Manfaat Olahraga untuk Pencegahan dan Terapi Depresi

Oleh :
dr. Soeklola SpKJ MSi

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa aktivitas fisik (AF) yang lebih tinggi dan olahraga dapat mencegah terjadinya depresi maupun mengurangi gejala depresi yang telah terjadi. Penanganan utama depresi saat ini lebih menekankan pada psikofarmaka dan psikoterapi, namun tidak seluruh pasien berespon terhadap terapi tersebut sehingga memerlukan modalitas terapi lainnya.[2,4-10]

Pada tahun 2018, Riset Kesehatan Dasar di Indonesia menemukan sekurangnya 6,1% kelompok umur >15 tahun mengalami gangguan depresi mayor (major depressive disorder / MDD), tetapi hanya 9% yang ditangani medis. Data lain menunjukkan populasi pasien dengan gejala depresi yang tidak masuk dalam kategori MDD mencapai 15‒20%. Selain itu, MDD juga dikatakan merupakan salah satu dari 10 hendaya utama yang menyebabkan disabilitas serta peningkatan beban kesehatan di seluruh dunia.[1-3]

Manfaat Olahraga untuk Pencegahan dan Terapi Depresi-min

Olahraga sebagai Pencegah Depresi

Pasien dengan MDD memiliki tingkat kesehatan yang lebih rendah dibandingkan populasi sehat, seperti peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiometabolik, kardiovaskular, maupun diabetes mellitus tipe 2. Selain itu, diketahui terjadi peningkatan rentang angka kematian prematur hingga 10 tahun akibat tingginya penyakit metabolik dan kardiovaskular jika dibandingkan populasi normal. Hal ini dikatakan sangat berhubungan dengan kebiasaan tidur yang buruk, diet yang buruk, dan penurunan aktivitas fisik pada penderita MDD. Persepsi negatif tentang diri pada penderita obesitas juga meningkatkan risiko terjadinya depresi.[2,11-14]

Latihan fisik dan diet diperlukan untuk meregulasi proses biologis dalam tubuh, seperti penanganan inflamasi, stres oksidatif, respons terhadap stres, plastisitas otak, dan fungsi serta performa mitokondria. Mekanisme utama terjadinya efek protektif olahraga dan AF terhadap pencegahan depresi sendiri belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan adanya kaitan antara AF, olahraga dan pencegahan depresi.[2,6,14]

Sebuah studi cross section melibatkan 59.399 (33.480 perempuan dan 25.919 laki-laki) yang dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu dewasa muda usia 18‒39 tahun, dewasa menengah 40‒59 tahun, dan lansia ≥ 60 tahun. Studi tersebut menguji hubungan antara AF sebagai hiburan terhadap prevalensi terjadinya depresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa AF yang kurang berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan depresi hanya pada subjek pria, dan tidak ada hubungan signifikan pada subjek wanita.[15]

Hasil penelitian tersebut didukung oleh sebuah penelitian kohort terhadap 33.908 orang dewasa tanpa gangguan mental, yang diikuti selama 11 tahun untuk menilai hubungan olahraga dan angka kejadian depresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa olahraga secara teratur berhubungan dengan penurunan insiden depresi, yaitu sekitar 12% kasus depresi dapat dicegah dengan 1 jam low intensity exercise, seperti berjalan kaki, bersepeda, atau berenang santai setiap minggunya. Efek protektif AF terhadap depresi berada dalam rentang 1 jam pertama dari olahraga yang dilakukan tiap minggu.[6]

Efek AF yang menguntungkan itu ternyata melandai dan menurun dengan peningkatan total waktu olahraga. Sehingga, olahraga dengan intensitas yang lebih kuat dan durasi yang lebih panjang tidak menambah efek protektif terhadap depresi. Hasil ini juga menunjukkan kemungkinan perubahan sistem saraf otonom dan modifikasi faktor metabolik akibat olahraga dengan intensitas yang lebih tinggi tergolong kurang bermanfaat sebagai pencegahan depresi. Faktor lain yang diduga berperan sebagai efek proteksi terhadap depresi adalah keuntungan sosial dari olahraga, seperti mendapatkan dukungan sosial. Namun, faktor tersebut belum dapat dijelaskan dari penelitian ini.[6]

Olahraga sebagai Terapi Depresi

Sebuah penelitian dilakukan hanya sekali waktu terhadap 24 wanita, berusia sekitar 38 tahun dengan diagnosis MDD, untuk menilai efek olahraga terhadap gejala depresi. Olahraga dilakukan dengan stationary bicycle sekali seminggu selama 30 menit per sesi. Masing-masing pasien diperbolehkan memilih salah satu dari tiga steady-state exercise intensities, yaitu ringan dengan rating of perceived exertion (RPE) 11, sedang dengan RPE 13, dan tinggi dengan RPE 15.

Mood depresi dinilai dengan profile of mood states sebelum olahraga, kemudian 10 dan 30 menit setelah olahraga. Hasil menunjukkan terjadi penurunan mood depresi pada 10 dan 30 menit setelah olahraga, dan efek perbaikkan tidak dipengaruhi oleh intensitas yang diberikan. Tidak ada perbedaan penurunan depresi pada pasien yang sedang tidak mengonsumsi obat antidepresan (n=10) dibandingkan pasien dengan antidepresan.[10]

Data tersebut didukung studi metaanalisis terhadap 25 penelitian yang melibatkan 1487 pasien dengan depresi. Hasil studi menunjukkan efek perbaikan gejala depresi pada pasien yang mendapatkan intervensi olahraga.[16]

Mekanisme Kerja Olahraga Terhadap Gejala Depresi

Mekanisme kerja olahraga terhadap perbaikan gejala depresi belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat data yang menunjukkan perbaikkan gejala depresi hanya dari intervensi olahraga sebesar 40-50%. Respons perbaikan atau tingkat remisi yang lebih tinggi ini dikaitkan dengan interaksi antara dua atau lebih faktor biologis, klinis, psikologis, dan sosial.[2,17]

Faktor Biologis

Pada penderita depresi terjadi peningkatan reaksi inflamasi dan stres oksidatif yang  ditandai dengan peningkatan interleukin (IL)-6, IL-1B, tumor nekrosis faktor alpha (TNF-α), dan asam tiobarbiturat reaktif spesies. Selain itu, pada penderita depresi terjadi penurunan kadar brain-derived neurotrophic factor (BDNF), yaitu penanda pertumbuhan dan plastisitas neuron. Penurunan regenerasi neuron ini berhubungan dengan penurunan volume dan aktivitas beberapa bagian otak seperti hipokampus, korteks orbitofrontal, anterior dan posterior cingulate, insula, serta lobus temporal.(2,9,17-19]

Olahraga sendiri dikaitkan dengan peningkatan antiinflamasi, enzim antioksidan, dan perbaikkan plastisitas otak dengan meningkatkan volume hipokampus.  Penurunan kadar IL-6 pada pasien depresi setelah berolahraga dikatakan sebagai prediktor respons perbaikan yang lebih tinggi.[2,20]

Faktor Klinis

Pasien depresi dikatakan memiliki respon lebih baik terhadap intervensi olahraga jika memiliki tipe atipikal, fungsi global lebih baik, dan dengan gejala fisik lebih dominan, dibandingkan tipe depresi lainnya. Selain itu, kebugaran kardiorespiratori yang lebih rendah juga dikaitkan dengan risiko intervensi olahraga tidak berespon.[2,17]

Faktor Psikologis

Pasien dengan kepercayaan diri dan tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi dikatakan memiliki prediktor luaran yang lebih baik jika diberi intervensi olahraga.[2,17]

Faktor Sosial

Dukungan sosial dikatakan sebagai prediktor yang selalu konsisten berkaitan dengan luaran terapi yang lebih baik.[2,17]

Rekomendasi Olahraga untuk Pasien Depresi

Pasien MDD mengalami peningkatan risiko mengalami penyakit kardiometabolik dan penurunan angka harapan hidup hingga 10 tahun, jika dibandingkan kelompok sehat. Data yang ada menunjukkan peresepan olahraga dan AF pada kasus MDD terbukti mampu meningkatkan perbaikan penanda kardiovaskular, metabolik, high density lipoprotein (HDL), berat badan, serta jaringan lemak subkutan dan epikardial. Dari data tersebut, dapat dikatakan olahraga bermanfaat dalam menurunkan risiko penurunan angka harapan hidup dan risiko penyakit kardiometabolik.[2,11-14,21,22]

Hingga saat ini belum terdapat rekomendasi khusus olahraga atau AF untuk pencegahan maupun terapi depresi. Namun, beberapa penelitian memberikan data bahwa low intensity exercise selama 1 jam setiap minggu dapat mengurangi angka kejadian depresi di masa mendatang hingga 12 %.[6]

Motivasi Olahraga

Tingkat drop out intervensi olahraga pada populasi depresi mencapai +18%.  Sementara itu, drop out pada psikoterapi sebesar 19%,  penggunaan serotonin reuptake inhibitor (SRRI) sebesar 26%, serta penggunaan trisiklik antidepresan (TCA) sebesar 28%. Hal ini menunjukkan bahwa sama seperti intervensi lainnya, diperlukan strategi khusus terkait kepatuhan berobat pada penderita depresi. [2,23])

Salah satu strategi khusus adalah menemukan autonomous motivation penderita. Autonomous motivation merupakan motivasi yang mendorong seseorang melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, misalnya menemukan kesenangan dari olahraga. Penggalian riwayat pengalaman sebelumnya dan preferensi personal diperlukan untuk menemukan olahraga sebagai hal yang menyenangkan. Sehingga, penting bagi klinisi menyarankan pasien untuk mampu menentukan sendiri intensitas dan jenis olahraga yang hendak dijalankan. [2,25]

Olahraga dengan intensitas di atas ventilator threshold telah menunjukkan efek yang lebih baik dalam mereduksi gejala depresi, dimana intensitas tersebut dapat bersifat progresif. Selain itu, terdapat data yang menunjukkan bahwa intensitas apapun, baik ringan, sedang, dan berat, tidak mempengaruhi efek positif dari olahraga terhadap perbaikan mood pasien MDD.[2,10,25]

Olahraga dengan Supervisi dan Dukungan Sosial

Strategi lain adalah meresepkan secara tertulis olahraga disertai supervisi oleh profesional olahraga, seperti fisioterapis, exercise physiologist, atau physical educator. Hal ini merupakan faktor protektif terjadinya drop out pada intervensi olahraga untuk pasien MDD. Dukungan sosial juga berpotensi memperbaiki gejala selama menjalankan olahraga, misalnya mendorong pasien berolahraga dengan teman atau keluarga. Diharapkan dapat meningkatkan hasil positif dari intervensi olahraga.[2,17,23]

Kesimpulan

Olahraga dan aktivitas fisik (AF) terbukti dapat menurunkan angka kejadian depresi di masa mendatang, menurunkan gejala depresi, dan memperbaiki kesehatan fisik penderita depresi. Hingga saat ini belum terdapat jenis, durasi, dan intensitas olahraga seperti apa yang direkomendasikan baik untuk pencegahan maupun terapi depresi. Data yang ada menunjukkan low intensity exercise, seperti berjalan kaki, bersepeda, atau berenang santai selama 1 jam setiap minggu bermanfaat mengurangi angka kejadian depresi.[2,6-10]

Angka drop out intervensi olahraga pada pasien depresi sekitar 18%, sehingga diperlukan strategi khusus. Strategi tersebut antara lain menemukan autonomous motivation, termasuk membiarkan pasien menentukan sendiri jenis dan intensitas olahraga di atas ventilator threshold). Selain itu, pemberian resep olahraga dengan supervisi profesional, serta memperkuat dukungan sosial seperti berolahraga bersama teman atau keluarga.[2,17,23,25]

 

Penulisan pertama: dr. Hunied Kautsar

Referensi