Peran Artificial Intelligence dalam Prediksi Psikosis

Oleh :
dr. Damba Bestari, Sp.KJ

Artificial intelligence (AI) dengan machine learning saat ini dikembangkan sebagai upaya dalam memprediksi timbulnya psikosis, seperti schizophrenia dan gangguan bipolar. Metode ini menjadi perhatian karena memberikan harapan terkait perbaikan luaran psikosis yang secara umum prognosisnya kurang baik dibandingkan gangguan psikiatri lain.

Walaupun intervensi dini pada episode psikosis pertama terbukti bermanfaat secara klinis, hal ini masih dinilai kurang efektif dalam mencegah kekambuhan atau mengurangi durasi psikosis yang tidak diobati. Oleh karenanya, bantuan artificial intelligence berpeluang untuk mendeteksi dini kerentanan psikosis dan meminimalisir defisit jangka panjang.[1]

shutterstock_1209948025-min

Manfaat Artificial Intelligence dalam Ranah Prediksi Psikosis

Kesadaran terhadap kesehatan mental yang semakin tinggi, dikombinasikan dengan kemajuan teknologi, telah memicu ketertarikan tentang bagaimana artificial intelligence (AI) dengan metode machine learning dapat memudahkan psikiater dalam ranah deteksi, diagnosis, hingga terapi. Metode ini berpotensi menawarkan cara baru dalam mempelajari pola perilaku manusia, mengidentifikasi gejala dan faktor risiko, serta mengembangkan prediksi tentang perkembangan penyakit, termasuk psikosis.[2]

Psikosis, sebagai gangguan psikiatri berat, diketahui berdampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Gangguan ini dapat menimbulkan disabilitas berat yang mengurangi kesempatan individu untuk belajar, bekerja, dan berkembang. Terdapat banyak teori dan penelitian mengenai faktor risiko dan mekanisme munculnya psikosis. Namun, kapan awitan gangguan psikiatri ini terjadi, durasi, dan berapa lama seseorang harus terpapar faktor risiko hingga terjadi psikosis masih menjadi sebuah pertanyaan.[3]

Kriteria CHR (clinical high risk) untuk psikosis telah disusun oleh para ahli untuk mendeteksi individu rentan sedini mungkin agar dapat mencegah perkembangan penyakit. Kriteria ini mengidentifikasi populasi dengan peningkatan risiko dibandingkan dengan populasi umum. Namun, hanya 22% pasien dengan CHR yang dideteksi sebagai ultra-high-risk menunjukkan transisi psikosis dalam periode 3 tahun. Manfaat klinis dari CHR juga semakin terbatas karena aplikasinya yang sulit dan hanya dapat diterapkan di fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Oleh karena itu, AI diharapkan mampu membantu meningkatkan identifikasi pasien yang benar-benar berisiko psikosis.[1]

Bukti Ilmiah Peran Artificial Intelligence dalam Prediksi Psikosis

Artificial intelligence (AI) semakin banyak dimanfaatkan dalam praktik kedokteran, misalnya untuk menentukan tata laksana kanker, deteksi retinopati diabetik, dan bidang patologi. Pada kasus psikosis, AI dianggap mampu meningkatkan akurasi prognostik pada populasi CHR.

Sebuah studi prognostik longitudinal terbaru (2021) mencoba menganalisis apakah transisi psikosis dapat diprediksi pada pasien CHR atau pasien dengan recent-onset depression (ROD) menggunakan machine learning multimodal. Pada studi ini, program machine learning yang digunakan mengintegrasikan data klinis, data neurokognitif, structural magnetic resonance imaging (sMRI), dan polygenic risk scores (PRS) untuk schizophrenia. Sampel studi terdiri dari 334 kontrol, 167 pasien dengan CHR, dan 167 pasien dengan ROD. 26 orang dari kelompok kasus dilaporkan mengalami psikosis selama masa studi. Studi ini menunjukan bahwa algoritma dari machine learning memiliki sensitivitas tinggi  (76-88%), tetapi spesifisitas rendah (53,5-66,8%). Apabila algoritma ini digabungkan dengan penilaian klinisi, sensitivitas dilaporkan sebesar 84,6% dan spesifisitas 86,4%. [1] Hasil studi lain mengenai masalah ini di 5 negara Eropa menyatakan bahwa machine learning dapat memperbaiki sensitivitas prognostik dengan mengurangi angka false negative dari 38,5% menjadi 15,4%.[4]

Studi lain mengenai AI untuk psikosis yang cukup menarik adalah pengembangan machine learning untuk memprediksi psikosis menggunakan indikator linguistik. Dalam studi yang dilakukan oleh Rezaii et al ini, 40 partisipan North American Prodrome Longitudinal Study diikutkan untuk mengevaluasi fitur halus dalam bahasa sehari-hari orang yang dapat digunakan dalam memprediksi terjadinya psikosis. Studi ini menemukan bahwa konversi menjadi psikosis ditandai oleh kepadatan semantik yang rendah dan pembicaraan mengenai halusinasi dengar. Ketika kedua variabel ini digabungkan, Rezaii et al menyatakan bahwa akurasi prediksi dapat meningkat hingga 93%.[5]

Kesimpulan

Artificial intelligence (AI) dengan machine learning telah banyak dikembangkan dalam dunia medis, termasuk untuk prediksi terjadinya psikosis. Psikosis memiliki prognosis umum yang buruk karena dapat menyebabkan disabilitas jangka panjang dan memiliki angka kekambuhan yang tinggi. Deteksi dini dengan penggunaan ekspertise klinis serta pemanfaatan AI dianggap dapat meningkatkan luaran pasien.

Bukti ilmiah yang ada telah menunjukan potensi penggunaan AI dengan machine learning dalam memprediksi terjadinya psikosis. AI yang telah diteliti antara lain menggunakan machine learning untuk menganalisis indikator linguistik ataupun menggunakan berbagai parameter medis (data klinis, neurokognitif, structural magnetic resonance imaging, dan polygenic risk scores) untuk meningkatkan akurasi prediksi terjadinya psikosis.

Referensi