Perbandingan Serum sFlt-1/PlGF sebagai Prediktor Risiko Preeklampsia

Oleh :
Yelvi Levani

Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang sering terjadi dengan tingkat morbiditas maupun mortalitas yang tinggi sehingga prediktor risiko terjadinya preeklampsia pada ibu hamil merupakan suatu hal yang penting. Saat ini, penelitian terkini menemukan perbandingan serum soluble fms-like tyrosine kinase-1/pro-angiogenic placental growth factor (sFlt1/PlGF) yang dapat digunakan sebagai prediktor risiko preeklampsia. Prediktor ini dapat digunakan untuk memberikan perhatian lebih pada ibu yang berisiko tinggi sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu hamil dan janin.

Depositphotos_44400705_m-2015_compressed

Preeklampsia adalah hipertensi yang terjadi pada kehamilan dengan disertai adanya proteinuria. Preeklampsia dialami oleh 3-5% ibu hamil dan merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu hamil, janin dan neonatus di seluruh dunia.[1] Berdasarkan konsensus terbaru International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP), Irlandia, pada tahun 2014, preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi (tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg) yang baru ditemukan (de-novo hypertension) setelah usia kehamilan 20 minggu yang disertai dengan proteinuria (>300 mg/hari), disfungsi organ maternal seperti insufisiensi renal, komplikasi neurologi atau hematologi, disfungsi uteroplasenta atau restriksi perkembangan janin.[2,3]

Preeklampsia dapat menyebabkan komplikasi pada kehamilan seperti kejang, edema paru, solusio plasenta, oligohidramnion dan restriksi perkembangan janin. Preeklampsia dapat terjadi secara tiba-tiba pada trimester kedua dan ketiga. Oleh karena itu, prediktor risiko terjadinya preeklampsia sangat dibutuhkan. Perbandingan serum sFlt1/PlGF dapat menjadi salah satu penanda biologis (biomarker) untuk memprediksi risiko terjadinya preeklampsia pada ibu hamil.[4]

Peningkatan Level sFlt1 dan Penurunan PlGF pada Preeklampsia

Salah satu hipotesis penyebab terjadinya preeklampsia adalah gangguan pada implantasi plasenta sehingga menyebabkan aliran darah ke plasenta terhambat.[5]

Plasenta yang kekurangan oksigen mengeluarkan berbagai molekul ke sirkulasi maternal sehingga menyebabkan disfungsi endotelial sistemik dan menyebabkan hipertensi serta proteinuria. Studi yang telah dilakukan menunjukkan plasenta ibu hamil dengan preeklampsia memproduksi molekul soluble fms-like tyrosine kinase 1 receptor (sFlt1) yang dapat berikatan dengan reseptor vascular endothelial growth factor (VEGF) dan placental growth factor (PlGF).[6]

PlGF merupakan bagian dari VEGF yang bersifat pro angiogenik dan vasodilator. sFlt1 bersifat antagonis tehadap VEGF dan PlGF. Peningkatan level sFlt1 di sirkulasi maternal akan menyebabkan penurunan VEGF dan PlGF bebas sehingga dapat menyebabkan efek antiangiogenik sistemik.[7] Kondisi antiangiogenik sistemik pada sirkulasi maternal dapat menyebabkan kondisi hipertensi dan proteinuria.[6]

Sebuah studi mendemonstrasikan peningkatan level sFlt-1 dan penurunan level PlGF pada darah ibu dapat memprediksi terjadinya preeklampsia dalam waktu lima minggu sebelum munculnya gejala klinis.[8] Studi tersebut melibatkan 120 ibu hamil dengan preeklampsia dan 120 ibu hamil dengan tekanan darah yang normal sebagai kontrol. Dari 120 ibu hamil yang mengalami preeklampsia, 80 orang mengalami preeklampsia ringan dan 40 orang mengalami preeklampsia berat termasuk 3 orang dengan sindrom HELLP.

Konsentrasi sFlt1 serum menigkat secara signifikan pada ibu hamil dengan preeklampsia lima minggu sebelum gejala klinis muncul bila dibandingkan dengan ibu hamil yang memiliki tekanan darah normal. Seiring dengan peningkatan konsentrasi sFlt1, terdapat penurunan level PlGF dan VEGF bebas. Ibu hamil dengan preterm preeklampsia dan ukuran janin yang kecil memiliki peningkatan konsetrasi sFlt1 dan penurunan PlGF yang lebih besar dibandingkan dengan preeklampsia at term dengan ukuran janin yang normal.

Studi ini memiliki keterbatasan diantaranya menggunakan metode crosssectional serta tidak memeriksa komplikasi lain pada kehamilan seperti restriksi perkembangan janin tanpa hipertensi atau hipertensi gestasional tanpa proteinuria.[8]

Studi lain menunjukkan terdapat peningkatan konsentrasi sFlt1 pada serum ibu hamil yang mengalami preeklampsia bila dibandingkan dengan ibu hamil yang menderita hipertensi gestasional. Hal ini menandakan peningkatan sFlt1 pada serum dapat berfungsi sebagai penanda diagnostik pada preeklampsia dan pembeda preeklampsia dengan hipertensi gestasional.[9]

Implementasi perbandingan sFlt1/PlGF sebagai prediktor preeklampsia

Suatu studi dilakukan untuk membuat konsensus sehingga dapat mempermudah implementasi penggunaan perbandingan sFlt1/PlGF sebagai prediktor preeklampsia. Konsensus yang dibuat adalah:

  • Perbandingan sFlt1/PlGF < 38: ibu hamil kemungkinan besar tidak akan mengalami preeklampsia setidaknya dalam 1 minggu ke depan
  • Perbandingan sFlt1/PlGF > 85 (usia kehamilan < 34 minggu) atau perbandingan sFlt1/PlGF > 110 (usia kehamilan > 34 minggu): ibu hamil kemungkinan besar mengalami preeklampsia atau gangguan plasenta lain
  • Perbandingan sFlt1/PlGF 38 – 85 (usia kehamilan < 34 minggu) atau perbandingan sFlt1/PlGF 38 – 110 (usia kehamilan > 34minggu): ibu hamil belum memiliki diagnosis definitif preeklampsia, tetapi berisiko tinggi untuk mengalami preeklampsia dalam waktu 4 minggu[10]

Konsensus ini belum digunakan secara resmi dalam panduan klinis secara global, walaupun penggunaan perbandingan sFlt1/PlGF sudah mulai diterapkan di negara Jerman.[11] Konsensus ini bertujuan untuk membantu implementasi penerapan perbandingan sFlt1/PlGF di klinis sebagai prediktor risiko preeklampsia sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pada ibu hamil dan janin. Masih dibutuhkan studi lebih lanjut dengan sampel pasien yang besar untuk mengevaluasi konsensus ini supaya dapat diterapkan secara global.

Keterbatasan Perbandingan sFlt1/PlGF sebagai Prediktor Preeklampsia

Peningkatan serum sFlt1 dan penurunan PlGF tidak hanya terjadi pada ibu hamil dengan preeklampsia, tetapi juga dapat dideteksi pada ibu hamil trimester kedua yang mengalami gangguan plasenta lain sehingga menyebabkan gangguan perkembangan janin (Intra uterine growth restriction / IUGR).[8]

Oleh karena itu pengukuran konsentrasi plasma faktor antiangiogenik / pro angiogenik saja tidak cukup untuk memprediksi terjadinya preeklampsia pada ibu hamil. Kombinasi perbandingan serum sFlt1/PlGF dengan USG Doppler dalam menilai kondisi arteri uterina dapat meningkatkan spesifisitas dan sensitivitas dalam memprediksi timbulnya preeklampsia pada ibu hamil.[12] Pada ibu hamil yang sudah terdiagnosis preeklampsia, perbandingan  sFlt1/PlGF tidak menambah informasi diagnosis, tetapi dapat berfungsi untuk menentukan prognosis.[10]

Komplikasi maternal tidak dapat dihindari sepenuhnya, tetapi ibu hamil dengan risiko tinggi dapat diberikan perhatian lebih sehingga dapat diberikan penanganan segera. Belum ada data penelitian yang menunjukkan perbandingan sFlt1/PlGF dapat mencegah terjadinya komplikasi maternal. Selain itu, belum ada studi lanjutan manfaat dari penggunaan perbandingan sFlt1/PlGF yang berkaitan dengan outcome janin dan ibu hamil.

Pemeriksaan ini tidak bisa dilakukan hanya sekali sehingga disarankan untuk dilakukan beberapa kali selama masa kehamilan untuk memberikan hasil yang lebih akurat.[10] Pemeriksaan ini tidak bisa digunakan sebagai skrining pada populasi ibu hamil secara umum dikarenakan tingginya biaya pemeriksaan serta keterbatasan fasilitas untuk melakukan pemeriksaan ini.

Kesimpulan

Salah satu penyebab terjadinya preeklampsia adalah gangguan aliran darah plasenta yang ditandai dengan peningkatan molekul antiangiogenik sFlt1 dan penurunan molekul pro angiogenik PlGF. Perbandingan serum sFlt1/PlGF dapat digunakan sebagai prediktor untuk menentukan risiko preeklampsia.

Prediktor ini dapat digunakan untuk memberikan perhatian lebih kepada ibu hamil yang berisiko tinggi sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. Walaupun begitu, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengimplementasikan perbandingan serum sFlt1/PlGF sebagai prediktor risiko preeklampsia secara luas.

Studi terbaru juga telah mempelajari perlu tidaknya penambahan pemeriksaan PlGF sebagai pemeriksaan standar wanita suspek preeklampsia dengan usia gestasi preterm.

Referensi