Terapi Topikal Vs Sistemik untuk Bisul atau Folikulitis Bakterial

Oleh :
dr. Erika Gracia

Kapan bisul atau folikulitis bakterial cukup diberikan terapi topikal, dan kapan harus diterapi sistemik? Kasus folikulitis umumnya dapat sembuh dengan sendirinya, tetapi tidak jarang infeksi berkembang menjadi furunkel atau karbunkel.  Terapi folikulitis bakterial kadang cukup menggunakan antibiotik topikal, tetapi jika menjadi bisul, baik furunkel maupun karbunkel, maka dibutuhkan antibiotik sistemik untuk mencegah komplikasi.[1-4]

Komplikasi berat, seperti selulitis atau limfadenitis, dapat terjadi pada pasien dengan imunodefisiensi. Selain itu, komplikasi juga dapat karena kasus berat yang tidak mendapatkan tata laksana, sehingga sebelum menentukan rencana perawatan maka dokter penting untuk mempertimbangkan etiologi, tingkat keparahan, dan distribusi folikulitis.[1-4]

Terapi Topikal Vs Sistemik untuk Bisul atau Folikulitis Bakterial-min

Gambaran Lesi Folikulitis, Furunkel, dan Karbunkel

Folikulitis, furunkel, dan karbunkel merupakan infeksi bakteri yang lazim ditemukan secara global. Selain menimbulkan rasa yang tidak nyaman terutama bila infeksi terjadi pada lipatan tubuh yang sering bergesekan saat beraktivitas, adanya infeksi bakteri pada kulit pada area tubuh dan wajah dapat menimbulkan keluhan secara kosmetik, dan mempengaruhi kualitas hidup seseorang.[3,4]

Folikulitis

Folikulitis adalah inflamasi folikel rambut yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, cedera, atau iritasi. Folikulitis ditandai dengan nyeri, kemerahan, dan bengkak di sekitar folikel rambut. Umumnya, folikulitis ditemukan pada area leher, payudara, dan wajah.[1-3]

Furunkel dan Karbunkel

Furunkel adalah lesi kulit berisi nanah/pus yang terjadi ketika infeksi di sekitar folikel rambut menyebar lebih dalam. Biasanya furunkel terletak di daerah pinggang, lipat paha, bokong, dan bawah lengan.[1-3]

Sedangkan karbunkel adalah kumpulan dua atau lebih furunkel, yang biasanya ditemukan di bagian belakang leher atau paha. Karbunkel Secara klinis tampak sebagai nodul kemerahan, nyeri, dapat berfluktuasi, dan kadang memiliki beberapa saluran sinus yang mengeluarkan nanah ke permukaan kulit.[1-3]

Penyebab Folikulitis, Furunkel, dan Karbunkel

Umumnya, folikulitis disebabkan oleh karena infeksi bakteri Staphylococcus aureus. Infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), yang bersifat endemis pada negara tertentu, cenderung lebih sulit dan memiliki tingkat rekurensi yang tinggi. Walaupun lebih jarang terjadi, infeksi juga bisa disebabkan oleh bakteri lainnya (Pseudomonas, Klebsiella, dan Enterobacter), jamur (Malassezia), virus (Herpes), dan tungau (scabies, demodex).[1,5,6]

Perawatan Folikulitis, Furunkel, dan Karbunkel

Systematic review yang menganalisis 18 penelitian uji acak terkontrol dengan 1300 partisipan menyatakan bahwa 36% folikulitis bersifat kronis atau lebih dari 3 bulan. Setidaknya 61% partisipan mengalami furunkel dan karbunkel, 47% diantaranya menerima tindakan insisi. Durasi pemberian obat oral dan topikal beragam, mulai dari 3 hari hingga 6 minggu, dengan durasi follow up 3 hari hingga 6 bulan.[4]

Namun, dari semua penelitian uji acak terkontrol yang diteliti, tidak ada yang membandingkan pemberian antibiotik topikal dengan antiseptik topikal, maupun antibiotik topikal dibandingkan antibiotik sistemik.[4]

Nonfarmakologis

Folikulitis superfisial dan ringan dapat hilang dengan sendirinya, dalam waktu 7− 10 hari. Perawatan nonfarmakologis utama adalah menjaga higienitas dengan baik, baik untuk mempercepat masa penyembuhan maupun untuk mengurangi rekurensi.[1]

Sedangkan studi pada tahun 2007 menunjukkan penggunaan sabun antibakteri yang mengandung triclosan tidak lebih efektif daripada sabun biasa, baik dalam mencegah penyakit kulit menular maupun mengurangi populasi bakteri pada tangan. Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bukti resistensi silang akibat sabun antibakteri ini. Sehingga Food and Drug Administration (FDA) sejak tahun 2014 mengemukakan kekhawatiran khusus penggunaan sabun antibiotik ini.[7,8]

Pada lesi yang lebih meradang dapat juga dilakukan kompres hangat beberapa kali sehari selama 15 menit. Pasien juga perlu diinfokan untuk tidak menggaruk atau mencukur daerah yang bersangkutan karena dapat menyebabkan iritasi dan berpotensi menyebarkan agen penyebab.[1,7]

Pembedahan:

Insisi dan drainase saja mungkin cukup untuk mengatasi folikulitis dan furunkel sederhana. Pada lesi yang dalam, kompres hangat yang diikuti dengan tindakan insisi dan drainase dengan anestesi lokal dapat dipertimbangkan.[1,7]

Farmakologi Topikal

Antibiotik topikal lini pertama yang dapat diberikan adalah mupirosin dan klindamisin. Penatalaksanaan dengan mupirocin topikal dapat diberikan 3 kali sehari selama 5‒7 hari. Sedangkan klindamisin topikal diaplikasi 1‒2 kali sehari, dan dievaluasi  setelah penggunaan 6‒8 minggu.[9,10]

Farmakologi Sistemik

Lesi refrakter adalah lesi yang tidak mengalami perbaikan setelah diberikan penatalaksanaan topikal selama 10 hari. Pemberian antibiotik sistemik perlu mencakup patogen Staphylococcus aureus karena merupakan patogen yang paling umum, sehingga dicloxacillin atau sefalosporin adalah pilihan terapi awal.

Dosis yang diberikan adalah:

  • Dicloxacillin: dosis 250‒500 mg, diberikan 4 kali sehari, selama 7‒10 hari

  • Cephalexin: dosis 250‒500 mg, diberikan 4 kali sehari, selama 7‒10 hari [1]

Perawatan Bisul atau Infeksi Kulit Berat

Pemberian antibiotik sistemik direkomendasikan untuk bisul atau infeksi kulit yang berat. Kriteria infeksi kulit berat adalah abses pada pasien dengan penyakit sistemik atau komorbiditas seperti imunosupresi, abses pada daerah yang sulit untuk di drainase (wajah, tangan, dan genitalia), flebitis septik, dan abses yang kurang responsif terhadap insisi dan drainase.[2]

Pemeriksaan swab kultur juga dapat dilakukan untuk menentukan antibiotik yang tepat, karena adanya pola resistensi mikroba beragam sesuai dengan lokasi geografis.[2]

Penatalaksanaan Infeksi MRSA

Selain debridemen bedah dan pemberian antibiotik spektrum luas, pasien rawat inap dengan infeksi berat perlu dipertimbangkan untuk terapi empiris MRSA, sambil menunggu hasil kultur. Bila hasil kultur mengarah pada organisme resisten methicillin, maka pilihan antibiotik dapat doxycycline atau clindamycin, dengan dosis:

  • Doxycycline: dosis 100 mg, diberikan 2 kali sehari, selama 14 hari

  • Clindamycin: dosis 450 mg, diberikan 3 kali sehari, selama 14 hari [2]

Antibiotik injeksi seperti cefazolin dapat dipertimbangkan pada pasien rawat inap dengan selulitis nonpurulen. Pasien rawat inap dengan MRSA perlu diisolasi dari pasien lain.[2]

Pencegahan Rekurensi Folikulitis, Furunkel, dan Karbunkel

Langkah preventif untuk mengurangi tingkat rekurensi penyakit adalah dengan memberikan edukasi cara menjaga kebersihan dan perawatan luka. Luka perlu dijaga agar tetap kering, cuci tangan rutin sebelum dan setelah merawat luka, serta hindari penggunaan alat personal seperti pisau cukur atau handuk dengan orang lain. Selain itu, folikulitis lebih sering ditemukan pada seseorang yang mengalami obesitas sehingga menjaga berat badan ideal juga dapat membantu.[2]

Kesimpulan

Folikulitis merupakan infeksi folikel rambut yang umumnya disebabkan oleh bakteri. Sebagian besar folikulitis dapat membaik dengan sendirinya, tetapi ada yang berkembang menjadi bisul (furunkel atau karbunkel). Sebuah systematic review tahun 2021 menganalisis 18 uji acak terkontrol yang meneliti folikulitis yang bersifat kronis atau lebih dari 3 bulan. Dari semuanya uji yang telah dilakukan, tidak ada yang membandingkan pemberian antibiotik topikal dengan antiseptik topikal, maupun antibiotik topikal dibandingkan antibiotik sistemik.

Sementara, FDA sejak tahun 2014 mengemukakan kekhawatiran khusus penggunaan sabun antibiotik. Berdasarkan studi, penggunaan sabun antibakteri yang mengandung triclosan tidak lebih efektif daripada sabun biasa, baik dalam mencegah penyakit kulit menular maupun mengurangi populasi bakteri pada tangan. Bahkan sabun jenis ini menunjukkan bukti resistensi silang.

Pedoman perawatan bisul yang dilakukan saat ini adalah menjaga higienitas untuk lesi ringan. Pada lesi yang lebih meradang, kompres hangat dan pemberian antibiotik topikal seperti mupirosin dan klindamisin dapat dipertimbangkan. Sedangkan untuk lesi dengan infeksi yang dalam dan cenderung refrakter, dapat dilakukan tindakan insisi dan drainase pus. Pemberian antibiotik sistemik direkomendasikan jika penyakit berat atau disertai komorbiditas. Pemeriksaan swab kultur diperlukan untuk menentukan antibiotik sistemik yang tepat.

Referensi