Omalizumab untuk Penanganan Berbagai Alergi Makanan

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Omalizumab for the Treatment of Multiple Food Allergies

Wood RA, et al. NEJM. 2024; 390(10):889-899. DOI: 10.1056/NEJMoa2312382

studilayak

Abstrak

Latar Belakang: Alergi makanan sering dijumpai dan berkaitan dengan morbiditas yang signifikan. Satu-satunya terapi yang diakui ialah imunoterapi oral bagi alergi kacang.

Metode: Pada percobaan ini, kami mengevaluasi apakah omalizumab (antibodi monoklonal anti-IgE) efektif dan aman untuk digunakan sebagai monoterapi pada pasien-pasien dengan berbagai macam alergi makanan. Individu berusia 1-55 tahun yang mengalami alergi terhadap kacang, dan sekurang-kurangnya alergi pula terhadap dua makanan spesifik yang diuji (biji jambu monyet atau kacang mete, susu, telur, kenari, gandum, dan kemiri) menjalani penapisan.

Kriteria inklusi memerlukan reaksi alergi terhadap uji tantangan makanan 100 mg atau kurang untuk protein kacang, dan 300 mg atau kurang untuk dua makanan spesifik di atas. Partisipan kemudian dialokasikan secara acak dengan rasio 2:1 untuk mendapat omalizumab atau plasebo yang diberikan secara subkutan (dosis berdasarkan berat badan dan kadar IgE) setiap 2 hingga 4 minggu selama 16-20 minggu, setelah itu uji tantangan makanan diulangi kembali.

Luaran primer ialah partisipan yang mampu menelan protein kacang sebanyak 600 mg atau lebih dalam dosis tunggal tanpa dose-limiting symptom. Adapun tiga luaran sekunder meliputi konsumsi biji jambu monyet, susu, dan telur sedikitnya 1000 mg dosis tunggal tanpa dose-limiting symptom. Enam puluh partisipan pertama (59 antaranya adalah anak-anak atau remaja) yang menyelesaikan tahap pertama tersebut akan diikutsertakan untuk menjalani ekstensi 24 minggu label terbuka.

Hasil: Dari 462 orang yang berpotensi, 180 menjalani randomisasi akhir. Analisis populasi terdiri dari 177 anak-anak dan remaja (1-17 tahun). Sebanyak 79 dari 118 partisipan (67%) yang mendapat omalizumab vs 4 dari 59 partisipan (7%) yang mendapat plasebo, sukses memenuhi kriteria luaran primer (p<0,001).

Hasil luaran sekunder konsisten dengan luaran primer untuk keunggulan grup omalizumab (biji jambu monyet 41% vs 3%; susu 66% vs 10%; telur 67% vs 0%; p<0,001 untuk semua perbandingan). Luaran aspek keamanan tidak berbeda signifikan di antara kedua grup, terlepas dari kejadian injection-site reaction yang lebih banyak pada grup omalizumab.

Kesimpulan: Pada orang dengan usia semuda satu tahun dengan alergi berbagai macam makanan, terapi omalizumab selama 16 minggu lebih superior daripada plasebo dalam meningkatkan ambang batas reaksi alergi bagi kacang, dan alergen makanan lain pada umumnya.

OmalizumabAlergiMakanan

Ulasan Alomedika

Alergi makanan sering dijumpai pada masyarakat. Di Amerika Serikat saja, sebanyak 8% anak-anak dan 10% orang dewasa mengalami alergi terhadap berbagai macam makanan.  Hidup dengan alergi makanan membutuhkan kewaspadaan konstan dan berdampak buruk bagi nutrisi, kualitas hidup, keuangan pribadi, hingga pelayanan kesehatan.

Adapun rekomendasi penanganan saat ini untuk masalah ini banyak mengandalkan pada food avoidance dan terapi darurat alergi kalau terpapar bahan alergen yang bersangkutan. Hingga saat ini, baru satu macam terapi yang diakui oleh Food and Drug Administration yakni imunoterapi oral bagi kasus alergi produk kacang. Meskipun imunoterapi oral dapat menginduksi desensitisasi terhadap alergen, terapi ini berkaitan dengan reaksi efek samping yang merugikan.

Omalizumab, antibodi monoklonal terhadap IgE yang berperan pada reaksi alergi, menunjukkan hasil yang menjanjikan pada sejumlah percobaan kecil. Saat ini, omalizumab baru diakui untuk terapi asma alergi pada anak usia 6 tahun ke atas dan chronic spontaneous urticaria serta rinosinusitis kronis dengan polip hidung pada remaja dan dewasa. Studi bertujuan untuk mengevaluasi dampak omalizumab pada pasien penderita alergi makanan.

Ulasan Metode Penelitian

Studi ini menerapkan metode percobaan acak terkontrol plasebo dengan rasio 2:1 untuk grup omalizumab dan grup plasebo, yang berlangsung selama 16 minggu dan dilaksanakan di 10 pusat kesehatan di Amerika Serikat. Penelitian ini dilaksanakan menurut tiga tahap, tapi baru tahap pertama yang dilaporkan terlebih dahulu.

Tahap kedua penelitian ini akan menguji perbandingan durasi jangka panjang (hingga 52 minggu), dan tahap ketiga akan mengevaluasi introduksi alergen makanan pada diet keseharian partisipan yang diuji setelah omalizumab dihentikan. Protokol studi ini didesain oleh peneliti yang tergabung pada Consortium for Food Allergy Research dan representatif dari National Institute of Allergy and Infectious Diseases, Genentech, Novartis, and Rho.

Genentech dan Novartis menyediakan produk omalizumab dan dukungan finansial untuk studi ini. Percobaan ini mendapat ijin dari board of Johns Hopkins University dan dipantau oleh komite independen.

Cara pelaksanaan uji tantangan makanan diberikan dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap dalam interval 15-30 menit. Kriteria inklusi mencakup pasien (1-55 tahun) dengan riwayat berbagai alergi makanan. Sementara itu, kriteria eksklusi adalah pasien dengan poorly controlled atau severe asthma, riwayat anafilaksis berat, sudah pernah menjalani imunoterapi atau mendapat terapi antibodi monoklonal dalam waktu 6 bulan sebelum masa penyaringan. Analisis luaran primer dan sekunder menggunakan two-sided Fisher’s exact test.

Ulasan Hasil Penelitian

Pada individu usia 1-55 tahun dengan berbagai macam alergi makanan, pemberian omalizumab selama 16 minggu lebih superior daripada plasebo dalam meningkatkan ambang batas reaksi alergi terhadap kacang, biji jambu monyet, telur, dan susu.

Sebanyak 67% partisipan yang mendapat omalizumab mampu mengonsumsi sedikitnya 600 mg protein kacang (dosis kumulatif 1044 mg ekuivalen dengan 4 kacang) dan 44% mampu mengonsumsi hingga dosis kumulatif 6044 mg (ekuivalen dengan 25 kacang; dosis tertinggi yang digunakan pada percobaan tahap pertama). Dampak pemberian omalizumab ini konsisten pula terhadap alergi makanan lain yang diuji.

Terapi ekstensi hingga 24 minggu pada percobaan label terbuka turut menunjukkan durabilitas dari efek pemberian omalizumab di tahap pertama. Tingkat perlindungan tersebut lebih dari cukup untuk menghindari reaksi alergi pada paparan yang tidak disengaja sehingga menggarisbawahi kemungkinan penggunaan omalizumab sebagai monoterapi untuk mengurangi risiko harian terhadap berbagai macam alergi makanan.

Kelebihan Penelitian

Ada sejumlah kelebihan pada penelitian ini. Pertama, populasi yang diuji mengikutsertakan partisipan dengan usia paling muda 1 tahun. Sebagaimana yang telah diketahui, prevalensi alergi makanan mencapai puncak pada usia 1-2 tahun, dan usia prasekolah adalah momen di mana risiko terhadap paparan yang tidak disengaja amat besar.

Kelebihan lain adalah tingkat retensi atau kepatuhan protokol studi tetap tinggi (97%) bahkan setelah interupsi masa pandemi COVID-19. Hal tersebut jauh berbeda dengan tingkat withdrawn hingga 15-25% pada sejumlah percobaan imunoterapi oral.

Selain itu, analisis sekunder turut menguji alergi terhadap produk yang cukup umum dijumpai di pasaran, seperti susu dan telur. Metode percobaan acak terkontrol juga turut meminimalisir potensi bias. Durasi penelitian yang diperpanjang hingga 24 minggu juga dapat memberi gambaran dini terhadap efek omalizumab pada jangka panjang.

Limitasi Penelitian

Studi ini tetap mempunyai sejumlah keterbatasan. Hanya ada tiga partisipan dewasa yang ikut dalam percobaan. Selain itu, cohort didominasi oleh ras non-hispanic dan populasi berkulit putih sehingga akan mengurangi aspek generalisasi hasil luaran yang diuji.

Adapun modified asthma-based dosing of omalizumab digunakan sebagai dosis dasar, sehingga dapat mengeksklusi partisipan dengan kadar baseline IgE yang tinggi, yang sebenarnya malah amat cocok untuk menjadi subjek penelitian ini. Penelitian tahap pertama ini juga belum mampu untuk menjawab dampak penggunaan omalizumab lebih dari 24 minggu terutama untuk aspek keamanan.

Aplikasi Hasil Studi Di Indonesia

Meskipun populasi orang Asia Tenggara belum terwakili dalam studi ini dan harga serta ketersediaan omalizumab di Indonesia masih menjadi keterbatasan, studi ini mengindikasikan bahwa imunoterapi bermanfaat dalam penanganan alergi makanan. Penelitian serupa perlu dilakukan di Indonesia untuk menilai apakah efek yang sama berlaku pada populasi pasien di Indonesia.

Referensi