Antibiotic Skin Test Bukan Prediktor yang Tepat untuk Reaksi Alergi

Oleh :
dr.N Agung Prabowo, Sp.PD, M.Kes

Saat ini, terdapat kontroversi pada beberapa organisasi profesi kedokteran terhadap skin test yang dilakukan sebelum pemberian antibiotik (antibiotic skin test/AST) karena diduga skin test bukanlah prediktor yang tepat untuk alergi dan dapat menunda pemberian antibiotik. Antibiotic skin test sering dilakukan di beberapa rumah sakit dan klinik di Indonesia untuk memastikan apakah seorang pasien memiliki alergi terhadap antibiotik yang akan diberikan melalui injeksi.

Penicillin digunakan sebagai agen terapi sejak tahun 1940-an. Sejak saat itu, telah dilaporkan sejumlah reaksi alergi penicillin, termasuk kematian pada pasien yang menggunakan antibiotik beta-laktam ini. Pada sebuah studi retrospektif didapatkan sebanyak sepertiga dari pasien yang meninggal karena reaksi anafilaksis penicillin ditemukan memiliki riwayat alergi penicillin. Selain reaksi anafilaksis, alergi obat juga dapat menyebabkan angioedema dan erupsi obat.[1]

Penicillin,Skin,Testing,Is,A,Tool,Used,In,Diagnosis,Of

Sementara itu, 10% dari populasi di Amerika Serikat mengklaim memiliki alergi penisilin. Namun, ternyata hanya 10-20% dari pasien tersebut yang terbukti memiliki alergi penisilin. Oleh karena itu, prevalensi alergi penisilin yang sebenarnya hanya <1%.

Sebuah studi terpisah menemukan bahwa 12,7% dari pasien rawat inap dilaporkan memiliki riwayat alergi terhadap penicillin. Melihat data seperti itu, dokter cenderung berhati-hati secara berlebihan saat menggunakan penicillin ataupun antibiotik lainnya. Solensky, et al melaporkan bahwa pada 33% pasien yang memiliki skin test yang positif memiliki riwayat alergi yang tidak jelas (misalnya dokumentasi pemberian antibiotik yang buruk atau deskripsi reaksi alergi yang tidak lengkap).[2]

Studi lain menyatakan bahwa di antara pasien yang memiliki alergi penicillin, sekitar 90% tidak memiliki hasil skin test yang positif. Hal ini menunjukkan kurangnya antibodi IgE spesifik penicillin yang terdeteksi. Seorang pasien dengan skin test negatif masih mempunyai kemungkinan alergi yang mungkin melalui reaksi yang tidak dimediasi IgE.[3]

Studi tentang Skin Test di Beberapa Negara

Sebuah penelitian yang dilakukan di Korea tahun 2012 mencatat bahwa dari 12 rumah sakit yang disertakan pada penelitian, semuanya melakukan antibiotic skin test. Namun, protokol AST pada tiap rumah sakit bervariasi dari aspek jenis antibiotik yang diuji, konsentrasi, jumlah, dan metode interpretasi.[4]

Penelitian di Uni Emirat Arab menunjukkan bahwa hanya 73% dari semua pasien yang mendapatkan antibiotik yang menjalani AST. Dari 357 pasien yang menerima antibiotik, didapatkan hanya 284 pasien yang menjalani AST. Sebanyak 38 diantaranya berdasarkan permintaan dokter dan 246 berdasarkan penilaian perawat. Tidak ada catatan tentang reaksi tipe alergi pada setiap pasien yang diuji. Dari 357 pasien dalam penelitian, 238 pasien menerima satu jenis skin test, 21 pasien menerima dua jenis skin test, 1 pasien menerima empat jenis skin test, dan sisanya tidak menerima skin test. Antibiotik yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari golongan yang berbeda.[5]

Ketidakkonsistenan dalam prosedur antibiotic skin test seperti ini dapat mengakibatkan penundaan pemberian antibiotik dan pemakaian antibiotik alternatif dengan efektivitas lebih rendah. Hal ini dapat menyebabkan pemborosan waktu, uang, tenaga kerja, bahkan dapat membahayakan pasien. Dengan demikian, prosedur skin test seharusnya dibatasi karena bukan prediktor yang tepat untuk reaksi alergi.[5]

Pedoman Terkait Antibiotic Skin Test

Penicillin merupakan pilihan terapi pada beberapa penyakit menular seksual. Beberapa penyakit bahkan tidak memiliki alternatif terapi selain penicillin, seperti neurosifilis, sifilis kongenital, dan sifilis pada ibu hamil. Oleh karena itu, United States Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat (CDC) membuat sebuah rekomendasi untuk manajemen terhadap pasien yang mempunyai alergi penicillin.

CDC merekomendasikan bahwa skin test penicillin hanya dilakukan pada pasien dengan riwayat alergi penicillin, menggunakan penicilloyl polylysine sebagai penentu mayor; serta penicillin G, penilloate, dan penicilloate sebagai campuran penentu minor. Pasien tidak boleh menggunakan antihistamin sebelum skin test dilakukan.[5,6]

Ikatan dokter spesialis anak Indonesia (IDAI) juga menyatakan bahwa skin test hanya direkomendasikan untuk penicillin dan harus menggunakan penicillin dan metabolitnya. Skin test memberikan bukti sensitisasi terhadap obat tertentu tetapi harus selalu diinterpretasikan sesuai konteks klinis dan tidak digunakan untuk skrining alergi obat.[7]

Penelitian yang dilakukan oleh Christiansen, et al. mengemukakan bahwa prosedur AST dapat menghasilkan positif palsu karena reaksi iritasi kulit yang menyerupai reaksi alergi. Reaksi iritasi ini disebabkan oleh konsentrasi obat yang berlebihan. Sedangkan hasil negatif palsu dapat terjadi karena AST hanya mencerminkan reaksi imun yang segera, tetapi tidak bisa mencerminkan reaksi imun tipe lainnya misalnya reaksi imun tipe lambat. Pada reaksi imun tipe lambat, hasil AST dapat saja negatif tetapi setelah pemberian antibiotik reaksi alergi baru muncul.[8]

Karena tingkat positif palsu cukup tinggi, Tannert, et al. merekomendasikan kombinasi dari riwayat alergi, skin test yang positif, dan s-IGE yang positif dalam mendiagnosis alergi penicillin.[9]

Prediktor yang Tepat untuk Menilai Alergi penicillin

Pasien dengan dugaan alergi penicillin memerlukan beberapa evaluasi, yaitu riwayat alergi penicillin, skin test, dan pengukuran IgE spesifik (s-IgE) penicillin sesuai dengan pedoman yang diusulkan oleh European Network for Drug Allergy (ENDA) sebelum pemberian penicillin dilakukan.

AST tidak dapat dijadikan sebagai prediktor hipersensitivitas obat karena sensitivitas yang rendah dan mempunyai risiko reaksi positif dan negatif palsu. Untuk menyingkirkan kemungkinan hipersensitivitas obat, tes provokasi obat harus dilakukan sesuai rekomendasi ENDA.[10]

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tannert, et al. disimpulkan bahwa prediktor terbaik untuk alergi penicillin (dimediasi IgE) adalah kombinasi dari riwayat penicillin yang positif disertai dengan hasil skin test positif serta hasil s-IgE positif atau hasil tes provokasi obat yang positif. Jika hasil skin test, s-IgE, atau keduanya positif, maka terbukti ada alergi penicillin. Jika kedua hasil negatif maka perlu dilakukan tes provokasi obat.[9]

Kesimpulan

Antibiotic skin test tidak dapat menyingkirkan reaksi alergi karena dapat terjadi hasil positif palsu dan negatif palsu.

Hasil skin test yang positif dapat mengakibatkan penundaan pemberian antibiotik serta pemakaian antibiotik alternatif dengan efektivitas yang lebih rendah. Hal ini dapat menyebabkan pemborosan waktu, uang, tenaga kerja, bahkan dapat membahayakan pasien.

Sementara  hasil AST yang negatif juga tidak dapat menyingkirkan kemungkinan adanya reaksi alergi terhadap antibiotik tersebut karena dapat terjadi hasil yang negatif palsu.

Antibiotic skin test hanya direkomendasikan dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat pasti akan alergi penicillin. Prediktor terbaik untuk alergi penicillin adalah riwayat penicillin yang positif disertai dengan hasil positif dari skin test dan s-IgE atau hasil tes provokasi obat yang positif. Jadi, prosedur skin test sebelum pemberian antibiotik seharusnya dibatasi karena bukan prediktor yang tepat untuk reaksi alergi.

Bila pasien mengalami anafilaksis setelah pemberian antibiotik, berikan epinefrin secara intramuskular sebagai terapi lini pertama.

Referensi