Cilostazol Sebagai Terapi Preventif Primer Stroke dan Pencegahan Re-Stenting Pasca PCI

Oleh :
dr. Hendra Gunawan SpPD

Cilostazol dikenal sebagai lini pertama dari klaudikasio yang sering ditemukan pada penyakit arteri perifer. Berdasarkan telaah lebih lanjut, timbul fungsi lain cilostazol yang ditemukan, seperti pada fungsi cilostazol untuk pencegahan stroke dan pencegahan restenting pada kasus kateterisasi jantung atau PCI di coronary artery disease maupun endovascular stent di penyakit arteri perifer.[1,2]

Cilostazol merupakan suatu penyekat fosfodiesterase III yang digunakan sebagai manajemen lini pertama pada klaudikasio intermiten. Cilostazol merupakan suatu anti-agregasi platelet yang poten, memacu rediferensiasi sel otot polos vaskular, meningkatkan tekanan darah, dan meningkatkan metabolisme lipid melalui penurunan pembentukan tromboksan melalui peningkatan jumlah cAMP.[1-3]

shutterstock_278532176-min (1)

Sebagai terapi lini pertama pada kasus klaudikasio intermiten, cilostazol telah semakin banyak digunakan terutama pada berbagai kasus penyakit kardiovaskular. Castellsague et al., melaporkan bahwa pengguna cilostazol dapat mencapai 22.593 pengguna baru pada tahun 2016 di Eropa.[3,4]

Berdasarkan hal tersebut, artikel ini akan mencoba mengupas berbagai pertanyaan klinis seputar cilostazol yang mungkin timbul, seperti apakah cilostazol lebih baik digunakan pada berbagai kasus kardiovaskular dan  bagaimanakah keamanan cilostazol?

Cilostazol Sebagai Pencegahan Stroke

Berdasarkan pedoman penatalaksanaan penyakit arteri perifer tahun 2016 yang dirilis itu American Heart Association, cilostazol memiliki efektivitas yang baik dalam mengurangi keluhan dan meningkatkan jarak jalan pada pasien dengan klaudikasio intermiten dalam waktu 24 minggu penggunaan.[5]

Hal ini menjadi dasar banyaknya penggunaan cilostazol dibandingkan antikoagulan lain, terutama pada kasus penyakit arteri perifer.

Keunggulan Cilostazol untuk Pencegahan Stroke

Studi dari Castellsague et al., dilakukan berbagai studi terutama di Tiongkok untuk melihat efektivitas cilostazol pada berbagai penyakit kardiovaskular, terutama sebagai pencegahan sekunder terhadap penyakit stroke.[4,6]

Xie et al., melaporkan bahwa penggunaan cilostazol sebagai monoterapi dalam jangka panjang memiliki efektivitas yang lebih baik dengan odds ratio 0,66 (95% IK: 0,44-0,92) dalam pencegahan sekunder stroke bila dibandingkan dengan berbagai obat anti-platelet lain seperti aspirin, clopidogrel, terutroban, ticlopidine, maupun kombinasi aspirin-clopidogrel. Dalam studi ini, cilostazol digunakan pada pasien pasca stroke maupun transient ischemic attack (TIA).[6]

Hasil tersebut didukung oleh penelitian dari Tan et al., yang melaporkan bahwa cilostazol dapat digunakan untuk mencegah serangan stroke ulangan, perdarahan intrakranial, dan perdarahan ekstrakranial pada pasien pasca serangan stroke iskemik.[7]

Shi et al., lebih lanjut melaporkan bahwa efek protektif cilostazol akan tampak pada pasien dalam fase stroke kronik dalam mencegah perdarahan ulangan dan bukan pada saat fase akut bila dikonsumsi sebagai pencegahan sekunder.[8]

Tinjauan sistematis dan meta analisis tahun 2020 oleh McHutchison et al. memasukan 20 uji klinis terkait penggunaan cilostazol pada pasien stroke iskemik, terutama di negara Asia Pasifik. Hasil studi menunjukkan cilostazol menurunkan stroke iskemik berulang, stroke hemoragik, kematian, dan perdarahan sistemik. Namun, cilostazol lebih meningkatkan keluhan sakit kepala dan palpitasi daripada kelompok plasebo, aspirin, atau clopidogrel.[19]

Kekurangan Cilostazol sebagai Pencegahan Stroke

Namun, masih didapatkan kontroversi terkait hasil penelitian tersebut sehingga penggunaan cilostazol sebagai pencegahan sekunder stroke masih perlu dikaji lebih lanjut. Kwok et al., melaporkan bahwa cilostazol tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan anti-platelet lain terutama bila digunakan pasca serangan stroke pada daerah lakunar.[9]

Malloy et al., juga melaporkan tidak didapatkan perbedaan bermakna antara cilostazol dengan obat anti-platelet lainnya sebagai pencegahan sekunder stroke, walaupun didapatkan angka perdarahan yang lebih sedikit pada pengguna cilostazol.[10]

Cilostazol Sebagai Terapi Pasca Stenting

Telah disebutkan bahwa selain digunakan sebagai terapi penyakit arteri perifer, penggunaan cilostazol secara off-label dijumpai pada pasien pasca stenting, baik endovaskular maupun koroner. Pada umumnya, cilostazol digunakan secara kombinasi, baik dengan aspirin, clopidogrel, maupun keduanya sebagai terapi triple anticoagulant pada pasien pasca tindakan intervensi kardiovaskular.[11]

Cilostazol Sebagai Terapi Pasca Kateterisasi Jantung (PCI)

Xue et al., melaporkan bahwa kombinasi cilostazol dan clopidogrel tidak berbeda dengan kombinasi terapi standard aspirin dan klopidogrel dalam hal kejadian efek samping mayor kardiovaskular pada pasien pasca kateterisasi jantung atau percutaneous coronary intervention (PCI).[12]

Namun, pasien dengan kombinasi cilostazol memiliki frekuensi restenosis yang lebih rendah (1,5% vs 4,9%; p=0,035) serta perdarahan lebih rendah (0,49% vs 2,7%) dibandingkan dengan kelompok yang menggunakan aspirin dan clopidogrel. Pada penelitian tersebut cilostazol diindikasikan pada pasien dengan intoleransi aspirin.[12]

Selain itu, penggunaan cilostazol sebagai triple therapy dengan aspirin dan klopidogrel memiliki efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan kombinasi aspirin dan klopidogrel pada pasien pasca PCI dengan drug-eluting stent maupun bare-metal stents menurut penelitian dari Bangalore et al.[11]

Pada penelitian Bangalore et al., kombinasi triple therapy dengan cilostazol akan menurunkan risiko terjadinya High on-treatment platelet reactivity (HTPR) atau lazim disebut resistensi terhadap clopidogrel, kejadian efek samping kardiovaskular mayor, dan trombosis stent yang bermakna secara statistik dibandingkan terapi kombinasi aspirin-clopidogrel. Namun, kombinasi tersebut juga terkait dengan kepatuhan yang lebih rendah oleh karena efek samping obat dibandingkan kombinasi aspirin-clopidogrel.[11]

Cilostazol Sebagai Terapi Pasca Endovascular Stent di Penyakit Arteri Perifer

Selain itu, kombinasi cilostazol dan aspirin telah diteliti memiliki kejadian restenosis lebih rendah dibandingkan dengan monoterapi aspirin pada pasien pasca terapi endovaskular pada kasus penyakit arteri perifer di femoro-popliteal.[13]

Penelitian oleh Lida O et al, dengan metode penelitian  prospective, randomized, open-label, blinded end point dengan 127 pasien menemukan bahwa kombinasi cilostazol dengan aspirin dilaporkan memiliki angka kesembuhan lebih tinggi serta angka kejadian efek samping yang lebih rendah sebagai pencegahan sekunder pasca terapi endovaskular pada pasien dengan penyakit arteri perifer dibandingkan dengan kombinasi tiklopidin dan aspirin.[14]

Pada kasus intracranial atherosclerotic stenosis (ICAS) penggunaan kombinasi cilostazol dan aspirin tidak lebih superior dalam menunjukkan efek protektif yang bermakna secara statistik dibandingkan dengan kombinasi aspirin dan klopidogrel walaupun didapatkan progresivitas yang lebih rendah pada pasien yang simtomatik pada kelompok cilostazol.[15]

Efek Samping Cilostazol

Peningkatan episode aritmia oleh karena cilostazol dijumpai pada penggunaan cilostazol sebagai pencegahan sekunder karena iskemia miokardial akut. Lee et al., melaporkan bahwa pasien yang menggunakan cilostazol memiliki frekuensi nadi dan aritmia pada kasus iskemia miokardial akut dan tidak memiliki dampak negatif pada proses remodeling ventrikel atau fungsi ventrikel.[16]

Selain itu, efek samping cilostazol yang dapat dijumpai adalah: diare, perubahan konsistensi feses, rinitis, dan edema perifer yang akan membaik dengan sendirinya atau dengan terapi simtomatik.[16]

De Donato et al., merekomendasikan pemberian dosis cilostazol dari 50 mg tiap 12 jam hingga 100 mg tiap 24 jam untuk mengurangi risiko terjadinya efek samping terkait cilostazol seperti yang disebutkan sebelumnya. Dosis tersebut dapat ditingkatkan hingga dosis terapeutik yang dianjurkan (100 mg tiap 12 jam) dalam 4 minggu.[17]

Penggunaan Cilostazol di Indonesia

Merujuk pada hasil penelitian tersebut, penggunaan cilostazol dapat diaplikasikan di Indonesia. Menurut formularium kesehatan tahun 2018, penggunaan cilostazol dapat digunakan pada kasus penyakit arteri perifer dan dapat digunakan pada pasien yang telah resisten terhadap asam asetilsalisilat (aspirin) dengan melampirkan hasil pemeriksaan resistensi asam asetilsalisilat.[18]

Selain itu, cilostazol juga telah disetujui digunakan untuk pencegahan sekunder pada cerebral small vessel disease (CSVD). Penggunaan cilostazol dapat dijumpai pada fasilitas kesehatan tingkat 2-3.[18]

Kesimpulan

Cilostazol merupakan suatu anti-agregasi platelet yang bekerja dengan menyakat fosfodiesterase III, suatu enzim pemecah cAMP. Cilostazol sudah sering digunakan sebagai terapi klaudikasio pada pasien dengan penyakit arteri perifer dan terbukti mengurangi keluhan simptomatik pada pasien.

Berbagai penelitian melihat fungsi lain cilostazol sebagai terapi, seperti pencegahan sekunder pada kasus stroke, mencegah re-stenosis pada kasus PCI di coronary artery disease maupun pada kasus pasca endovascular stent di penyakit arteri perifer. Namun, studi yang berkaitan dengan pencegahan sampai saat belum konklusif hal ini terbukti dari penelitian yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan luaran bermakna antara cilostazol dengan antiplatelet lainnya.

Walaupun demikian pemakaian cilostazol harus dilakukan dengan pemantauan akan efek samping yang sering terjadi yaitu diare, perubahan konsistensi pada feses, peningkatan frekuensi nadi, aritmia, rinitis, dan edema perifer. Untuk menyiasatinya, penggunaan cilostazol dapat dilakukan secara bertahap dari dosis 50 mg tiap 12 jam atau 100 mg tiap 24 jam menuju 100 mg tiap 12 jam dalam 4 minggu.

 

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi