Urinalisis vs Kultur Urine untuk Mendiagnosis Infeksi Saluran Kemih Anak

Oleh :
dr. Audiza Luthffia

Urinalisis sering dilakukan untuk mendiagnosis infeksi saluran kemih (ISK) pada anak karena pemeriksaan kultur urine tidak selalu tersedia. Kedua tes ini memiliki peranan penting dalam diagnosis ISK karena manifestasi klinis ISK pada anak sering kali tidak spesifik dan anak biasanya tidak mampu mengutarakan keluhan.

Infeksi saluran kemih merupakan salah satu infeksi yang paling sering terjadi pada anak dan merupakan penyebab 6–14% kunjungan populasi anak ke unit gawat darurat. Diagnosis ISK harus dipertimbangkan pada anak yang mengalami demam, khususnya jika tidak ditemukan fokus infeksi lain. Penegakkan diagnosis serta penatalaksanaan yang tepat dapat menurunkan morbiditas penyakit ini.[1-3]

shutterstock_1551054782-min

Urinalisis sebagai Metode Skrining Infeksi Saluran Kemih Anak

Urinalisis meliputi tes dipstick dan pemeriksaan mikroskopis. Tes dipstick bisa dilakukan di bedside, bersifat cepat, praktis, dan relatif murah. Tes ini bisa dilakukan di hampir seluruh fasilitas kesehatan, sehingga cocok digunakan sebagai metode skrining ISK.

Hasil dipstick juga tidak dipengaruhi oleh sampel urine yang terkontaminasi, misalnya akibat metode koleksi urine yang menggunakan bag atau pads. Parameter tes dipstick yang digunakan untuk skrining ISK adalah adanya nitrit dan leukosit esterase.[1,3,4]

Kelebihan dan Kekurangan Tes Nitrit pada Dipstick

Nitrat yang berasal dari makanan akan direduksi oleh enzim nitrat reduktase menjadi nitrit di saluran kemih. Enzim ini diproduksi oleh bakteri-bakteri gram negatif, contohnya Escherichia, Klebsiella, dan Pseudomonas. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada ISK yang disebabkan oleh patogen yang tidak menghasilkan enzim nitrit reduktase. Selain itu, hasil negatif palsu juga bisa terjadi pada pH urine yang rendah atau pada pasien yang hanya mengonsumsi sedikit nitrat dalam dietnya.

Frekuensi berkemih yang sering juga bisa menyebabkan nitrit tidak terdeteksi pada urine karena bakteri gram negatif membutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk mereduksi nitrat menjadi nitrit. Studi menunjukkan bahwa dalam mendiagnosis ISK anak, nitrit memiliki spesifisitas 98% tetapi memiliki sensitivitas yang rendah, yaitu 49%.[1,2,4-6]

Kelebihan dan Kekurangan Tes Leukosit Esterase pada Dipstick

Pemeriksaan leukosit esterase mendeteksi enzim esterase yang terkandung dalam leukosit polimorfonuklear. Hasil yang positif mengindikasikan pyuria yang berkorelasi dengan inflamasi dan infeksi. Namun, hasil positif tidak spesifik terhadap ISK karena pyuria dapat terjadi tanpa infeksi (pyuria steril). Pada anak usia >2 tahun, pyuria steril dapat disebabkan oleh penyakit Kawasaki, gastroenteritis, dan appendicitis.

Hasil negatif palsu dapat ditemukan pada kondisi glukosuria, kondisi ketonuria, serta pada kondisi di mana konsentrasi leukosit dalam urine rendah. Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas 78% dengan sensitivitas 83–87%.[2,3,5]

Kombinasi Tes Nitrit dan Leukosit Esterase pada Dipstick

Meskipun nitrit dan leukosit esterase tidak sepenuhnya spesifik dan sensitif untuk diagnosis ISK, kombinasi keduanya bisa bermanfaat untuk skrining ISK. Namun, tes dipstick tidak dapat sepenuhnya diandalkan pada anak usia muda. Frekuensi berkemih yang lebih sering pada anak usia lebih muda dapat membilas nitrit dan leukosit dari kandung kemih, sehingga tidak terdeteksi pada pemeriksaan.

Tabel berikut memuat rangkuman sensitivitas dan spesifisitas tes nitrit dan leukosit esterase bila dilakukan secara terpisah dan bila dilakukan bersama. Namun, perlu diingat bahwa angka yang berbeda bisa dilaporkan oleh studi yang berbeda.[1,2,4,7]

Tabel 1. Sensitivitas dan Spesifisitas Tes Nitrit dan Leukosit Esterase

Tes Sensitivitas Spesifisitas
Nitrit 49% 98%
Leukosit esterase 83–87% 78%
Kombinasi keduanya 93% 72%

Sumber: dr. Audiza Luthffia, Alomedika, 2021.[2]

Pemeriksaan Mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk mendeteksi pyuria dan bakteriuria dengan mengidentifikasi leukosit dan bakteri pada sampel urine. Bakteriuria memiliki sensitivitas yang lebih tinggi daripada pyuria. Jika keduanya teridentifikasi, kemungkinan ISK akan menjadi semakin kuat. Temuan pada pemeriksaan mikroskopis juga memperkuat temuan pada uji dipstick.[1,3,4,8]

Kultur Urine sebagai Baku Emas Diagnosis Infeksi Saluran Kemih Anak

Kultur urine kuantitatif merupakan standar baku emas untuk diagnosis ISK. Urine yang diekskresikan bersifat steril, sehingga adanya bakteri pada urine yang didukung oleh tanda-tanda infeksi menguatkan diagnosis ISK. Sampel urine dibiakkan dalam media tumbuh dan dievaluasi dalam waktu 24 jam.

Kelebihan Kultur Urine

Bukti menunjukkan bahwa kultur sampel urine yang berasal dari kateterisasi uretra memiliki sensitivitas 95% dan spesifisitas 99%. Selain itu, kultur juga dapat menilai sensitivitas bakteri terhadap antibiotik untuk membantu menentukan terapi.[1-3,5]

Kekurangan Kultur Urine

Pengambilan sampel untuk kultur urine pada anak memiliki tantangan tersendiri karena sampel yang terkontaminasi bisa memengaruhi hasil kultur. Saat ini mayoritas pedoman internasional merekomendasikan kateterisasi uretra dan aspirasi suprapubik sebagai baku emas untuk koleksi sampel kultur urine.

Aspirasi suprapubik memiliki risiko kontaminasi terendah (1%), sedangkan kateterisasi uretra memiliki risiko kontaminasi 10%. Namun, kedua metode ini memiliki kekurangan, yaitu bersifat invasif dan bisa menyebabkan trauma pada anak. Teknik noninvasif dapat menjadi alternatif tetapi memiliki risiko kontaminasi yang lebih tinggi, yaitu 50–60% pada metode penampungan dengan bags/pads dan 25% pada metode clean catch.

Selain itu, metode noninvasif sulit dilakukan pada anak yang belum mampu berkemih sendiri (prakontinensia). Kontaminasi pada sampel urine patut dicurigai apabila pada hasil kultur ditemukan lebih dari satu spesies bakteri.[1,4,8,9]

Untuk diagnosis ISK, European Association of Urology (EAU) menetapkan nilai ambang batas koloni bakteri 10.000 CFU/mL untuk urine pancar tengah pada anak simtomatik, 100.000 CFU/mL untuk urine pancar tengah pada anak asimtomatik, 1.000–50.000 CFU/mL untuk urine yang berasal dari kateterisasi uretra, dan minimal 10 koloni identik pada aspirasi atau pungsi suprapubik.[8,10]

Urinalisis, Kultur Urine, atau Kombinasi Keduanya?

Menurut pedoman yang ada, idealnya diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan kombinasi hasil urinalisis dan kultur urine. Pertumbuhan bakteri pada kultur urine yang didukung dengan pyuria sebagai tanda inflamasi dan nitrit pada urinalisis adalah kriteria diagnosis ISK yang ditetapkan oleh American Association of Pediatrics dan Canadian Paediatric Society.

Kombinasi dari kedua pemeriksaan tersebut dapat menguatkan diagnosis ISK dan menyingkirkan kemungkinan pyuria steril dan bakteriuria asimtomatik. Bakteriuria asimtomatik merupakan kondisi di mana terdapat bakteri pada kultur urine tanpa pyuria pada uji dipstick dan tanpa gejala klinis infeksi.[2,3,5,11]

Namun, urinalisis maupun kultur urine tidak dapat dijadikan satu-satunya pertimbangan dalam diagnosis ISK. Anamnesis dan pemeriksaan fisik tetap perlu dipertimbangkan pada anak semua usia. Urinalisis direkomendasikan untuk semua pasien anak dengan gejala yang sesuai dengan ISK atau pada anak dengan keluhan demam tanpa fokus infeksi yang jelas.

Jika hasil urinalisis mendukung ISK, kultur urine wajib dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis. Namun, jika urinalisis tidak mendukung ISK dan ditemukan fokus infeksi lain dari anamnesis atau pemeriksaan fisik, kultur urine tidak wajib dilakukan.[1,2,5,8]

Kultur urine memang diperlukan untuk mengonfirmasi diagnosis tetapi antibiotik empiris dapat diinisiasi tanpa menunggu hasil kultur, dengan syarat sampel untuk kultur urine sudah diambil. Sebaliknya, adanya koloni bakteri yang terdeteksi pada kultur urine tetapi tidak disertai gejala ISK atau tanda inflamasi pada uji dipstick tidak memenuhi kriteria diagnosis ISK dan tidak perlu mendapat antibiotik.[1,2,5]

Kesimpulan

Diagnosis infeksi saluran kemih (ISK) harus dipertimbangkan pada anak-anak dengan keluhan demam tanpa fokus infeksi yang jelas. Mayoritas pedoman internasional menganjurkan urinalisis dan kultur urine untuk dilakukan secara kombinasi. Urinalisis memiliki manfaat sebagai uji skrining karena sifatnya yang cepat, praktis, dan dapat dilakukan pada seluruh sampel urine dari berbagai metode koleksi. Selain urinalisis, alat tes pada popok juga telah dikembangkan untuk skrining ISK pada anak.

Jika gejala dan hasil urinalisis mendukung diagnosis ISK, kultur urine sebagai baku emas diagnosis ISK idealnya dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis dan mengetahui pola sensitivitas antibiotik. Namun, anak memerlukan metode koleksi urine yang invasif untuk mendapatkan sampel kultur dengan risiko kontaminasi yang rendah. Hal ini menjadi keterbatasan kultur urine.

Berbagai penelitian saat ini juga masih terus mempelajari apakah antibiotik tertentu perlu diresepkan untuk profilaksis ISK berulang pada neonatus dan anak-anak.

Referensi