Warfarin vs Novel Oral Anticoagulant dalam Risiko Fraktur Osteoporosis

Oleh :
dr.Farhanah Meutia, SpJP (K),FIHA

Bukti ilmiah yang ada menunjukkan bahwa pasien lanjut usia yang mengonsumsi warfarin dalam waktu lama mengalami peningkatan risiko fraktur akibat osteoporosis. Saat ini, novel oral anticoagulant (NOAC) telah digunakan sebagai obat antikoagulan alternatif, sehingga berbagai penelitian dilakukan untuk membandingkan risiko fraktur osteoporosis antara warfarin dan NOAC.

Antikoagulan digunakan untuk pencegahan kejadian tromboemboli dan stroke pada berbagai kondisi klinis, misalnya atrial fibrilasi. Beberapa studi menunjukkan adanya efek obat antikoagulan terhadap jaringan tulang.[1]

shutterstock_523868419

Obat golongan NOAC di antaranya dabigatran, rivaroxaban, apixaban, dan edoxaban. NOAC terbukti tidak inferior daripada antagonis vitamin K (seperti warfarin), yang bahkan lebih superior dalam hal pencegahan stroke, emboli sistemik, dan komplikasi perdarahan mayor. NOAC dilaporkan tidak mempengaruhi sintesis osteocalcin[3]

Pengaruh Warfarin terhadap Metabolisme Tulang, Bone Mineral Density, dan Risiko Fraktur

Data yang dikeluarkan oleh The National Registry of Atrial Fibrillation II (NRAF II) menyatakan bahwa dari 14.564 pasien atrial fibrilasi yang mendapat terapi warfarin, sebanyak 25% pasien menunjukkan peningkatan risiko fraktur osteoporosis. Hubungan antara fraktur osteoporosis dengan penggunaan warfarin jangka panjang terlihat signifikan terutama pada laki–laki.[2]

Namun, pada pasien yang menerima terapi warfarin <1 tahun, risiko fraktur osteoporosis dilaporkan tidak meningkat signifikan. Antagonis vitamin K, seperti warfarin, bekerja dengan menghambat vitamin K epoxide reductase. Hal ini menyebabkan terjadinya proses karboksilasi dari residu asam glutamat, tidak hanya pada faktor–faktor koagulasi seperti faktor II, VII, IX, dan X, namun juga pada osteocalcin.[2]

Osteocalcin dibentuk dan sebagian dikarboksilasi oleh vitamin K-dependent gamma-glutamyl carboxylase, yang terletak di osteoblast. Produk yang dihasilkan adalah carboxylated osteocalcin (Gla-Oc) yang terikat dengan hydroxyapatite tulang dan terakumulasi pada matriks tulang. Produk osteocalcin yang tidak terkarboksilasi sempurna (incomplete gamma-carboxylated form)  atau Glu-Oc, mempunyai afinitas yang rendah terhadap matriks tulang.[1]

Glu-Oc juga mampu masuk ke peredaran darah dan berikatan dengan sel β pankreas, sehingga mendorong sekresi insulin dan mempengaruhi metabolisme glukosa. Beberapa studi terkait bone mineral density (BMD) menunjukkan bahwa pasien–pasien yang menggunakan antagonis vitamin K mengalami penurunan BMD.[1]

Terapi warfarin jangka panjang juga dihubungkan dengan penurunan kadar mineral tulang dan kalsifikasi pembuluh darah pada pasien hipertensi usia 60–80 tahun. Namun, durasi paparan warfarin hingga menimbulkan peningkatan risiko fraktur masih belum diketahui.[1,4]

Pengaruh NOAC terhadap Metabolisme Tulang, Bone Mineral Density, dan Risiko Fraktur

Rivaroxaban dilaporkan menghambat tahap awal dari pembentukan tulang. Namun, efek ini tidak berlanjut pada tahap lanjutan yaitu mineralisasi tulang. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa efek inhibisi rivaroxaban terhadap pembentukan tulang hanya bersifat sementara.[1]

Sebuah studi pada tikus membandingkan efek warfarin dan edoxaban terhadap kadar total Gla-Oc dan Glu-Oc. Hasilnya, warfarin dengan dosis 1 mg/kg ditemukan meningkatkan kadar Glu-Oc, sedangkan kadar Gla-Oc dilaporkan menurun secara signifikan. Sementara itu, edoxaban pada dosis 1 mg/kg (dosis antitrombosis) dilaporkan tidak berefek pada kadar total osteocalcin, Glu-Oc, maupun Gla-Oc.[5]

Studi ini menunjukkan bahwa, pada tikus, edoxaban tidak mempengaruhi kadar Gla-Oc dan Glu-Oc, sehingga mempunyai risiko lebih rendah dalam menimbulkan efek samping terhadap tulang.[5]

Sebuah studi kohort retrospektif mencoba membandingkan risiko fraktur osteoporosis pada penggunaan dabigatran dan warfarin pada pasien dengan atrial fibrilasi nonvalvular. Hasil studi menunjukkan bahwa dabigatran berhubungan dengan risiko fraktur osteoporosis yang lebih rendah dibandingkan warfarin. Efek novel oral anticoagulant (NOAC) terhadap BMD belum diketahui.[1,6]

Studi Perbandingan Risiko Fraktur Osteoporosis pada Penggunaan Warfarin dengan NOAC

Gu et al melakukan tinjauan sistematik dan meta analisis terhadap 12 uji klinis dengan total 89.549 subjek studi. Di antara keseluruhan subjek studi, 44.816 mendapat novel oral anticoagulant (NOAC) dan 44.733 mendapat warfarin.[7]

Studi ini menemukan bahwa 515 (1,1%) pasien yang mendapat NOAC dan 624 (1,4%) pasien yang mendapat warfarin mengalami fraktur. Dalam analisis statistik lanjutan, risiko fraktur dinyatakan lebih rendah secara signifikan pada pasien yang mendapat NOAC dibandingkan warfarin.[7]

Pada tahun 2019, Binding et al mempublikasikan studi yang membandingkan risiko fraktur osteoporosis pada pasien atrial fibrilasi yang mengonsumsi warfarin dengan yang mendapat novel oral anticoagulant (NOAC). Pada studi retrospektif ini, data pasien diambil dari Danish National Registry dan melibatkan 37.350 pasien dengan atrial fibrilasi yang mendapat terapi antikoagulan oral selama minimal 180 hari.[3]

Luaran yang diteliti antara lain fraktur semua jenis, fraktur osteoporosis, fraktur tulang pinggul, keperluan pengobatan osteoporosis, dan kombinasi dari empat luaran tersebut. Secara umum, studi ini menemukan bahwa risiko fraktur apapun relatif rendah pada pasien atrial fibrilasi yang mendapat antikoagulan, baik itu warfarin ataupun NOAC.[3]

Pada pasien yang mendapat NOAC, risiko fraktur osteoporosis mayor setelah 2 tahun didapatkan sebesar 2,29%, sedangkan pada kelompok warfarin adalah sebesar 2,82%. NOAC dikaitkan dengan penurunan risiko absolut (absolute risk reduction) sebesar 0,53% terkait fraktur osteoporosis mayor. Untuk jenis fraktur apapun, NOAC dikaitkan dengan risiko 3,09%, sedangkan warfarin 3,77%, sehingga penurunan risiko absolut adalah sebesar 0,68%.[3]

Pada analisis statistik lebih lanjut, ditemukan bahwa penggunaan NOAC berkaitan dengan penurunan risiko fraktur apapun, fraktur osteoporosis, dan keperluan pengobatan osteoporosis yang bermakna dibandingkan penggunaan warfarin.[3]

Serupa dengan hasil studi oleh Nalevaiko et al, pada tahun 2021 dan melibatkan 150 subjek. Studi ini menyimpulkan bahwa pasien yang mengonsumsi antikoagulan akan memiliki nilai BMD dan trabecular bone score (TBS) yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Walaupun efek negatif pada tulang ini lebih nyata dengan warfarin, tetapi juga terlihat dengan NOAC.[8]

Implikasi Klinis Risiko Fraktur Osteoporosis pada Penggunaan Antikoagulan

Berbagai studi di atas mengindikasikan suatu hal yang penting untuk dilakukan dalam praktik klinis, yaitu untuk mempertimbangkan profil kesehatan skeletal dalam memilih antikoagulan yang akan digunakan. Hal ini terutama berlaku pada pasien usia lanjut.

Kesimpulan

Sudah banyak studi menunjukkan bahwa konsumsi warfarin jangka panjang, terutama pada pasien usia lanjut, akan meningkatkan risiko fraktur osteoporosis. Namun, perbandingan risiko ini dengan golongan obat baru novel oral anticoagulant (NOAC) belum diketahui pasti.

Beberapa studi menunjukkan bahwa NOAC memiliki risiko yang sedikit lebih rendah secara bermakna dibandingkan warfarin dalam hal fraktur osteoporosis. Hal ini mengindikasikan bahwa klinisi perlu mempertimbangkan profil kesehatan skeletal sebelum memutuskan obat antikoagulan apa yang akan digunakan untuk pasien.

 

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi