Risiko Sindrom Metabolik pada Penggunaan Antipsikotik

Oleh :
dr. Soeklola SpKJ MSi

Pemberian antipsikotik secara rutin dan jangka panjang perlu mempertimbangkan efek samping yang mungkin terjadi. Efek samping pemberian antipsikotik yang sering dilaporkan, selain efek samping ekstrapiramidal, adalah efek samping sindrom metabolik (MetS).[1-8]

Efek samping sindrom metabolik ini dilaporkan hingga 46.7% pada pasien skizofrenia yang mendapatkan antipsikotika.[8]

shutterstock_607381547

Sindrom metabolik ditandai dengan obesitas sentral (yang ditandai dengan peningkatan indeks massa tubuh (IMT), dislipidemia, hipertensi, dan gangguan regulasi glukosa, yakni diabetes mellitus tipe 2 (DMT2).[1-8]

Efek samping MetS ini sering tidak ditanggapi secara serius. Padahal gangguan metabolik berkontribusi menurunkan angka harapan hidup hingga 20 tahun akibat penyakit kardiovaskular.[1-7]

Selain itu MetS juga berkaitan dengan hendaya kognitif baik pada pasien gangguan psikiatri maupun pasien nonpsikiatri. Hal ini tentu berdampak pada peningkatan disabilitas dan penurunan kualitas hidup pada pasien yang bersangkutan. [1,5]

Antipsikotika dan Risiko Metabolik

Clozapine dan olanzapine merupakan antipsikotik yang paling sering dilaporkan memberikan efek samping MetS seperti peningkatan berat badan, resistensi insulin, dan dislipidemia. Berbagai penelitian juga menyatakan sekitar 50% pasien yang diterapi dengan antipsikotik akan mengalami komplikasi MetS.[1,3]

Awalnya terdapat dugaan risiko sindroma metabolik lebih meningkat pada penggunaan antipsikotik atipikal/second generation antipsychotic (SGA). Hal ini disebabkan karena aktivitasnya tidak hanya pada reseptor dopamine (D2), tetapi juga terdapat di reseptor serotonin (5-HT2), histamine dan asetilkolin.[3,8]

Namun berdasarkan pengamatan dari penelitian lainnya ternyata peningkatan risiko mengalami diabetes melitus tipe 2 tetap terjadi baik pada SGA maupun tipikal (first generation antipsychotic/FGA).[3,9]

Adapun risiko tambahan berkembangnya sindroma metabolik seperti kerentanan genetik dan pola hidup yang rentan, misalnya stres, kebiasaan makan yang buruk, status sosioekonomi rendah, inaktif secara fisik dan merokok.[3]

Obesitas Sentral dan Peningkatan Berat Badan

Hingga saat ini mekanisme utama yang mendasari hal ini belum diketahui secara pasti. Adapun dugaan terkuat berhubungan dengan ketimpangan antara intake makanan dengan exercise, serta induksi SGA terhadap hiperfagia. Induksi ini berkaitan dengan kerja antagonis SGA di reseptor histamine (H1), serotonin (5-HT2C), dopamine maupun di sistem saraf pusat.[3,8,10,11]

Selain itu leptin sebagai peptida yang berfungsi untuk memberikan sinyal rasa kenyang juga mengalami gangguan regulasi leptin akibat penggunaan antipsikotik. Gangguan ini juga berkaitan dengan disregulasi massa jaringan adiposa, insulin resisten, dan keseimbangan energi.[8,10]

Pada beberapa kasus, penumpukan lemak bisa terjadi tanpa adanya hiperfagia, kemungkinan hal ini dapat disebabkan oleh efek sedasi, kekakuan otot, penurunan aktivitas akibat penggunaan antipsikotik.

Hal ini dapat menginduksi terjadinya peningkatan berat badan. Penelitian pada hewan coba menunjukkan clozapine dan olanzapine juga meningkatkan terjadinya lipogenesis dan akumulasi trigliserida, terutama terlokalisir di jaringan putih adiposa viseral.[8,10,11]

Obesitas, terutama lemak visceral berkaitan dengan keadaan inflamasi ringan yang kemudian meningkatkan respons inflamasi perifer. Proses inflamasi inilah yang berperan pada komorbiditas terkait obesitas.[8,11]

Disregulasi Glukosa

Chlorpromazine (CPZ) diketahui mampu memblokade uptake glukosa ke dalam eritrosit manusia. Beberapa antipsikotika lain pada tikus diketahui menginhibisi uptake glukosa lewat inhibisi glucose transporter 1 (GLUT1); GLUT3 yaitu clozapine dan risperidon di sel pheochromocytoma (PC12); serta GLUT4 oleh clozapine dan flufenazin di sel otot L6.

Clozapine dan olanzapine juga dilaporkan menurunkan insulin yang berfungsi menstimulasi transport glukosa ke dalam pre-adiposa dan adiposit primer tikus. Selain itu disfungsi mitokondria juga terjadi akibat antipsikotik mengubah fungsi mitokondria terhadap enzim metabolik dan metabolisme karbon, maupun transpor elektron selama fosforilasi oksidatif. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan metabolisme glukosa, resistensi insulin maupun peningkatan risiko DMT2.[8,12,13]

Dislipidemia

Antipsikotika menghambat metabolisme lipid melalui sterol regulatory element binding protein (SREBP). Protein tersebut berperan sebagai regulator sintesis asam lemak dan senyawa yang diperlukan sebagai regulasi gen untuk metabolisme lipid, aksi insulin dan obesitas.[8,13]

Antipsikotika menginduksi penurunan kadar long-chain omega-3 (LC n-3) fatty acids, termasuk eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA). Telah diketahui bahwa peningkatan kadar LCn-3 berhubungan dengan penurunan kadar trigliserida (TG) dan demikian sebaliknya, rendahnya kadar LCn-3 berkaitan dengan peningkatan TG, berat badan, dan non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD).[8]

Faktor Risiko Sindrom Metabolik (MetS)

Sindrom metabolik pada pasien dengan antipsikotik dipengaruhi oleh beberapa hal seperti usia, jenis kelamin, jenis antipsikotik dan hendaya kognitif.

Remaja dan Episode Pertama

Tingkat komplikasi metabolik meningkat pada pasien berusia muda yang mengalami episode pertama psikotik serta mendapatkan antipsikotika. Peningkatan risiko DMT2 terjadi hingga 2,6-3 kali lipat dibandingkan kontrol sehat dan 2,1-1,8 kali lipat dibandingkan kontrol dengan gangguan psikiatrik lainnya.

Luaran yang lebih buruk dipengaruhi oleh faktor paparan antipsikotika, genetik dan pola hidup yang akan mendorong terjadinya obesitas dan resistensi insulin.[1,11,12]

Risiko DMT2 meningkat pada remaja dengan jenis kelamin laki-laki, mendapatkan olanzapine, memiliki komorbid dengan gangguan mood, dan penggunaan antipsikotik jangka panjang.

Sementara pada pasien spektrum autisme yang mendapatkan SGA dikatakan memiliki risiko DMT2 yang lebih rendah. Dugaan atas temuan ini yaitu adanya medikasi tambahan yang digunakan atau data yang ada terbagi dengan gangguan psikiatri lain, misalnya gangguan mood atau spektrum psikosis.[12]

Jenis Kelamin

Secara keseluruhan peningkatan risiko MetS yang lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki ditemui pada pasien psikotik episode pertama, pasien remaja maupun pasien dewasa. Namun terdapat data yang menunjukkan hiperfagia dan peningkatan berat badan lebih banyak terjadi pada jenis kelamin perempuan. Belum diketahui pasti mekanisme yang mendasari hal ini.[11,12]

Jenis-jenis Antipsikotik

Diketahui bahwa beberapa antipsikotika banyak berperan terhadap peningkatan berat badan, terutama olanzapine, clozapine, haloperidol dan CPZ; disregulasi glukosa terutama pada penggunaan clozapine, risperidone dan flufenazin; dan dislipidemia. [8]

Aripiprazol dan ziprasidon diketahui tidak meningkatkan risiko hiperfagia yang mengakibatkan kenaikan berat badan dan diketahui penggunaan kronis aripiprazol juga mampu menurunkan berat badan. Belum diketahui mekanisme yang mendasari hal tersebut.[11]

Namun terdapat dugaan bahwa aripiprazole melimitasi proses inflamasi dengan meningkatkan sinyal anti-inflamasi sehingga dikatakan mengurangi risiko MetS. Berbeda dengan peningkatan kadar sitokin proinflamasi yang terjadi pada penggunaan clozapine dan olanzapine.[8]

Data ini bertentangan dengan sebuah studi yang mengungkapkan tetap terjadi peningkatan risiko mengalami DMT2 pada penggunaan aripiprazole jangka panjang jika dibandingkan subjek normal. Hal ini menunjukkan tidak ada antipsikotika yang benar-benar bebas dari risiko MetS.[12]

Hendaya Kognitif

Telah diketahui polifarmasi atau dosis tinggi antipsikotik dapat mempengaruhi fungsi kognitif. Antipsikotik sendiri meningkatkan risiko MetS.[1-8] Sindroma metabolik pada individu yang tidak mengalami gangguan psikiatri akan meningkatkan risiko penurunan fungsi kognitif di ranah memori, kemampuan visuospasial, fungsi eksekutif, kecepatan memproses informasi dan fungsi intelektual.[1,14]

Pengamatan pada pasien skizofrenia menunjukkan bahwa MetS maupun fungsi kognitif saling terkait dan menjadi prediktor timbulnya satu sama lain. Fungsi kognitif yang buruk diduga mempengaruhi seseorang untuk mengontrol asupan makan, mengatur gaya hidup sehat, mencari pengobatan yang lebih baik, termasuk menjaga kesehatan yang lebih baik.[1]

Rekomendasi Tatalaksana

Untuk menurunkan risiko sindrom metabolik tersebut perlu dibutuhkan pendekatan khusus. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara pemeriksaan berkala, penambahan obat dan intervensi gaya hidup.

Pemeriksaan Berkala

Risiko berkembangnya MetS sekitar 50% kasus yang mendapatkan antipsikotika. [1,7] Identifikasi di awal menjadi penting untuk mengurangi risiko komplikasi MetS ataupun angka relaps akibat penurunan kepatuhan pengobatan.[5,7]

Faktor risiko MetS berupa obesitas abdominal (obesitas sentral), peningkatan kadar gula darah puasa, peningkatan kadar TG, penurunan kadar high density lipoprotein (HDL) dan peningkatan tekanan darah.[5,15]

Hal ini dapat dideteksi sedini mungkin dengan melakukan monitoring metabolik berkala berupa pencatatan riwayat penyakit metabolik (baik personal maupun dalam keluarga), pencatatan indeks massa tubuh (IMT), lingkar pinggang, pengukuran tekanan darah, gula darah puasa atau hemoglobin A1c (HbA1c), dan profil lipid puasa. [4-7]

American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan penggunaan gula darah puasa atau HbA1c sebagai indikator status diabetes dan faktor risiko berkembangnya penyakit jantung koroner (PJK). Penyakit kardiovaskular juga akan meningkat pada pasien dengan kadar TG yang tinggi disertai dengan kadar HDL yang rendah dan IMT yang tinggi.[5]

Rekomendasi American Psychiatric Association (APA) terhadap riwayat penyakit medis dilakukan saat sebelum memulai terapi antipsikotik, pada minggu ke-12, dan setiap tahunnya. Secara spesifik pengukuran berat badan dilakukan sebelum memulai terapi antipsikotik setiap 4 minggu (selama 12 minggu pertama) dan dilanjutkan menjadi setiap 3 bulan sekali jika tidak ditemui komplikasi apapun.

Sementara pengukuran lingkar pinggang, tekanan darah, gula darah puasa (atau HbA1c), dan profil lemak puasa dilakukan saat sebelum memulai terapi, pada minggu ke-12 dan setiap 3 bulan sekali.[4-6]

Penambahan Obat

Beberapa obat dapat diberikan bersama dengan antipsikotik untuk menurunkan berat badan pada pasien dan menghindari Mets

Adjuvan Aripiprazol:

Terdapat penelitian yang mengungkapkan terdapat potensi penurunan berat badan hingga sebesar 2 Kg jika dibandingkan plasebo dengan penggunaan aripiprazole. Hal ini dianggap potensi untuk menjadi terapi adjuvant terutama jika tidak mungkin dilakukan penggantian antipsikotik (terutama pada penggunaan klozapin atau olanzapin).[4,16]

Sementara penambahan terhadap antipsikotika lain dianggap tidak memberikan perbaikan hasil. Dosis aripiprazol dimulai dari 5 mg/hari dan dapat ditingkatkan setelah 2 minggu hingga 15 mg/hari. Walaupun tidak terdapat data yang konsisten efek terhadap kadar kolesterol, trigliserida dan glukosa. Namun, tampak cenderung terjadi perbaikkan kolesterol dan TG.[4,16]

Aripiprazol tidak memperburuk gejala psikotik sehingga sebagai adjuvant klozapin dan olanzapine dianggap aman dan efektif untuk mengatasi peningkatan berat badan. Penggunaan ini tetap perlu mempertimbangkan besaran efek buruk polifarmasi dibandingkan manfaat yang diperoleh. [4,16]

Adjuvan Metformin:

Metformin merupakan terapi lini pertama pada DMT2. Aksi utamanya berupa penurunan produksi glukosa hepatik dan meningkatkan sensitivitas insulin di otot. Metformin memiliki efek netral terhadap berat badan dan mereduksi kadar kolesterol total, low density lipoprotein (LDL), dan trigliserida.

Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa efektivitas intervensi gaya hidup sama baik dengan metformin sehingga pada individu dengan risiko DMT2 tetap intervensi gaya hidup menjadi terapi lini pertama. [4,17]

Setelah intervensi tersebut gagal maka baru dapat memulai pemberian metformin. Penggunaan metformin sendiri disarankan pada:

  • Orang dewasa dengan risiko tinggi (kadar glukosa darah puasa 100 - 144 mg/dL atau HbA1c 6 - 6.5%),
  • Orang dewasa dengan risiko tinggi yang tidak dapat mengikuti program intervensi gaya hidup karena mengalami disabilitas atau penyebab medis lainnya. [4,17]

Dibandingkan plasebo, metformin dapat mengurangi hingga 3 kilogram oleh peningkatan berat badan yang diinduksi oleh antipsikotik. Perlu diingat bahwa metformin tidak dapat diberikan pada pasien dengan komorbiditas ketergantungan atau penyalahgunaan alkohol karena akan meningkatkan risiko hipoglemik dan risiko asidosis laktat. Selain itu penggunaan metformin perlu melakukan pemantauan terhadap fungsi ginjal dan kadar vitamin B12. [4]

Intervensi Gaya Hidup

Intervensi gaya hidup dikenal dengan behavioural lifestyle programs, terutama dibutuhkan pada pasien yang mengalami overweight atau obesitas, termasuk merupakan intervensi lini pertama pada populasi dengan risiko sedang hingga tinggi untuk terjadinya DMT2. Intervensi tersebut terdiri dari peningkatan aktivitas fisik, memperbaiki perilaku makan, memperbaiki kualitas diet, dan penurunan intake energi. [4,17]

Pendekatan diet dan aktivitas fisik sendiri mencapai reduksi berat badan rata-rata sekitar 2.9 kilogram selama 12 bulan. Durasi sesi latihan fisik bervariasi dari 2 jam perminggu hingga 30 menit perhari. [4,18]

Beberapa program juga memasukkan motivational interviewing, terapi kognitif perilaku ataupun konseling. Intervensi yang dilakukan secara keseluruhan akan lebih efektif dibandingkan intervensi latihan fisik. [4,18]

Intervensi ini juga memiliki efek positif terhadap lingkar pinggang, kadar TG, gula darah puasa dan insulin. Dibandingkan kontrol rata-rata terjadi pengurangan sekitar 3 kg/m2 dari IMT (pada kelompok kontrol sekitar 1 kg/m2). Namun belum terdapat data yang menunjukkan berapa lama program tersebut dapat dijalankan, termasuk apakah dibutuhkan sesi booster setelah jangka panjang. [4,18]

Penggantian Antipsikotika

Penurunan dosis, penghentian sementara atau penghentian akibat efek samping peningkatan berat badan tidak disarankan karena akan meningkatkan risiko relaps. Penurunan dosis baru dimungkinkan jika gejala sudah terkontrol karena terdapat dugaan kuat bahwa peningkatan berat badan berbanding lurus dengan besaran dosis.

Antipsikotika sendiri terbagi dalam 3 golongan terhadap risiko peningkatan berat badan, yaitu:

  • Risiko tinggi: olanzapine, clozapine, chlorpromazine
  • Risiko sedang: quetiapin, risperidon, paliperidone

  • Risiko rendah: asenapine, amisulpride, aripiprazole, lurasidone, ziprasidone, haloperidol. [4,6,17]

Penggantian yang masih dianggap rasional adalah mengganti golongan dengan risiko tinggi ke golongan risiko rendah. Namun, penggantian antipsikotika perlu mempertimbangkan beberapa risiko seperti berkurangnya efikasi klinis terhadap pengontrolan gejala, kemungkinan relaps, besaran manfaat dibandingkan risiko (termasuk potensi efek samping dari obat penggantinya), dan tetap adanya risiko peningkatan berat badan dengan obat penggantinya. [4,6,17]

Kesimpulan

Antipsikotika dikatakan memiliki risiko terjadinya sindrom metabolik, terutama pada penggunaan olanzapine dan clozapine. Strategi terbaik untuk mengatasi hal ini adalah dengan mempertimbangkan penggunaan antipsikotik dengan golongan risiko terendah sambil mempertimbangkan besaran efektivitas, manfaat dan risiko yang mungkin ditimbulkan dari antipsikotika tersebut.

Adapun rekomendasi untuk mencegah atau memperbaiki risiko sindrom metabolik diantaranya melakukan monitoring metabolik berkala seperti melakukan cek gula darah, profil lipid, asam urat dan monitoring penambahan berat badan. Pada beberapa kasus mungkin membutuhkan penambahan obat,intervensi gaya hidup dan terakhir jika memungkinkan melakukan penggantian jenis antipsikotik dengan risiko rendah.

 

 

Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja

Referensi