Antibiotik Oral atau Topikal untuk Impetigo

Oleh :
dr. Fresa Nathania Rahardjo, M.Biomed, Sp.KK

Pemilihan antara antibiotik oral dan topikal untuk impetigo dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu luas area yang terkena infeksi, jenis bakteri yang menyebabkan infeksi, dan toleransi terhadap pengobatan.[1,2]

Impetigo merupakan penyakit yang disebabkan infeksi bakteri pada kulit superfisial (pyoderma). Terdapat dua bentuk klinis impetigo yaitu impetigo non-bulosa yang mencakup 70% kasus dan impetigo bulosa yang mencakup sisanya.[1-5]

Antibiotik Oral atau Topikal untuk Impetigo-min

Impetigo non-bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogenes, sedangkan impetigo bulosa sendiri disebabkan oleh Staphylococcus aureus.[2,4,5]

Predisposisi lokasi impetigo paling sering mengenai area kepala (dan leher (65,4%), diikuti ekstremitas atas (19,6%), kemudian badan dan ekstremitas bawah (7,5% masing-masing).[2,4,5]

Lesi yang luas dapat disertai gejala sistemik seperti demam, diare, dan kelemahan tubuh. Komplikasi impetigo yang menyebar dan infeksinya menjadi lebih dalam dapat terjadi menyebabkan endokarditis, selulitis, atau osteomyelitis. Komplikasi yang lebih berat dari impetigo bulosa dapat menyebabkan Toxic Shock Syndrome (TSS) atau Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS).[2,4,5]

Pengobatan impetigo bisa dilakukan dengan pemberian agen topikal maupun sistemik yang masing-masing akan dibahas lebih lanjut.[2,3,6]

Antibiotik Topikal untuk Impetigo

Antibiotik topikal memiliki keuntungan dapat diaplikasikan pada area yang terinfeksi saja sehingga dapat meminimalisasi risiko terjadinya resistensi antibiotik, menghindari efek samping obat sistemik lainnya seperti gangguan gastrointestinal. Namun, pemberian terapi topikal dapat menyebabkan reaksi alergi lokal dan aplikasinya sulit bila infeksi melibatkan area yang sulit dijangkau, seperti pada kelopak mata dan mulut.[1-5,7]

Terdapat 3 macam preparat antibiotik topikal yang direkomendasikan untuk impetigo antara lain mupirocin 2% krim atau ointment, retapamulin 1% ointment dan asam fusidat. Semua antibiotik topikal tersebut memiliki spektrum luas dan mencakup hampir semua bakteri Gram positif.[3,5-7]

Mupirocin dan Asam Fusidat

Tinjauan sistemik Cochrane pada tahun 2012 sebelumnya telah meninjau efektivitas mupirocin untuk tatalaksana impetigo. mupirocin dinilai lebih efektif dibandingkan antibiotik oral eritromisin pada impetigo. Kedua antibiotik topikal, mupirocin dan asam fusidat juga  dinilai seimbang atau superior dibandingkan antibiotik oral untuk terapi impetigo.[8]

Namun, terdapat studi-studi yang melaporkan peningkatan resistensi pada kedua obat ini.

Studi mengenai Peningkatan Resistensi terhadap Mupirocin dan Asam Fusidat:

Studi oleh McNeil et al pada tahun 2011 melaporkan resistensi terhadap mupirocin merupakan masalah di antara infeksi kulit superfisial yang disebabkan methicillin-susceptible S. aureus (MSSA) dan bakteri yang resisten terhadap clindamycin.[9]

Pada 136 isolat yang sudah mengalami episode infeksi kulit superfisial berulang sebanyak 3 kali, didapati resistensi mupirocin meningkat dari 7,5% pada episode pertama menjadi 14,5% pada episode ketiga; dan 5 dari 15 strain yang resisten terhadap mupirocin juga resisten terhadap clindamycin.[9]

Doudoulakakis et al melaporkan adanya peningkatan prevalensi resistensi terhadap mupirocin yang semula 4,2% pada tahun 2013 menjadi  37,7% pada tahun 2016. Hal ini terjadi bersamaan dengan peningkatan resistensi terhadap asam fusidat dari 26,8% menjadi 51,9%.[10]

Meta analisis oleh Hajikhani et al pada tahun 2021 meliputi 215 studi menemukan bahwa prevalensi terjadinya fusidic acid resistant methicillin-resistant S. aureus MRSA (FRMRSA) mencapai 0,5%, fusidic acid resistant MSSA (FRMSSA) mencapai 2,6%, dan total fusidic acid resistant S. aureus (FRSA) mencapai 6,7% secara global.[11]

Retapamulin

Retapamulin adalah jenis antibiotik topikal baru dan bekerja dalam 3 mekanisme yang mempengaruhi aspek sintesis protein bakteri sehingga jarang menyebabkan resistensi dari strain bakteri tertentu.[5,6]

Penggunaan agen ini disetujui oleh FDA pada tahun 2007 untuk impetigo kasus methicillin-susceptible S. aureus (MSSA) atau yang disebabkan oleh Streptokokus Grup A (Streptococcus pyogenes) pada pasien dewasa dan anak yang lebih besar dari usia 9 bulan. Retapamulin tidak direkomendasikan untuk pengobatan karier Stafilokokus intranasal ataupun pengobatan infeksi kulit terkait methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA).[5,6]

Ozenoxacin

Antibiotik topikal baru lainnya adalah ozenoxacin. Ozenoxacin adalah antibiotik topikal golongan fluorokuinolon yang disetujui untuk pengobatan impetigo non-bulosa pada orang dewasa dan anak di atas usia 6 bulan di Eropa. Ozenoxacin tersedia dalam preparat 1% dan terbukti dapat mengatasi impetigo setelah penggunaan 5-7 hari secara klinis dan 3-4 hari pada kultur mikrobiologi. Ozenoxacin memiliki spektrum antimikroba yang luas dan efektif terhadap stafilokokus dan streptokokus, patogen utama pada infeksi impetigo. Antibiotik ini sudah terbukti memiliki efek bakterisidal pada MRSA dan MSSA.[3,6]

Mekanisme kerja ozenoxacin adalah dengan aktivitas dual dalam menghambat enzim replikasi bakteri, DNA girase dan topoisomerase yang melindungi agen ini terhadap perkembangan resistensi.[3,6]

Berdasarkan studi acak terkontrol oleh Rosen et al pada tahun 2018 pada 411 pasien anak dan dewasa yang mengalami impetigo, ozenoxacin krim terbukti efektif dalam penanganan kasus yang resisten terhadap antibiotik topikal lainnya seperti asam fusidat dan mupirocin.[12]

Antibiotik Oral untuk Impetigo

Antibiotik oral digunakan saat penggunaan antibiotik topikal dianggap tidak praktis akibat adanya impetigo bulosa dengan bula yang besar, area yang luas, distribusi lesi pada beberapa regio, sulit dijangkaunya terapi topikal maupun tidak adanya respon terhadap terapi topikal sebelumnya.[2,3,4]

Pilihan terapi untuk antibiotik antara lain adalah golongan penisilin seperti amoxicillin/clavulanate, nafcillin, dan dicloxacillin; golongan sefalosporin seperti cefalexin; golongan aminoglikosida seperti pristinamycin,; golongan makrolida seperti erythromycin dan clindamycin; dan golongan tetrasiklin seperti minocycline dan doxycycline.[2-4]

Durasi pengobatan selama  7 hari biasanya cukup untuk mencapai remisi klinis dan dapat ditambah durasi pengobatannya apabila respon klinis belum cukup baik dan bakteri belum terbukti sensitif terhadap antibiotik tersebut.[2,3,4]

Pilihan Antibiotik Oral untuk Impetigo di Indonesia Saat Ini

Pada awalnya, penisilin dan eritromisin adalah lini pertama dalam terapi impetigo. Namun seiring berkembangnya resistensi bakteri, kedua obat tersebut tidak lagi digunakan secara rutin untuk pengobatan impetigo. Pola resistensi antibiotik sangat bervariasi pada setiap daerah sehingga pemberian antibiotik harus disesuaikan.[2,3,4]

Berdasarkan hasil kultur, trimethoprim/sulfamethoxazole untuk impetigo memiliki efektivitas yang kurang memadai untuk eradikasi Streptokokus Grup A. Clindamycin sering digunakan pada pasien dengan riwayat alergi terhadap penisilin atau pada pasien yang tidak memberikan respon baik dengan pemberian antibiotik jenis lainnya. Tetrasiklin dapat digunakan untuk eradikasi MRSA, namun dikontraindikasikan untuk digunakan pada anak-anak di bawah usia 8 tahun karena terdapat risiko terjadinya tendinopati dan artropati.[3,4,5]

Berdasarkan studi oleh Ghazvini et al pada tahun 2017, golongan beta laktamase anti Staphylococcus seperti oxacillin dan dioxacillin biasanya digunakan sebagai lini pertama terapi tetapi belum digunakan di Indonesia; saat ini terapi lini pertama di Indonesia adalah amoxicillin dan asam klavulanat.[1,2,4,5]

Kombinasi terapi antara antibiotik golongan inhibitor beta laktamase dan sefalosporin generasi ketiga seperti cefuroxime dengan clindamycin sering diperlukan untuk mencapai spektrum luas pengobatan pada infeksi polimikrobial. Kombinasi terapi antibiotik umumnya digunakan pada anak dengan kondisi imunokompromais, pasien dengan infeksi nosokomial, orang dengan alergi penisilin yang memerlukan aktivitas antibiotik pada infeksi bakteri Gram negatif dan bakteri aerob.[1,2,4,5]

Pristinamycin

Pristinamycin adalah antibiotik streptogramin oral dengan spektrum bakteri yang sama dengan antibiotik golongan makrolida dan linkosamid untuk bakteri Gram positif dengan risiko resistensi yang lebih rendah. Mekanisme kerjanya dengan cara bakterisidal terhadap Staphylococcus dan Streptococcus, dan dapat memiliki aktivitas terhadap bakteri enterokokus.[3,4]

Pada uji klinis acak yang telah dilakukan oleh Cooper et al pada tahun 2014 untuk membandingkan pristinamycin dengan penisilin dan oxacillin untuk infeksi kulit dan jaringan lunak menunjukkan efektivitas klinis yang tidak banyak berbeda. Namun, tingkat kesembuhan pada kelompok pristinamycin lebih tinggi dibanding oxacillin, cefuroxime, dan amoxicillin (86,7-91,4%).[3,4,12]

Kesimpulan

Pengobatan impetigo secara topikal dapat dilakukan bila lesi melibatkan satu regio saja, luas area yang sempit dan infeksi yang ringan. Terdapat beberapa pilihan antibiotik topikal yang dapat digunakan pada impetigo dengan kasus tersebut. Meski banyak laporan peningkatan resistensi pada mupirocin dan asam fusidat, kedua obat ini masih dianggap efektif dalam terapi impetigo. Pada kasus resistensi, retapamulin dan ozenoxacin dapat menjadi pilihan terapi, tapi belum ada di Indonesia.[5,6]

Terdapat beberapa pilihan antibiotik untuk pengobatan impetigo secara oral, yang dapat diberikan bila terjadi keterlibatan lesi yang luas, terdapat gejala sistemik, atau tidak merespon baik terhadap pengobatan topikal.[2-5]

Saat ini amoxicillin/clavulanate masih menjadi lini pertama dalam terapi oral impetigo di Indonesia dengan catatan perlu memperhatikan pola resistensi antibiotik terlebih dahulu. Pada kondisi khusus seperti infeksi polimikrobial, pasien anak imunokompromais, infeksi nosokomial, pasien alergi penisilin dengan infeksi bakteri Gram negatif serta bakteri anaerob, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dan clindamycin biasanya diperlukan.[2-5]

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Rainey Ahmad Fajri Putranta

Referensi