Tes Widal Sebagai Pemeriksaan Awal Demam Tifoid: Masihkan Bermanfaat?

Oleh :
dr. Isna Arifah Rahmawati

Tes Widal sebagai pemeriksaan awal untuk menegakkan diagnosis demam tifoid telah digunakan sejak lebih dari seratus tahun yang lalu. Negara-negara maju mulai meninggalkan tes ini karena tingkat sensitivitas dan spesifitas rendah, serta pemeriksaan lain yang lebih dapat dipercaya dan akurat mudah diakses. Namun, tidak demikian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, di mana tes Widal masih sering digunakan terutama di daerah dengan fasilitas kesehatan dan tenaga profesional yang kurang memadai.

Diagnosis Demam Tifoid

Diagnosis demam tifoid penting untuk ditegakkan dalam 3 minggu. Hal ini bertujuan agar penatalaksanaan yang adekuat dapat dilakukan secepatnya untuk mencegah komplikasi, seperti perforasi ususperitonitis, hepatitis tifosa, pankreatitis tifosa, ensefalopati, syok sepsis, bahkan kematian.[1]

Tes Widal Sebagai Pemeriksaan Awal Demam Tifoid-min

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi karena bakteri Salmonella typhi, dan dapat ditularkan melalui rute fekal-oral, yaitu melalui air atau makanan yang terkontaminasi. Penyakit ini lebih sering ditemukan di negara-negara berpendapatan menengah atau rendah dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan sanitasi yang buruk, termasuk negara-negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Indonesia termasuk negara endemis demam tifoid.[1-3]

Gejala demam tifoid beragam dan sering kali tidak spesifik, sehingga sulit dibedakan dengan penyakit demam lain. Gejala enterokolitis berupa mual, muntah, nyeri perut, kembung, dan diare sering dijumpai pada 12−48 jam setelah inokulasi. Demam tifoid klasik dengan pola step ladder biasanya dapat dijumpai 1 minggu setelah infeksi. Selain itu, gejala seperti lain seperti coated tongue, hepatomegali, splenomegali, dan konstipasi juga dapat ditemukan.[1,2,4]

Diagnosis definitif demam tifoid ditegakkan dengan kultur bakteri dari sumsum tulang, darah, dan feses. Namun, pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang lama, biaya yang mahal, peralatan yang khusus, dan tenaga profesional yang terlatih. Saat ini, telah mulai digunakan rapid detection tests (RDTs) untuk mendeteksi infeksi S. typhi pada masa akut, seperti Typhidot-M, TUBEX-TM, dan Test-it. Pemeriksaan RDTs memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang sedang, dan belum ada bukti yang cukup untuk mendukung penggunaannya dalam diagnosis demam tifoid.[3,5]

Tes Widal Sebagai Metode Diagnosis Demam Tifoid

Tes Widal, walaupun memiliki keterbatasan sensitivitas dan spesifitas, merupakan pemeriksaan yang umum digunakan untuk menegakkan diagnosis tifoid. Tes Widal terutama digunakan di negara-negara berkembang, karena harga yang relatif murah, tersedia secara luas, dan prosedur pemeriksaan yang mudah sehingga tidak membutuhkan tenaga profesional terlatih.[3,5]

Tes widal pertama kali dikembangkan oleh F. Widal pada tahun 1896. Prinsip dasar tes serologi ini memanfaatkan reaksi aglutinasi yang terjadi antara antibodi spesifik dalam darah terhadap antigen O (surface) dan H (flagellar) dari S.typhi.[6]

Interpretasi Tes Widal

Interpretasi hasil tes Widal berbeda-beda tergantung dari tingkat endemisitas daerah. Daerah dengan tingkat endemisitas yang tinggi, termasuk di Indonesia, memerlukan titer antibodi yang lebih tinggi untuk mendukung diagnosis. Di daerah endemis, diagnosis dengan menggunakan tes Widal tunggal tidak dapat dipercaya karena kemungkinan positif palsu yang tinggi.[1,6]

Oleh karena itu, tes widal perlu dilakukan 2 kali dengan jarak waktu 7−14 hari. Dinyatakan hasil positif jika terdapat peningkatan titer antibodi 4 kali lipat. Namun, hasil positif ini sulit didapatkan, bahkan pada kasus dengan hasil kultur feses positif.[1,6]

Sensitivitas dan Spesifisitas Tes Widal

Penelitian mengenai performa tes Widal telah banyak dilakukan untuk mengevaluasi tingkat reliabilitasnya. Studi systematic review oleh Mengist et al melibatkan 16 artikel penelitian dari tahun 1994−2015, dengan sampel lebih dari 2000 pasien. Studi ini menunjukkan bahwa rerata sensitivitas tes Widal 73,5%, spesifisitas 75,7%, positive predictive value (PPV) 60%, dan negative predictive value (NPV) 75,2%.[7]

Penelitian cross sectional pada tahun 2019 oleh Mawazo A et al melibatkan 158 sampel dari tiga rumah sakit rujukan regional di Tanzania. Penelitian ini menunjukkan bahwa tes Widal memiliki sensitivitas 81,5%, spesifisitas 18,3%, PPV 10,1%, dan NPV 89,7%.[8]

Data di atas sama-sama menunjukkan bahwa tes Widal memiliki sensitivitas dan NPV yang cukup tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa tes Widal bermanfaat sebagai pemeriksaan awal untuk menyingkirkan kasus yang bukan demam tifoid. Namun, tingkat spesifisitas dan PPV yang rendah menunjukkan tes Widal tidak dapat dijadikan sebagai tes konfirmasi diagnosis demam tifoid.[7,8]

Oleh karena itu, diagnosis demam tifoid memerlukan pemeriksaan lain selain tes Widal. Pemeriksaan lain tersebut harus memiliki tingkat spesifisitas dan PPV yang lebih tinggi, seperti kultur darah atau feses, sebagai pemeriksaan konfirmasi.[7,8]

Positif dan Negatif Palsu Tes Widal

Positif palsu tes Widal terutama terjadi di daerah endemis demam tifoid, termasuk negara Indonesia. Hal ini karena populasi telah mendapatkan eksposur berulang bakteri S. typhi. Selain itu, beberapa infeksi mikroorganisme lain, seperti malaria dan demam dengue, juga dapat menimbulkan hasil positif pada tes Widal.[6,9]

Riwayat vaksin tifoid, reaksi silang dengan Salmonella non-tifoid, serta rendahnya standar antigen yang digunakan, juga dapat menyebabkan hasil positif palsu.Tingkat positif palsu yang tinggi dapat mengakibatkan kondisi resistensi antibiotik akibat overdiagnosis dan penggunaan antibiotik yang berlebihan.[6,9]

Sedangkan negatif palsu tes Widal dapat ditemukan pada kasus dengan jumlah bakteri atau toksin yang tidak adekuat untuk memicu produksi antibodi tubuh pasien. Selain itu, negatif palsu juga terjadi karena pemberian antibiotik sebelum pemeriksaan, kesalahan teknis pada saat prosedur, serta rendahnya kualitas antigen yang digunakan. Tingkat negatif palsu yang tinggi dapat menyebabkan kasus demam tifoid yang tidak terdiagnosis dan terlambat diobati.[6,9]

Kesimpulan

Tes Widal merupakan tes serologi yang mendeteksi reaksi aglutinasi antara antibodi spesifik dalam darah terhadap antigen O (surface) dan H (flagellar) dari Salmonella typhi. Hasil tes Widal dinyatakan positif jika terjadi kenaikan serologi 4 kali lipat, di mana jarak antara kedua tes adalah 7−14 hari.

Tes Widal memiliki tingkat sensitivitas dan NPV yang cukup tinggi, tetapi spesifisitas dan PPV yang rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa tes Widal hasil negatif dapat menyingkirkan demam tifoid, tetapi hasil positif tidak dapat mengkonfirmasi diagnosis. Oleh karena itu, penggunaan tes Widal sebagai pemeriksaan satu-satunya untuk menegakkan diagnosis demam tifoid tidak disarankan. Pemeriksaan lanjutan berupa kultur darah atau feses diperlukan untuk konfirmasi diagnosis demam tifoid.

Di Indonesia, tes Widal masih menjadi modalitas utama karena harga relatif murah, tersedia luas, prosedur pemeriksaan mudah, dan tidak membutuhkan tenaga profesional terlatih. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa negara Indonesia termasuk daerah endemis demam tifoid, sehingga kenaikan titer antibodi yang mendukung diagnosis harus lebih tinggi dan kemungkinan positif palsu yang tinggi. Sebaliknya, risiko negatif palsu di Indonesia juga mungkin tinggi karena penggunaan antibiotik yang tidak rasional.

Penelitian terkait tes Widal khusus di negara Indonesia perlu dilakukan untuk mengetahui lebih pasti apakah tes ini bermanfaat sebagai pemeriksaan awal demam tifoid. Disertai penelitian untuk mengembangkan metode pemeriksaan demam tifoid lain yang murah, mudah, cepat, tersedia luas, dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi.

Referensi