Antibiotik Profilaksis yang Tidak Diperlukan Sebelum Perawatan Gigi

Oleh :
drg. Muhammad Garry Syahrizal Hanafi

Antibiotik profilaksis sebelum perawatan gigi berbeda pada berbagai pedoman karena bukti medis yang tersedia bervariasi dan memiliki kelemahan. Antibiotik profilaksis selama ini diindikasikan untuk tindakan preventif infeksi endokarditis pada perawatan gigi, terutama prosedur perawatan gigi yang membuat adanya perdarahan.[1–3]

Antibiotik profilaksis sering diresepkan oleh dokter gigi, dalam prosedur perawatan gigi dengan tujuan untuk mencegah endokarditis dan infeksi sendi dari penyebaran hematogen. Faktor risiko untuk endokarditis infeksius adalah prolaps katup mitral, penyakit jantung bawaan, penyakit jantung rematik, riwayat endokarditis sebelumnya, dan operasi katup jantung sebelumnya. Selain itu, sendi prostetik seperti THR (total hip replacement) dan TKR (total knee replacement) merupakan faktor risiko infeksi sendi terkait prosedur perawatan gigi.[4,8,9]

shutterstock_1336595216-min

Namun, penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan beberapa risiko, seperti infeksi bakteri Clostridium difficile, resistensi antibiotik, serta efek samping, alergi, atau reaksi hipersensitivitas akibat penggunaan antibiotik itu sendiri. Diketahui bahwa penggunaan antibiotik di kedokteran gigi berhubungan dengan infeksi C. difficileterutama penggunaan yang tidak tepat dosis dan indikasi.[4]

Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Perawatan Gigi

Peresepan obat antibiotik sebagai tindakan profilaksis bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi, seperti bakteremia atau endokarditis pada prosedur yang invasif. Prosedur invasif pada perawatan gigi didefinisikan sebagai prosedur yang menyebabkan kerusakan mukosa oral, seperti perawatan saluran akar, pencabutan gigi, serta tindakan pembedahan.[1-4]

Manfaat Antibiotik Profilaksis yang Tepat

Jenis prosedur perawatan gigi  dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu prosedur noninvasif, minimal invasif, dan invasif. Umumnya, prosedur invasif lebih sering diindikasikan untuk diberikan antibiotik profilaksis. Namun, kenyataannya tidak semua prosedur invasif memerlukan antibiotik profilaksis. Kunci dari peresepan antibiotik profilaksis yang tepat bergantung pada indikasi penggunaan, efek antimikroba yang tepat, dosis dan jenis sediaan yang sesuai, serta waktu intervensi dan durasi pemberian obat yang tepat.[5]

Hal ini memperkuat pernyataan Oberoi et al pada tahun 2014 yang menyatakan bahwa antibiotik profilaksis seharusnya sudah ditinggalkan pada perawatan kedokteran gigi, karena sejatinya sebelum perawatan kedokteran gigi invasif, dapat dilakukan tindakan preventif berupa pengontrolan Oral Hygiene yang baik. Hal ini lebih dipilih karena meminimalkan terjadinya resistensi antibiotik dan juga meminimalkan risiko hipersensitivitas.[2]

Dewasa ini, penggunaan antibiotik profilaksis masih sering diresepkan sebelum atau selama perawatan gigi pada pasien dengan sendi prostetik. Hal ini untuk menanggulangi risiko terjadinya infeksi pada area tersebut, tetapi ternyata infeksi yang terjadi pada area sendi prostetik tidak berhubungan dengan perawatan gigi yang dilakukan. Menurut berbagai penelitian, tidak ada bukti kuat yang dapat menunjukkan bakteri oral seperti Streptococcus spp mengakibatkan infeksi sendi prostetik. Sebaliknya, 1,5% infeksi pada sendi prostetik justru disebabkan bakteri komensal kulit Staphylococcus spp.[6]

Telaah dalam Cochrane, oleh Glenny et al pada tahun 2013, menyebutkan bahwa tidak ada bukti tentang efektivitas penggunaan antibiotik profilaksis untuk melawan endokarditis pada orang berisiko yang akan menjalani prosedur gigi invasif. Tidak begitu jelas apakah potensi bahaya lebih besar atau lebih rendah dibandingkan dengan efek yang menguntungkan. Dari tinjauan etis, dokter gigi perlu mendiskusikan manfaat dan bahaya potensial dari antibiotik profilaksis dengan pasien, sebelum membuat keputusan untuk memberikan obat tersebut atau tidak.[7]

Namun demikian, menurut penelitian pada jurnal American Heart Association (AHA) yang dilakukan oleh Chen et al pada tahun 2018, antibiotik profilaksis direkomendasikan untuk mencegah endokarditis pada pasien dengan risiko tinggi.[8]

Risiko Pemberian Antibiotik Profilaksis yang Tidak Tepat

Peresepan antibiotik profilaksis yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai macam konsekuensi atau risiko yang mungkin muncul pada pasien. Risiko tersebut seperti terjadinya resistensi antibiotik, infeksi bakteri Clostridium difficile, dan reaksi hipersensitivitas.[10]

Resistensi Antibiotik

Resistensi obat antibiotik bukanlah sebuah masalah yang baru muncul, tapi justru telah menjadi kekhawatiran global yang telah merenggut nyawa sekitar 70.000 orang di dunia. Pada tahun 2015, terdapat laporan yang mengatakan bahwa 40-50% obat antibiotik yang diresepkan oleh dokter sebenarnya tidak perlu. Ternyata, dokter gigi berperan cukup signifikan dalam hal ini, di mana laporan tersebut mengatakan bahwa 3-11% antibiotik yang tidak perlu justru diresepkan oleh dokter gigi. Bahkan, sebuah studi mengatakan bahwa 66% obat antibiotik yang diresepkan dalam praktek kedokteran gigi sebenarnya tidak terindikasi secara klinis.[10]

Secara klinis, resistensi antibiotik diartikan sebagai berkurangnya efektivitas obat terhadap suatu bakteri patogen pada dosis MIC (minimum inhibitory concentration). Hal ini karena bakteri patogen dapat berubah hingga skala genomik untuk menjadi lebih resisten terhadap efek obat antibiotik.[10,11]

Meningkatnya resistensi antibiotik selama beberapa tahun terakhir kemungkinan juga terjadi akibat penggunaan obat antibiotik spektrum luas yang terlalu banyak maupun tidak sesuai indikasi, contohnya sefalosporin dan fluorokuinolon. Karena itu, muncul bakteri-bakteri yang lebih resisten terhadap obat antibiotik yang kini tersedia di pasaran.[2]

Beberapa bakteri yang menjadi penyebab infeksi dental (odontogenik) menunjukkan tanda-tanda memiliki toleransi terhadap beberapa kelas obat antibiotik. Jika berlanjut, nantinya ada kemungkinan bahwa bakteri-bakteri tersebut dapat menjadi lebih resisten terhadap berbagai golongan antibiotik. Walaupun demikian, perlu dicatat pula bahwa kedua hal ini terjadi akibat tidak adanya standar atau guideline yang jelas mengenai peresepan antibiotik profilaksis.[12,13]

Infeksi Bakteri Clostridium difficile

Risiko lain dalam penggunaan antibiotik profilaksis yang tidak tepat adalah infeksi bakteri Clostridium difficile. Bakteri patogen ini berada di usus dan merupakan penyebab diare. Penggunaan beberapa antibiotik seperti sefalosporin, fluorokuinolon, klindamisin, dan ampisilin merupakan faktor risiko terjadinya infeksi bakteri ini. Penggunaan antibiotik dengan dosis dan indikasi yang tidak tepat dapat menyebabkan infeksi bakteri Clostridium difficile karena penggunaan antibiotik tersebut dapat menyebabkan terganggunya flora normal dalam usus. Hal ini membuat Clostridium difficile dapat tumbuh dengan leluasa sehingga menimbulkan inflamasi akibat toksin yang dikeluarkan oleh bakteri tersebut.[10]

Reaksi Hipersensitivitas

Reaksi hipersensitivitas atau alergi obat merupakan salah satu dari adverse drug reaction yang mungkin terjadi pada pasien; selain toksisitas, efek samping, idiosinkrasi dan intoleransi. Reaksi hipersensitivitas merupakan respon abnormal terhadap obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi. Beberapa obat antibiotik yang seringkali menimbulkan reaksi hipersensitivitas adalah penisilin, sulfonamid dan sefalosporin. Padahal, salah satu antibiotik ini, yaitu golongan penisilin, digunakan secara luas dalam melakukan peresepan antibiotik profilaksis. Dengan demikian, kemungkinan untuk terjadi reaksi hipersensitivitas cukup besar karena penggunaan penisilin ini secara masif.[2]

Kesimpulan

Antibiotik profilaksis tidak diindikasikan untuk semua perawatan gigi, karena pemberian antibiotik yang tidak tepat berisiko meningkatkan resistensi antibiotik, infeksi bakteri Clostridium  difficile, serta risiko efek samping, alergi, dan reaksi hipersensitivitas akibat antibiotik yang diberikan. Perlu adanya seleksi kasus yang ketat untuk menentukan tindakan invasif oleh dokter gigi yang memerlukan peresepan antibiotik profilaksis, guna mencegah terjadinya endokarditis dan infeksi sendi. Penelitian yang dicantumkan dalam Cochrane maupun jurnal AHA belum menunjukkan penurunan endokarditis meskipun antibiotik profilaksis tetap direkomendasikan pada pasien dengan risiko tinggi. Karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut terkait dengan risiko dan manfaat pemberian antibiotik profilaksis pada tindakan gigi.

Para dokter gigi dianjurkan untuk mengontrol kesehatan gigi dan mulut pasien sebelum tindakan gigi untuk mencegah penyebaran infeksi yang berasal dari gigi. Selain itu, dokter gigi perlu untuk mendiskusikan dengan pasien jika diperlukan pemberian antibiotik profilaksis.

Referensi