Pemeriksaan Sebelum Peresepan Kontrasepsi Hormonal

Oleh :
dr. Nurul Falah

Sebelum meresepkan kontrasepsi hormonal, dokter sebaiknya melakukan anamnesis dan pemeriksaan tertentu. Hal ini bertujuan untuk menentukan kontrasepsi mana yang paling sesuai untuk pasien dan apakah pasien memiliki kontraindikasi terhadap kontrasepsi tersebut. Namun, dokter juga perlu mengetahui pemeriksaan yang tidak diperlukan agar dapat menghindari beban biaya yang tidak perlu pada pasien dan menghindari pasien enggan menjalani kontrasepsi.[1,2]

Kontrasepsi hormonal terdiri dari hormon progestin atau kombinasi progestin dengan estrogen. Metode kontrasepsi ini tersedia dalam bentuk pil, implan, injeksi, ataupun intrauterine device (IUD).[3,4]

shutterstock_141330970-min

Pemberian kontrasepsi hormonal perlu diawali dengan konseling yang memadai melalui anamnesis yang adekuat, penjelasan jenis-jenis kontrasepsi hormonal, aturan pakai, dan juga efek samping yang mungkin muncul. Selain itu, dokter juga perlu meminta informed consent jika pemeriksaan yang lebih invasif dibutuhkan.[4,5]

Kontraindikasi Kontrasepsi Hormonal

Sebelum mengetahui anamnesis dan pemeriksaan apa yang diperlukan, dokter perlu memahami kontraindikasi kontrasepsi hormonal terlebih dahulu. Pemberian kontrasepsi yang mengandung estrogen tidak disarankan pada wanita dengan deep vein thrombosis (DVT), emboli paru, penyakit jantung iskemik, infark miokardstroke, dan penyakit vaskular trombogenik lainnya.

Pasien yang memiliki faktor risiko penyakit di atas juga tidak disarankan menerima kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen. Contohnya adalah diabetes mellitushipertensi tidak terkontrol, hiperlipidemia, penyakit hati (sirosis dan hepatoma), usia > 35 tahun, perokok, riwayat tirah baring (imobilitas) dalam waktu lama, dan riwayat tromboemboli vena sebelumnya.

Selain itu, kondisi tertentu seperti lupus eritematosus sistemik (SLE), kanker payudarakanker serviksmigraine dengan aura, transplantasi organ solid, dan penyakit katup jantung juga tidak disarankan untuk menerima kontrasepsi estrogen.[6-8]

Deteksi kontraindikasi ini bersifat penting. Namun, hingga saat ini belum ada bukti ilmiah yang sufisien untuk menilai seberapa besar kontribusi pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk deteksi penyakit-penyakit ini, terutama pada wanita yang sehat (asimtomatik). Selain itu, bila semua pemeriksaan tersebut diwajibkan, pelaksanaan kontrasepsi bisa terhambat. Oleh karena itu, pemeriksaan kondisi-kondisi tersebut saat ini tidak diwajibkan dan hanya diinformasikan sebagai suatu opsi.[6,7]

Anamnesis Sebelum Peresepan Kontrasepsi Hormonal

Anamnesis yang mumpuni akan membantu dokter menentukan apakah kontrasepsi hormonal boleh diresepkan. Poin penting yang harus dianamnesis meliputi ada tidaknya keluhan tertentu dan riwayat penyakit yang mungkin sesuai dengan penyakit-penyakit yang dikontraindikasikan di atas.

Selain itu, dokter juga perlu menanyakan riwayat kehamilan, riwayat haid yang meliputi usia menarche, panjang siklus, dan durasi haid, serta riwayat penggunaan kontrasepsi sebelumnya. Riwayat penggunaan obat tertentu yang dapat berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal seperti rifampicinlamotrigine, dan obat antiepilepsi lain juga perlu ditanyakan.[4-7]

Pemeriksaan Fisik Sebelum Peresepan Kontrasepsi Hormonal

Pemeriksaan menyeluruh yang mencakup pemeriksaan payudara dan pemeriksaan fisik genitalia wanita sebenarnya tidak diperlukan sebelum meresepkan kontrasepsi hormonal, terutama pada wanita yang tidak memiliki keluhan apa pun.[1,7]

Suatu penelitian oleh Henderson et al di Amerika Serikat menemukan bahwa hampir sepertiga dari dokter obstetri dan ginekologi dan dokter umum selalu melakukan pemeriksaan pelvis sebelum meresepkan kontrasepsi oral (dokter obstetri dan ginekologi 29% dan dokter umum 33%). Padahal, hal ini sebenarnya tidak perlu.[9]

Berbagai lembaga besar di dunia seperti World Health Organization, Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, The Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada, The American College of Obstetricians and Gynecologists, International Planned Parenthood Federation, dan The U.S. Agency for International Development telah menegaskan bahwa pemeriksaan fisik lengkap tidak diperlukan dalam peresepan kontrasepsi hormonal.[7,10]

Pemeriksaan yang dianjurkan sebelum peresepan kontrasepsi hormonal terbatas pada pemeriksaan tekanan darah dan berat badan. Pemeriksaan fisik lainnya hampir tidak memiliki kontribusi dalam peresepan kontrasepsi hormonal.[6,7]

Pemeriksaan Laboratorium Sebelum Peresepan Kontrasepsi Hormonal

Seperti halnya pemeriksaan fisik, sebagian besar pemeriksaan laboratorium juga tidak dibutuhkan sebelum peresepan kontrasepsi hormonal. Pemeriksaan yang diperlukan hanyalah pemeriksaan kehamilan yang biasanya dilakukan dengan urine.[6,11]

Namun, seorang dokter juga bisa menentukan bahwa pasien tidak hamil jika pasien tidak memiliki tanda dan gejala kehamilan, serta memenuhi paling tidak satu dari kriteria berikut:

  • Baru melewati hari pertama haid terakhir ≤7 hari yang lalu dan memiliki siklus serta durasi haid yang normal
  • Tidak pernah berhubungan intim sejak haid selesai
  • Aktif menggunakan metode kontrasepsi lain secara tepat dan konsisten
  • Mengalami abortus spontan maupun yang telah diinduksi < 7 hari terakhir
  • Masih dalam 4 minggu masa nifas
  • Menyusui secara eksklusif[6,11]

Suatu tinjauan sistematik oleh Tepper et al dari tiga studi membandingkan akurasi diagnosis kehamilan menggunakan kriteria di atas dengan pemeriksaan kehamilan melalui tes urine. Sensitivitas kriteria di atas untuk mendiagnosis kehamilan berkisar antara 55–100% dan spesifisitasnya berkisar antara 39–89%. Negative predictive value konsisten di tiap studi, yaitu antara 99–100%.[12]

Pemeriksaan Penyakit Menular Seksual Tidak Diwajibkan

Kebanyakan wanita tidak memerlukan skrining penyakit menular seksual sebelum peresepan kontrasepsi hormonal. Jika seorang wanita dengan faktor risiko penyakit menular seksual belum diskrining untuk penyakit seperti gonore dan klamidia, maka menurut pedoman CDC, skrining dapat dilakukan pada saat itu juga dan peresepan kontrasepsi hormonal tidak boleh ditunda.

Meski demikian, wanita dengan servisitis purulen, infeksi klamidia, atau infeksi gonokokus sebaiknya menghindari pemasangan kontrasepsi hormonal dengan metode IUD dan harus dipilihkan metode kontrasepsi hormonal lainnya.[7,13]

Pemeriksaan Penyakit Kronik Tidak Diwajibkan

Skrining penyakit-penyakit kronik yang menjadi kontraindikasi juga tidak diwajibkan pada wanita asimtomatik karena dapat menunda kontrasepsi dan sebenarnya belum memiliki bukti yang sufisien tentang seberapa signifikan kontribusinya. Skrining-skrining tersebut hanya menjadi suatu opsi.[7,13]

Tinjauan sistematik Tepper et al membandingkan kelompok wanita yang telah menjalani uji laboratorium untuk menilai kadar glukosa, profil lipid, enzim liver, dan sitologi serviks, dengan kelompok wanita yang belum menjalaninya sebelum kontrasepsi. Hasil tidak menemukan bukti yang relevan tentang manfaat melakukan pemeriksaan laboratorium sebelum meresepkan kontrasepsi hormonal, terutama pada wanita usia reproduktif yang asimtomatik.[13]

Klasifikasi Penentuan Pemeriksaan yang Dibutuhkan Sebelum Peresepan Kontrasepsi Hormonal

Pada tahun 2016, U.S. Medical Eligibility Criteria for Contraceptive Use (US MEC) mengklasifikasikan pemeriksaan yang dibutuhkan sebelum peresepan kontrasepsi ke dalam tiga kelas, yaitu kelas A, B, dan C. Klasifikasinya adalah sebagai berikut:

  • Kelas A: Pemeriksaan sangat penting dan mendesak untuk memastikan keamanan dan efektivitas kontrasepsi
  • Kelas B: Pemeriksaan berkontribusi untuk keamanan dan efektivitas kontrasepsi, tetapi implementasi dapat dipertimbangkan sesuai dengan kebijakan layanan kesehatan publik. Risiko tidak melakukan pemeriksaan harus diimbangi dengan manfaat penyediaan metode kontrasepsi
  • Kelas C: Pemeriksaan tidak berkontribusi secara substansial untuk penggunaan kontrasepsi yang aman dan efektif[7,8]

Berdasarkan klasifikasi tersebut, pemeriksaan fisik yang termasuk dalam kelas A sebelum peresepan kontrasepsi hormonal menurut US MEC adalah pemeriksaan tekanan darah. Sementara itu, pemeriksaan indeks massa tubuh, pemeriksaan fisik payudara, pemeriksaan bimanual, dan inspeksi serviks tergolong ke dalam kelas C.[7,8]

Pemeriksaan laboratorium untuk menilai kadar gula darah, profil lipid, enzim liver, hemoglobin, mutasi trombogenik, Papanicolaou smear, dan skrining penyakit menular seksual (termasuk HIV) semuanya tergolong ke dalam kelas C.[7,8]

Kesimpulan

Pemeriksaan yang dilakukan sebelum meresepkan kontrasepsi hormonal harus rasional dan disesuaikan dengan kondisi pasien agar tidak muncul beban biaya yang tidak diperlukan maupun penundaan kontrasepsi. Anamnesis perlu menanyakan keluhan atau riwayat penyakit terdahulu yang mungkin menjadi kontraindikasi, riwayat kehamilan, riwayat menstruasi, dan riwayat pengobatan.

Sementara itu, pemeriksaan fisik yang dianjurkan hanyalah pemeriksaan tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan hanyalah pemeriksaan kehamilan. Pemeriksaan kehamilan juga dapat diganti dengan pertanyaan skrining kehamilan. Skrining penyakit menular seksual dan skrining berbagai penyakit kronik lain tidak diwajibkan, terutama pada wanita usia reproduktif yang asimtomatik.

Meskipun metode kontrasepsi hormonal mungkin tidak aman untuk wanita dengan tromboemboli, diabetes mellitus, hiperlipidemia, atau penyakit liver, manfaat skrining rutin sebelum kontrasepsi dinilai tidak cukup konklusif untuk menunda kontrasepsi. The United Nations juga telah mendeklarasikan di tahun 2012 bahwa akses kontrasepsi adalah hak asasi manusia. Dokter yang melakukan konseling dan pemeriksaan harus memfasilitasi pasien untuk mendapatkan kontrasepsi, bukan menjadi halangan yang menyulitkan pasien mendapatkan kontrasepsi.

Referensi