pengobatan dan profilaksis TB, kasus TB-AD dilaporkan berkurang menjadi 31% pada tahun 1960-an di Inggris, menjadi 17% pada tahun 1970-an di Denmark, hingga menjadi 3% di Italia baru-baru ini.[1]

Saat ini, penyebab utama penyakit Addison di Eropa adalah penyakit autoimun dengan persentase 75–96% kasus. Penyakit Addison akibat tuberkulosis hanya ditemukan pada sekitar 10–15% kasus. Hal ini berbeda dengan negara berkembang, di mana tuberkulosis masih merupakan penyebab utama penyakit Addison.[7]

Di Indonesia sendiri, telah ada beberapa laporan kasus TB-AD yang tercatat dari sejumlah instansi kesehatan. Namun, saat ini belum ada data prevalensi dan insidensi TB-AD di Indonesia yang komprehensif.[2,4,7]

Penatalaksanaan Penyakit Addison akibat Tuberkulosis

Pengobatan TB tidak selalu diberikan bila ditemukan atrofi adrenal karena sebagian besar TB-AD disebabkan oleh TB yang sudah tidak aktif. Namun, apabila terdapat pembesaran kelenjar adrenal, terapi OAT dianjurkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengobatan TB dapat mengembalikan fungsi adrenal tetapi beberapa penelitian lain juga melaporkan bahwa OAT tidak memperbaiki fungsi adrenal.[4]

Pengobatan TB-AD menjadi tantangan tersendiri karena salah satu OAT yang umum digunakan (rifampicin) memiliki efek kuat dalam meningkatkan kinerja sitokrom P450 yang berperan untuk memetabolisme steroid di hepar. Interaksi antara steroid sebagai terapi penyakit Addison dengan rifampicin sebagai terapi TB dapat mengurangi kadar plasma steroid.

Dalam beberapa kasus, rifampicin bahkan dilaporkan bisa menyebabkan krisis adrenal akibat rendahnya kadar plasma steroid. Dosis steroid disarankan untuk disesuaikan dan ditingkatkan bila pasien juga menerima rifampicin. Namun, hingga saat ini belum ada patokan spesifik mengenai jumlah dosis yang harus ditingkatkan.[8]

Pencegahan Insufisiensi Adrenal

Pemberian dosis steroid juga harus disesuaikan apabila pasien mengalami kondisi yang membutuhkan kadar kortisol lebih tinggi (stressful circumstances), seperti demam, trauma, tindakan operasi, dan kondisi kritis serupa syok, infark miokard, dan lainnya. Dosis steroid juga disesuaikan saat pemberian rifampicin.[9]

Peningkatan dosis ini dilakukan untuk mencegah krisis adrenal akibat kondisi-kondisi tersebut di atas. Krisis adrenal merupakan kondisi serius yang dapat ditandai dengan hipotensi, hiponatremia, hiperkalemia, dan/atau hipoglikemia.[3,4,8,9]

Kesimpulan

Di negara berkembang seperti Indonesia, penyakit Addison masih sering disebabkan oleh tuberkulosis. Diagnosis penyakit Addison akibat tuberkulosis terutama harus dipertimbangkan bila menghadapi pasien dengan manifestasi klinis insufisiensi adrenal yang memiliki riwayat tuberkulosis.

Pengobatan dengan OAT tidak selalu diperlukan karena sebagian besar kasus TB-AD disebabkan oleh TB yang sudah tidak aktif. Namun, bila ada pembesaran kelenjar adrenal, terapi OAT lebih dianjurkan. Terapi steroid jangka panjang juga mungkin diperlukan bila pasien telah mengalami kerusakan korteks adrenal yang menetap. Namun, bila dokter memberikan steroid bersama OAT (rifampicin), dosis steroid perlu ditingkatkan karena rifampicin dapat menurunkan kadar plasma steroid.

Referensi