Rekomendasi Pemeriksaan HIV Menurut WHO

Oleh :
dr. Vania Azalia Gunawan

Pemeriksaan HIV adalah bagian penting dari manajemen HIV yang bertujuan untuk mencegah transmisi lebih lanjut, mendiagnosis penyakit sedini mungkin, mencegah komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.[1]

Salah satu rekomendasi pemeriksaan HIV yang dapat digunakan adalah pedoman dari WHO. Menurut pedoman ini, pemeriksaan HIV utamanya dilakukan pada populasi kunci, yaitu kelompok dengan perilaku berisiko tinggi, seperti laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, individu yang menggunakan narkoba suntik, orang di penjara, pekerja seks, dan individu transgender; serta populasi anak yang terpajan dan ibu hamil.[2]

shutterstock_304165361-min

Rekomendasi Pemeriksaan HIV Pada Anak

Pada umumnya, diagnosis infeksi HIV dilakukan dengan pemeriksaan serologi. Pemeriksaan ini dipilih dan direkomendasikan untuk individu berusia di atas 18 bulan. Pemeriksaan serologi terdiri dari pendeteksian antibodi HIV atau antigen p24.[2-5]

Usia 0-18 Bulan

Pada bayi berusia di bawah 18 bulan, pemeriksaan serologi tidak menjadi pilihan utama. Hal ini karena sejak kehamilan trimester ketiga antibodi maternal akan ditransfer secara pasif kepada janin dan akan terdeteksi hingga usia 18 bulan. Penemuan antibodi terhadap HIV pada usia di bawah 18 bulan menegakkan adanya paparan HIV, namun tidak dapat menegakkan adanya infeksi.

Oleh sebab itu, pemeriksaan virologi diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan ini meliputi HIV DNA kualitatif atau HIV RNA kuantitatif, dengan sensitivitas minimal 98% dan spesifitas 98%. HIV DNA kualitatif dianjurkan dapat menggunakan darah plasma EDTA atau dried blood spot (DBS). Bila tidak tersedia, pemeriksaan HIV RNA kuantitatif dapat diilakukan dengan menggunakan bahan plasma EDTA.[2-5]

Antibodi maternal terutama terdeteksi pada 3 bulan pertama. Bila dilakukan pemeriksaan serologi rapid diagnostic test (RDT) pada usia 0-3 bulan, hasil yang positif menegakkan adanya paparan terhadap HIV. Selain itu, pemeriksaan serologi pada ibu juga dapat menjadi alternatif untuk mengetahui adanya paparan HIV.

Pada usia 4 bulan ke atas, antibodi maternal mulai mengalami penurunan yang menyebabkan sensitivitas RDT dalam mendeteksi antibodi hanya mencapai 51,9%. Hasil yang negatif tidak dapat mengeksklusi adanya paparan dan hasil yang positif harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan NAT (nucleic acid test) untuk memastikan adanya infeksi.[3]

Pada usia 9-18 bulan, hasil pemeriksaan RDT negatif dapat digunakan untuk mengeksklusi adanya infeksi. Hal ini berdasarkan hasil beberapa studi yang menunjukkan sensitivitas pemeriksaan serologi yang tinggi (99,8%) dengan nilai false-negative yang rendah. Bila didapatkan hasil yang positif pada RDT, hal ini menegakkan adanya paparan terhadap HIV, sehingga pemeriksaan virologi NAT harus dilakukan selanjutnya untuk mengonfirmasi adanya infeksi dan keperluan terapi antiretroviral (ARV).

Bila ditemukan hasil NAT positif, ARV harus segera dimulai hingga didapat hasil NAT negatif. Bila pemeriksaan serologi positif namun pemeriksaan virologi belum dapat dilakukan atau tidak tersedia, pemantauan klinis ketat dan serologi ulang diperlukan pada usia 18 bulan. Bila didapatkan tanda dan gejala yang diduga akibat infeksi HIV dan pemeriksaan virologi tidak dapat dilakukan, diagnosis presumtif dapat ditegakkan.[3,5,6]

Usia 18 Bulan Ke Atas

Pada populasi usia 18 bulan ke atas, pemeriksaan direkomendasikan menggunakan pemeriksaan serologi, yaitu dengan deteksi antibodi HIV atau antigen p24. Bila ditemukan adanya antibodi terhadap HIV, infeksi dapat ditegakkan karena antibodi maternal seharusnya sudah tidak terdeteksi lagi.[2,3]

Rangkuman Rekomendasi Pemeriksaan HIV Pada Anak dan Remaja

Menurut WHO, rekomendasi pemeriksaan pada anak dan remaja adalah:

  • Bayi di bawah 18 bulan yang terpajan HIV atau pajanan HIV yang tidak pasti, harus diuji dengan tes virologi dalam 4-6 minggu setelah lahir
  • Bayi yang terpajan HIV dengan nucleic acid testing (NAT) yang tidak terdeteksi pada 4-6 minggu harus menjalani tes serologi HIV pada sekitar usia 9 bulan (atau pada saat terakhir kunjungan imunisasi) untuk menyingkirkan infeksi HIV. Bayi dengan tes serologi reaktif pada 9 bulan perlu menjalani tes virologi untuk memastikan status infeksi HIV
  • Pada remaja secara umum, pemeriksaan HIV ditawarkan untuk populasi kunci
  • Pada remaja yang tinggal di area generalized epidemic, pemeriksaan HIV ditawarkan pada seluruh remaja[2]

Table 1. Interpretasi Pemeriksaan Serologi Sesuai Usia

Usia Pemeriksaan Interpretasi Hasil Pemeriksaan Serologi
0-4 bulan

Serologi (+): paparan (+)

Pemeriksaan ibu dapat menjadi alternatif adanya paparan (+)

Pemeriksaan virologi direkomendasikan pada usia 4-6 minggu

5-8 bulan

Serologi (+): paparan (+), konfirmasi dengan pemeriksaan virologi untuk membuktikan adanya infeksi

Bila pemeriksaan virologi tidak tersedia dan anak didapatkan tanda/gejala infeksi HIV, diagnosis presumptif dapat ditegakkan.

 

Serologi (-): paparan (±)

9-18 bulan

Serologi (+): paparan (+), konfirmasi dengan pemeriksaan virologi untuk membuktikan adanya infeksi

Bila pemeriksaan virologi tidak tersedia dan anak didapatkan tanda/gejala infeksi HIV, diagnosis presumptif dapat ditegakkan.

 

Serologi (-): infeksi (-)

≥18 bulan Serologi (+): infeksi (+)

Sumber: dr. Vania, 2021.[3,5]

Anak dengan Risiko Tinggi HIV

Pemeriksaan virologi direkomendasikan pada semua bayi yang terpapar HIV, minimal pada usia 4-6 minggu atau waktu tercepat yang mampu dilaksanakan setelahnya. Perkembangan dan mortalitas yang tinggi dari infeksi HIV pada awal kehidupan mendorong pentingnya diagnosis dan terapi dini HIV pada neonatus. Hasil yang positif pada NAT pertama harus dilanjutkan dengan pemberian ARV segera tanpa menunda untuk menunggu hasil pemeriksaan konfirmasi.[3-6]

Pemeriksaan rutin HIV juga direkomendasikan pada semua anak yang malnutrisi, mengidap infeksi tuberkulosis, rawat inap, atau memiliki tanda dan gejala infeksi HIV. Pemeriksaan pada semua anak yang akan vaksinasi juga menjadi salah satu cara untuk memperbesar kemungkinan menemukan anak terinfeksi secara lebih dini.[4]

Perhatian Khusus

Pada kasus HIV yang terdeteksi saat lahir, besar kemungkinan infeksi terjadi saat masih di dalam uterus. Bila penularan terjadi pada saat persalinan atau masa neonatus, pemeriksaan NAT mendeteksi HIV hanya setelah beberapa hari hingga minggu dari awitan paparan.[3]

Pada bayi usia di atas 9 bulan yang masih mendapatkan ASI, pemeriksaan RDT yang negatif tidak dapat mengeksklusi adanya infeksi. ASI dapat mengandung virus HIV, sehingga penetapan status infeksi HIV baru dapat dikerjakan atau diulang kembali pada akhir masa menyusui, sekitar 6 minggu dari waktu ASI dihentikan. Pemberian ASI tidak perlu dihentikan untuk prosedur diagnostik. Menurut WHO, pemeriksaan serologi pada anak di atas 18 bulan, direkomendasikan untuk dilakukan dalam waktu 3 bulan dari akhir masa menyusui.[3,5]

Penggunaan ARV oleh ibu dapat menyebabkan false negative pada pemeriksaan NAT. Selain itu, pada bayi yang telah mendapat ARV pada usia dini, yakni usia 3-6 bulan, jarang terbentuk antibodi terhadap HIV dan dapat menyebabkan hasil false negative pada pemeriksaan serologi. Oleh karena itu, pemeriksaan serologi sebaiknya tidak digunakan pada bayi yang telah mendapat ARV sebelumnya.[3]

Rekomendasi Pemeriksaan HIV Pada Ibu Hamil

Rekomendasi pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV pada wanita hamil dibedakan berdasarkan prevalensi dari kasus HIV pada populasi. Prevalensi dikatakan tinggi bila ditemukan ≥5% positif dari populasi yang menjalani pemeriksaan.[2]

Ibu Hamil di Area Prevalensi Tinggi

Ibu hamil merupakan populasi target pemeriksaan HIV baik pada daerah dengan prevalensi tinggi maupun rendah. Pemeriksaan HIV PITC (provider initiated testing and counselling) pada area prevalensi tinggi sebaiknya dijadikan komponen rutin perawatan antenatal, persalinan, dan post partum. Dalam setting prevalensi tinggi, ibu menyusui yang HIV-negatif harus diperiksa ulang secara berkala selama periode menyusui.[2-4]

Ibu Hamil di Area Prevalensi Rendah

Pada area prevalensi rendah, PITC dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari perawatan antenatal ibu hamil untuk:

  • Mencegah penularan HIV dari ibu ke anak
  • Mengintegrasikan uji HIV dengan sifilis atau infeksi kunci lain sesuai indikasi di masing-masing daerah.[2]

Rekomendasi Pemeriksaan HIV Pada Dewasa

Pada dewasa, rekomendasi pemeriksaan HIV dibedakan berdasarkan prevalensi infeksi HIV di area pasien tinggal. RDT dapat digunakan untuk meningkatkan layanan tes HIV karena pemeriksaan ini relatif mudah dilakukan oleh penyedia awam terlatih, petugas kesehatan, maupun laboratorium pada berbagai setting dan kemampuan infrastruktur. RDT tidak memerlukan peralatan khusus atau pengumpulan spesimen dengan pungsi vena.

Meski demikian, apabila memungkinkan, pemeriksaan HIV dilakukan dengan immunoassays seperti enzyme immunoassays (EIAs), chemiluminescence immunoassays (CLIAs), dan electrochemiluminescence immunoassays (ECLs). Uji ini memerlukan spesimen serum atau plasma.

Baik pada daerah dengan prevalensi HIV rendah maupun tinggi, 3 macam pemeriksaan diperlukan untuk mendiagnosis infeksi HIV. Pada daerah dengan prevalensi tinggi, diagnosis HIV ditegakkan jika 2 pemeriksaan reaktif. Sementara pada daerah dengan prevalensi rendah, diperlukan 3 pemeriksaan reaktif untuk menegakkan diagnosis HIV.

Pemeriksaan dengan sensitivitas paling tinggi diutamakan sebagai lini pertama. Pemeriksaan lini kedua dan ketiga dianjurkan menggunakan teknik assay yang lebih spesifik untuk mengeksklusi kasus false positive.[2]

Tabel 2. Rekomendasi Pemeriksaan HIV Berdasarkan Prevalensi Populasi

Populasi Prevalensi Tinggi Prevalensi Rendah
Semua orang yang mengunjungi fasilitas kesehatan Semua yang mengunjungi fasilitas kesehatan Orang yang memiliki tanda atau gejala infeksi HIV
Pasangan

Direkomendasikan pada semua pasangan, pada saat:

●       Persiapan menikah

●       Kehamilan

●       Setelah berpisah dengan pasangan

●       Pasangan baru

●       Pada awal terapi ART

 

Bila didapatkan status HIV-negatif,  pemeriksaan disarankan untuk diulang setiap 6-12 bulan

Bila pasangan terdiagnosis HIV, pemeriksaan diagnostik segera direkomendasikan.

Bila didapatkan status HIV-negatif, pemeriksaan disarankan untuk diulang setiap 6-12 bulan.

Keluarga dari pasien yang terdiagnosis HIV Segera setelah anggota keluarga terdiagnosis
Populasi kunci Setiap 6-12 bulan
Ibu hamil

Direkomendasikan pada setiap ibu hamil, pada saat:

●       Kunjungan antenatal pertama

●       Trimester ketiga atau peripartum

 

Pemeriksaan status HIV pada pasangan direkomendasikan.

Kunjungan antenatal pertama
Dewasa

Setiap melakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan.

 

Setiap tahun bila aktif secara seksual maupun memiliki pasangan baru

Usia dewasa yang berasal dari populasi kunci, setiap 6-12 bulan

Sumber: dr.Vania, 2021[2,3]

Populasi dengan Prevalensi Tinggi (≥5%)

Pemeriksaan lini pertama (A1) harus merupakan pemeriksaan dengan nilai sensitivitas tertinggi.  Bila didapatkan hasil nonreaktif, maka spesimen didiagnosis sebagai HIV-negatif.

Hasil yang reaktif pada pemeriksaan pertama (A1+) perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan kedua (A2) menggunakan antigen yang berbeda untuk mencegah adanya reaktivitas silang. Bila didapatkan reaktivitas pada dua pemeriksaan (A1+, A2+), maka diagnosis HIV dapat ditegakkan.

Bila didapatkan hasil pemeriksaan yang berbeda di antara dua pemeriksaan (A1+, A2-), pengulangan pemeriksaan dengan menggunakan spesimen yang sama diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Bila pada pengulangan tetap didapatkan diskrepansi, pemeriksaan ketiga diperlukan untuk mengonfirmasi status HIV.

Bila didapatkan hasil reaktif pada pemeriksaan pertama dan ketiga (A1+, A2-, A3+), maka status HIV tidak dapat disimpulkan atau inkonklusif. Pasien diminta untuk melakukan pemeriksaan ulang setelah 14 hari.

Bila didapatkan hasil nonreaktif pada pemeriksaan kedua dan ketiga (A1+, A2-, A3-), status HIV dianggap sebagai HIV-negatif. Namun, bila pemeriksaan lini pertama merupakan pemeriksaan serologi generasi keempat, pengulangan pemeriksaan setelah 14 hari diperlukan.[2]

Populasi dengan Prevalensi Rendah (<5%)

Pada populasi dengan prevalensi rendah, pemeriksaan lini pertama (A1) juga merupakan pemeriksaan dengan nilai sensitivitas tertinggi.  Bila didapatkan hasil nonreaktif, maka spesimen didiagnosis sebagai HIV-negatif.

Hasil yang reaktif pada pemeriksaan pertama (A1+), harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan kedua (A2) menggunakan antigen yang berbeda untuk mencegah reaktivitas silang

Bila didapatkan hasil pemeriksaan yang berbeda antara dua pemeriksaan (A1+, A2-), pengulangan pemeriksaan dengan menggunakan spesimen yang sama diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Bila pada pemeriksaan pengulangan hasil tetap didapatkan diskrepansi, status spesimen dianggap sebagai HIV-negatif. Namun, bila pemeriksaan lini pertama merupakan uji serologi generasi keempat, ulangi pemeriksaan setelah 14 hari.

Pada daerah dengan prevalensi rendah, hasil reaktif pada 2 pemeriksaan (A1+, A2+) tidak dapat menjadi dasar untuk menentukan status HIV. Uji harus dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi ketiga (A3). Hal ini karena nilai prediksi positif pada 2 pemeriksaan dianggap belum cukup untuk dijadikan dasar diagnosis dan memerlukan uji tambahan untuk konfirmasi.

Hasil reaktif pada tiga pemeriksaan (A1+, A2+, A3+) akan menegakkan status HIV positif. Bila didapatkan hasil nonreaktif pada pemeriksaan ketiga (A1+, A2+, A3-), lakukan pengulangan pemeriksaan setelah 14 hari.[2]

Referensi