Progresivitas Miopia pada Anak-Anak Usia Sekolah Selama Pandemi COVID-19

Oleh :
dr. Friska Debby Anggriany, SpM, MKes

Progresivitas miopia pada anak usia sekolah selama pandemi COVID-19 dikenal dengan istilah quarantine myopia. Pandemi memaksa anak mengurangi kegiatan outdoor  dan melakukan hampir semua kegiatan di dalam rumah termasuk belajar sekolah, sehingga ukuran miopia pada anak meningkat.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Pandemi COVID-19 yang diumumkan WHO sejak tanggal 11 Maret 2020 menyebabkan perubahan pada berbagai sektor kehidupan. Pada September 2020 lebih dari 180 negara di dunia menutup kegiatan belajar di sekolah dan berimbas kepada 80% populasi pelajar di dunia. Pemberlakuan metode pembelajaran jarak jauh (daring atau online learning), physical distancing, penutupan fasilitas rekreasi, dan ketakutan orang tua akan potensi penularan COVID-19 di luar rumah menyebabkan outdoor activity berkurang dan durasi screen time meningkat.[1-3]

Sedangkan diketahui bahwa kegiatan outdoor merupakan faktor yang dapat memperlambat progresifitas miopia pada anak. Bagaimanakah progresivitas dan insidensi miopia pada anak-anak usia sekolah selama pandemi COVID-19? Bagaimanakah peran dokter dalam mengedukasi hal ini?[2-6]

Progresivitas Miopia pada Anak-Anak Usia Sekolah Selama Pandemi COVID-19-min

Sekilas Mengenai Miopia

Miopia atau rabun jauh adalah penyebab utama gangguan penglihatan yang dialami anak-anak usia sekolah di dunia. Lebih dari 80% penduduk Asia Timur mengalami miopia, bahkan prevalensi di Asia Timur dua kali lebih banyak jika dibandingkan di Eropa pada usia yang sama. WHO memperkirakan setengah dari populasi di dunia akan mengalami miopia pada tahun 2050.[7-9]

Miopia berat (> 6 dioptri) menjadi salah satu faktor predisposisi timbulnya penyakit mata yang dapat menyebabkan gangguan mata permanen, misalnya ablatio retina, choroidal neovascularization, stafiloma posterior, dan glaukoma.[10]

Miopia terjadi akibat beberapa faktor di bawah ini :

  • Ukuran bola mata atau axial length lebih panjang dari normal (miopia aksial)
  • Bentuk lensa mata lebih cembung/steep dari normal (miopia refraktif)
  • Faktor lingkungan, termasuk near work yang berlebihan dan aktivitas outdoor yang berkurang
  • Genetik[11]

Progresivitas Miopia Selama Pandemi COVID-19

Studi retrospektif  oleh Aslan et al yang dilakukan tahun 2020 di Turki, menemukan bahwa terjadi progresivitas miopia sebesar 0,71 dioptri pada anak usia 8-17 tahun, jika dibandingkan dengan 3 tahun sebelum pandemi yaitu 0,41-0,54 dioptri.[12]

Studi kohort di Hong Kong yang dilakukan Zhang et al menemukan bahwa insidensi miopia meningkat 19,44% selama 2020 dibandingkan rata-rata insidensi 3 tahun sebelum pandemi. Hal ini dipengaruhi kegiatan outdoor yang berkurang 68% (rata-rata 1,27 jam/hari menjadi 0,41 jam/hari), dan screen time yang meningkat 64,44% (rata-rata 2,45 jam/hari menjadi 6,89 jam/hari).[2]

Sementara penelitian oleh Wang et al menemukan bahwa pada tahun 2020 terjadi pertambahan sferikal ekuivalen dan prevalensi miopia yang signifikan pada anak usia 6-8 tahun. Prevalensi miopia anak usia 6 tahun meningkat 3 kali, usia 7 tahun meningkat 2 kali, dan usia 8 tahun meningkat 1,4 kali lebih tinggi pada tahun 2020. Kesimpulan penelitian ini adalah anak dengan usia lebih muda lebih terdampak dibandingkan anak usia lebih tua.[4]

Edukasi untuk Menurunkan Progresivitas Miopia Selama Pandemi COVID-19

Durasi near work atau membaca, menonton televisi, atau bermain game menggunakan komputer diduga mempengaruhi progresivitas miopia. Penelitian oleh Xiong et al dan He et al mengatakan kegiatan outdoor selama 40‒76 menit/hari menurunkan insidensi miopia sebanyak 23‒50%.[5,13]

Peran dokter dalam memberikan edukasi untuk menurunkan progresivitas miopia selama masa pandemi termasuk kepada para pemegang kebijakan sekolah atau guru dan kepada orang tua.

Edukasi ke Sekolah atau Guru

Memberikan penjelasan kepada para pemegang kebijakan di sekolah atau guru mengenai efek yang ditimbulkan akibat sistem pembelajaran jarak jauh atau daring.  Sistem pembelajaran dianjurkan mengikuti aturan 20-20-20 yang dikeluarkan WHO.[14]

Durasi pembelajaran tidak melebihi 20 menit setiap sesi, dan diselingi jeda istirahat minimal 5 menit untuk mengurangi kelelahan mata yang berpotensi meningkatkan angka kejadian miopia. Dalam sesi pembelajaran yang panjang, guru dapat mengingatkan anak didiknya untuk mengalihkan pandangan dari layar komputer/gawai sekitar 20 detik setelah pembelajaran berlangsung 20 menit.[14]

Edukasi ke Orang Tua

Memberikan penjelasan kepada orang tua membatasi kegiatan rekreasi screen time anak di luar kepentingan sekolah, seperti bermain game atau menonton televisi. Total durasi rekreasi screen time yang dianjurkan adalah <1 jam/hari.[15]

Untuk mengurangi screen time, anak dapat diikutsertakan dalam kegiatan rekreasi lain di rumah, seperti memasak, membersihkan rumah, bermain musik, atau berkebun. Selain itu orang tua perlu disiplin melakukan digital detox, yaitu menghentikan penggunaan gawai jika telah melebihi durasi rekreasi screen time yang telah disepakati bersama anak.[15]

Orang tua sebaiknya mengupayakan kegiatan outdoor 1‒2 jam/hari, yang disesuaikan dengan keamanan dan peraturan terkait kebijakan pencegahan penularan COVID-19 di tempat tinggal masing-masing.[5,13]

Orang tua juga disarankan untuk membawa anak usia sekolah ke dokter spesialis mata untuk pemeriksaan mata rutin setiap 6 bulan sekali.[16]

Kesimpulan

Progresivitas miopia pada anak usia sekolah diketahui meningkat selama pandemi COVID-19. Kondisi ini disebabkan oleh near work yang meningkat sedangkan kegiatan outdoor berkurang. Kerjasama yang baik antara dokter, pihak sekolah/guru, dan orang tua diperlukan sebagai untuk mengendalikan progresivitas miopia pada anak. Miopia yang berat (>6 dioptri) merupakan salah satu faktor predisposisi gangguan mata permanen, seperti ablatio retina, choroidal neovascularization, stafiloma posterior, dan glaukoma.

Upaya pengendalian progresivitas miopia pada anak selama masa pandemi COVID-19 di antaranya online learning dibatasi 20 menit setiap sesi, dan diselingi jeda istirahat minimal 5 menit. Jika sesi pembelajaran perlu lebih panjang, guru harus mengingatkan anak untuk mengalihkan pandangan dari layar gawai sekitar 20 detik setiap pembelajaran 20 menit.

Orang tua harus mengupayakan durasi rekreasi screen time anak total <1 jam/hari. Anak harus diajak kegiatan lain di rumah, seperti memasak, bermain musik, atau berkebun, dan diajak kegiatan outdoor 1‒2 jam/hari. Selain itu, anak sebaiknya dibawa ke dokter spesialis mata untuk pemeriksaan mata rutin setiap 6 bulan sekali.

Referensi