Diet Ketogenik untuk Schizophrenia

Oleh :
dr. Zuhrotun Ulya, Sp.KJ, M.H.

Diet ketogenik diduga bermanfaat dalam memperbaiki metabolisme energi dan komunikasi sinaptik otak, sehingga dapat berguna dalam tata laksana schizophrenia. Kajian mengenai diet ketogenik sudah ada sejak lama, diawali dengan bukti manfaat diet ketogenik pada epilepsi. Setelah itu, berbagai penelitian terus mencari manfaat diet ketogenik pada kondisi klinis berbeda seperti diabetes mellitus, dementia, sindrom metabolik, glioma, hingga gangguan psikiatri.[1,2]

Penelitian terkait diet ketogenik menunjukkan hasil positif pada berbagai kasus psikiatri, antara lain gangguan cemas, depresi, gangguan bipolar, dan gangguan pemusatan perhatian dan perilaku. Meskipun kebanyakan penelitian dilakukan pada hewan coba, berbagai studi kasus pada pasien dewasa mengindikasikan bahwa diet ketogenik dapat bermanfaat dalam pengobatan schizophrenia.[2]

shutterstock_1457080760

Masalah Dalam Tata Laksana Schizophrenia

Schizophrenia adalah gangguan neurodevelopmental yang ditandai dengan sekumpulan gejala kompleks termasuk halusinasi, waham, gangguan perilaku, penarikan diri secara sosial, serta gangguan fungsi eksekutif dan proses pemusatan perhatian. Tata laksana utama yang digunakan saat ini adalah obat antipsikotik atipikal yang bekerja melalui reseptor dopamin D2 serotonin 2A. Kebanyakan obat golongan ini dilaporkan efektif hanya pada sebagian gejala schizophrenia, dan menimbulkan berbagai efek samping merugikan seperti penambahan berat badan, sindrom metabolik, dan gangguan kardiovaskular. Sayangnya, efek samping ini timbul akibat mekanisme yang sama yang menjadi mekanisme aksi dasar dari obat.

Penemuan obat baru yang lebih efektif dan dengan profil keamanan lebih baik, terhalang oleh keterbatasan pengetahuan terkait patofisiologi penyakit schizophrenia. Keterbatasan pengetahuan terkait mekanisme terjadinya schizophrenia ini, menyebabkan sulitnya menentukan target pengobatan baru.[3]

Mekanisme Diet Ketogenik pada Schizophrenia

Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan rendah karbohidrat. Dengan asupan karbohidrat yang rendah, lemak akan lebih banyak digunakan sebagai sumber energi dibandingkan karbohidrat. Hepar akan mengubah lemak menjadi asam lemak dan menghasilkan benda keton yang menggantikan glukosa sebagai sumber energi.[4]

Mekanisme aksi diet ketogenik pada schizophrenia memang belum sepenuhnya dipahami. Namun, secara teoritis, diet ketogenik bermanfaat dalam mengembalikan metabolisme energi dan komunikasi sinaptik otak. Abnormalitas glukosa dan metabolisme energi otak ditemukan pada schizophrenia, sehingga perbaikan kedua hal tersebut oleh diet ketogenik diduga akan bermanfaat dalam tata laksana pasien.[3]

Selain itu, pada schizophrenia diet ketogenik diduga akan membantu mengubah rasio GABA dan glutamat dengan menekan katabolisme, meningkatkan sintesis GABA, serta meningkatkan metabolisme glutamat. [5] Ketosis akibat diet ketogenik diduga akan mengaktivasi metabolisme astrosit otak, sehingga meningkatkan konversi glutamat menjadi glutamin, hingga akhirnya dikonversi menjadi GABA.[6]

Efikasi Diet Ketogenik dalam Tata Laksana Schizophrenia

Bukti ilmiah mengenai manfaat diet ketogenik untuk schizophrenia masih didasarkan pada uji hewan model dan serangkaian laporan kasus. Belum ada uji klinis acak terkontrol dengan jumlah sampel yang adekuat untuk menarik kesimpulan terkait ini.

Penelitian pada hewan model tikus dengan schizophrenia yang diberikan diet ketogenik selama 3 minggu, menunjukkan perbaikan perilaku patologis yang terdiri dari aspek psikomotor, tingkah laku, penarikan diri, dan defisit memori.[7]

Studi kasus pada pasien schizophrenia dewasa kembar, wanita dan pria usia 22 tahun, yang diberikan diet ketogenik selama 6 minggu melaporkan adanya penurunan skor PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale) pada kedua pasien. Pada pasien wanita, skor PANSS menurun dari 97 menjadi 91, dan pada pasien pria dari 82 menjadi 75.[8]

Studi kasus lain dilakukan pada 2 orang pasien schizophrenia dewasa. Pasien A adalah wanita usia 82 tahun, dan pasien B adalah wanita usia 39 tahun. Beberapa minggu setelah mencoba diet ketogenik, pasien merasakan perbaikan gejala psikotik yang signifikan dan dilaporkan mengalami resolusi gejala setelah beberapa bulan.[9]

Serangkaian studi tersebut mengindikasikan potensi diet ketogenik dalam tata laksana schizophrenia. Namun, belum cukup kuat untuk dijadikan dasar penggunaan diet ketogenik secara rutin dalam manajemen kasus schizophrenia. Uji klinis acak terkontrol dengan penyamaran dan jumlah sampel adekuat masih diperlukan untuk memastikan efikasi, kemanan, risiko, dan cara penerapan terbaik diet ketogenik untuk schizophrenia.

Kesimpulan

Diet ketogenik telah banyak diteliti manfaatnya dalam manajemen berbagai kasus psikiatri. Untuk schizophrenia, diet ketogenik diduga mampu mengembalikan metabolisme energi dan komunikasi sinaptik otak, sehingga dapat mengurangi gejala psikotik yang muncul pada pasien schizophrenia.

Berbagai studi pada hewan model dan laporan kasus menunjukkan potensi diet ketogenik dalam tata laksana schizophrenia. Namun, belum ada uji klinis acak terkontrol dengan kekuatan bukti yang baik untuk merekomendasikan penggunaan diet ketogenik secara rutin dalam tata laksana schizophrenia.

Referensi