Risiko Malformasi Kongenital Pada Ibu Hamil Dengan Asma

Oleh :
dr. Irwan Supriyanto PhD SpKJ

Asma yang tidak terkontrol dan berat selama kehamilan merupakan salah satu faktor risiko untuk outcome fetomaternal yang buruk termasuk malformasi kongenital. Eksaserbasi asma pada kehamilan dan hipoksia maternal dihubungkan dengan terjadinya malformasi kongenital.[1]

Sekitar 45% wanita mengalami eksaserbasi asma selama masa kehamilan, dan sebanyak 62% memerlukan rawat inap akibat serangan asma. Eksaserbasi asma paling sering terjadi antara usia kehamilan 24–36 minggu. Morbiditas dan mortalitas pada ibu hamil dengan asma lebih tinggi dibandingkan populasi umum.[1,2]

Risiko Malformasi Kongenital pada Ibu Hamil dengan Asthma-min

Asma pada kehamilan menyebabkan peningkatan komplikasi maternal, seperti preeklamsia dan hipertensi pada kehamilan. Komplikasi pada janin juga meningkat, antara lain berat badan lahir rendah, kelahiran preterm, intrauterine growth restrtiction (IUGR), dan kelainan kongenital. Selain itu, dapat terjadi peningkatan morbiditas neonatus yang berhubungan dengan transient tachypnoea of newborn, perawatan di ruang intensif, dan kejang.[2,3]

Tujuan utama terapi asma selama kehamilan adalah untuk mengontrol gejala asma dan mencegah hipoksia. Pilihan farmakoterapi untuk asma pada ibu hamil adalah short-acting beta2-agonists (SABA), misalnya salbutamol, inhaled corticosteroids (ICS), misalnya budesonide, dan long-acting beta2-agonists (LABA), misalnya salmeterol. SABA banyak digunakan sebagai reliever untuk meredakan serangan asma, sedangkan ICS banyak digunakan sebagai controller asma selama kehamilan.[3,4]

Penggunaan obat-obatan asma selama kehamilan diduga berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya malformasi kongenital, seperti orofacial cleft, malformasi jantung, spina bifida, defek kongenital pada sistem pernapasan, dan atresia. Banyak penelitian dilakukan untuk menilai profil keamanan farmakoterapi asma pada kehamilan dan menilai risiko malformasi kongenital yang ditimbulkannya.[1]

Rekomendasi farmakoterapi asma pada kehamilan adalah penggunaan obat dengan dosis efektif paling rendah yang dapat mengendalikan gejala-gejala asma. Risiko bahaya kesehatan bagi janin akibat asma yang tidak terkontrol lebih merugikan dibandingkan risiko yang mungkin terjadi akibat pemakaian obat-obatan asma.[4,5]

Hubungan Asma pada Ibu Hamil dengan Malformasi Kongenital

Studi oleh Blais et al tahun 2015 menunjukkan bahwa hanya eksaserbasi asma yang berat  yang berhubungan dengan peningkatan risiko yang signifikan untuk terjadinya malformasi kongenital.[6]

Hal ini terutama karena derajat asma yang lebih berat berhubungan dengan hipoksia yang lebih berat dan farmakoterapi yang lebih agresif. Bahkan dilaporkan bahwa malformasi kongenital dan outcome perinatal yang buruk berhubungan dengan peningkatan derajat keparahan asma atau penurunan tingkat pengendalian asma.[6]

Pada tahun 2020, studi kohort oleh Abdullah et al mendapatkan eksaserbasi asma pada kehamilan meningkatkan risiko terjadinya malformasi kongenital sebesar 1,21 kali. Persentase malformasi kongenital pada kelompok yang mengalami eksaserbasi asma selama kehamilan adalah 6,2%, sedangkan pada kelompok yang tidak mengalami eksaserbasi asma adalah 4,97%.[3]

Hingga saat ini, belum diketahui secara pasti mekanisme yang menghubungkan asma dengan malformasi kongenital. Namun, diduga hal ini disebabkan oleh asma yang mengakibatkan hipoksia dan kelainan gas darah lainnya, inflamasi, gangguan fungsi plasenta, disrupsi pembuluh darah, atau akibat penggunaan obat-obatan asma.[7]

Keamanan Obat-Obat asma pada Kehamilan

Selain faktor eksaserbasi asma dan gejalanya, obat-obatan yang digunakan untuk mengendalikan asma selama kehamilan diperkirakan juga ikut menyumbang risiko timbulnya malformasi kongenital. Obat asma yang banyak diteliti terhadap risiko malformasi kongenital, di antaranya ICS, SABA dan LABA.

Studi kohort oleh Garne et al pada tahun 2016 mencari risiko malformasi kongenital akibat obat-obatan asma yang digunakan pada trimester 1 kehamilan. Studi ini menemukan risiko malformasi kongenital mayor adalah sebesar 1,21 kali, setelah dilakukan penyesuaian terhadap faktor perancu berupa usia maternal dan status sosioekonomi.[8]

Risiko terjadinya atresia ani didapatkan meningkan sebanyak 3,4 kali pada pasien yang menerima ICS. Risiko kelainan jantung kongenital didapatkan meningkat sebanyak 1,97 kali akibat konsumsi ICS dan LABA, sedangkan penggunaan SABA dihubungkan dengan peningkatan risiko displasia ginjal sebesar 2,37 kali. Penggunaan LABA saja tidak berhubungan signifikan dengan malformasi kongenital apapun.[8]

Hasil dari beberapa studi observasional lain menemukan bahwa penggunaan ICS berhubungan bermakna dengan kelainan kongenital. Hubungan didapatkan lebih kuat jika dosis ICS yang digunakan lebih besar, atau jika pasien mendapatkan kombinasi ICS dan LABA.[1,8,9]

Asma sendiri dapat menyebabkan luaran klinis yang kurang baik pada kehamilan, sehingga gejala asma yang lebih buruk membutuhkan dosis obat yang lebih tinggi atau kombinasi obat. Hal ini mungkin dapat menjelaskan hubungan di atas.[1,8,9]

Hasil berbeda didapatkan dari studi oleh Kallen et al pada tahun 2014 yang menilai risiko malformasi kongenital pada wanita hamil yang menggunakan obat-obatan asma pada trimester 1 kehamilan. Hasil studi mendapatkan risiko malformasi meningkat, tetapi hanya sedikit, pada wanita yang mengonsumsi obat-obatan asma. Peningkatan risiko didapatkan sebesar 1,09 kali, dan terutama terjadi pada defek kardiovaskular, sumbing pada palatum medial, dan stenosis pylorus.[10]

Studi ini menyimpulkan bahwa penggunaan obat-obatan asma selama kehamilan berisiko rendah mengakibatkan malformasi kongenital, dan terdapat bukti bahwa peningkatan risiko mungkin lebih berhubungan dengan adanya asma itu sendiri. Ketakutan akan potensi teratogenisitas obat-obatan asma sebaiknya tidak menghalangi penggunaan obat-obatan untuk mengontrol asma dengan adekuat selama kehamilan.[10]

Studi kohort di tahun 2015 oleh Charlton et al menemukan bahwa penggunaan ICS fluticasone tidak berhubungan dengan peningkatan risiko timbulnya malformasi kongenital, baik pada pasien dengan asma sedang maupun berat . Studi ini menggunakan ibu hamil dengan asma sebagai kelompok kontrol, sehingga hasil penelitian mereka bisa memisahkan antara malformasi akibat asma dan akibat terapi asma.[11]

Selain digunakan sebagai modalitas tunggal, SABA/LABA dan ICS dapat digunakan dalam bentuk kombinasi. Charlton et al dalam penelitiannya juga menganalisis kombinasi antara fluticasone dan salmeterol dan menemukan bahwa penggunaan obat asma secara kombinasi tidak meningkatkan risiko malformasi kongenital.[11]

Studi yang lebih baru mendapatkan hasil serupa. Studi oleh Howley et al pada tahun 2020 yang menggunakan data dari National Birth Defects Prevention Study (NBDPS). Studi ini bertujuan menilai hubungan obat-obatan asma selama kehamilan dengan 52 kelainan kongenital.[7]

Hasil yang didapatkan adalah penggunaan obat-obatan asma selama kehamilan tidak berhubungan dengan sebagian besar kelainan kongenital. Terdapat risiko sedang untuk terjadinya sumbing, defisiensi ekstremitas, dan truncus arteriosus, yang dihubungkan dengan pemakaian bronkodilator. Studi tersebut mendukung pengobatan asma secara adekuat selama kehamilan.[7]

Efek Teratogenik Obat-Obatan Asma

Teratogenisitas dari SABA, LABA, dan ICS masih belum diketahui secara pasti, tetapi terdapat beberapa hipotesis. Sebagian ICS yang memasuki sirkulasi sistemik diduga dapat menembus plasenta, sehingga mencapai janin. Tingkat difusi beberapa jenis kortikosteroid, misalnya fluticasone dan budesonide, lebih cepat dibandingkan jenis lainnya.[12]

Kortikosteroid terbukti dapat memengaruhi aktivitas aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA), yang bisa mengakibatkan perubahan endokrin dan metabolik pada janin. Meskipun kortikosteroid dibutuhkan pada diferensiasi dan pertumbuhan sel, tetapi dosis suprafisiologi justru akan mengganggu proses ini.[12]

Efek teratogenik dari LABA diduga berhubungan dengan kemampuannya menyebabkan peningkatan fungsi kortikosteroid. LABA dapat meningkatkan efek gen transkripsi kortikosteroid, sehingga meningkatkan efek teratogenik kortikosteroid.[12]

Penggunaan SABA secara umum dinyatakan cukup aman. Studi-studi yang menyatakan hal berlawanan biasanya melibatkan sampel yang kecil atau tidak melakukan penyesuaian terhadap derajat asma, sehingga bukti yang dihasilkan kurang kuat. Namun, studi lanjut tetap dibutuhkan untuk memastikan risiko malformasi kongenital akibat penggunaan SABA pada kehamilan.[13]

Rekomendasi GINA untuk Tata Laksana Asma dalam Kehamilan

Manfaat tata laksana asma pada kehamilan lebih besar daripada potensi berbahaya yang mungkin ditimbulkan oleh obat-obatan asma bagi janin. Oleh sebab itu, penggunaan obat-obatan dalam mengontrol eksaserbasi asma direkomendasikan, meskipun bukti klinis mengenai keamanannya belum konklusif.

Berdasarkan pedoman dari Global Initiative for Asthma (GINA) 2019, asma dengan gejala ringan, dapat diterapi dengan kombinasi ICS dan LABA inhalasi setiap hari. Penggunaan ICS dapat menurunkan risiko eksaserbasi, dan penghentian ICS merupakan faktor risiko terjadinya eksaserbasi. Ketika terjadi eksaserbasi, berikan SABA, oksigen, dan kortikosteroid sistemik. Terapi secara agresif diperlukan untuk mencegah terjadinya hipoksia pada janin.[14]

Kesimpulan

Asma pada kehamilan merupakan faktor risiko untuk outcome perinatal yang buruk. Hal ini umumnya disebabkan oleh gangguan oksigenasi. Mengingat besarnya dampak asma yang tidak terkendali terhadap ibu dan fetus, maka direkomendasikan penggunaan obat-obatan untuk mengendalikan asma selama kehamilan.

Serangan asma dan penggunaan obat-obat untuk mengendalikan asma selama kehamilan berisiko menimbulkan malformasi kongenital. Karena itu direkomendasikan untuk menggunakan dosis efektif paling rendah yang bisa mengendalikan gejala asma.

Terapi asma sesuai dengan rekomendasi GINA dapat diberikan selama kehamilan. Kombinasi ICS dan SABA dapat digunakan untuk asma ringan. Eksaserbasi asma harus diterapi dengan agresif untuk mencegah hipoksia. Terapi dapat menggunakan SABA inhalasi, oksigen, dan kortikosteroid sistemik.

 

 

Direvisi oleh: dr. Livia Saputra

Referensi