Memahami Terapi Dual Antiplatelet setelah Percutaneous Coronary Intervention

Oleh :
dr. Hendra Gunawan SpPD

Terapi dual antiplatelet sering digunakan pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) setelah tindakan kateterisasi jantung atau  Percutaneous Coronary Intervention (PCI). Tujuannya adalah untuk menurunkan risiko kejadian iskemik, termasuk thrombosis stent, infark miokard, stroke, hingga kematian akibat kejadian kardiovaskular. Regimen terapi dual antiplatelet yang direkomendasikan adalah kombinasi antara aspirin dengan satu agen inhibitor P2Y12 seperti clopidogrel, prasugrel, atau ticagrelor.[1]

Hingga kini, durasi dari terapi dual antiplatelet yang terbaik masih menjadi perdebatan. Di satu sisi, penggunaannya telah banyak dilaporkan bermanfaat sebagai pencegahan sekunder infark miokard dan thrombosis stent. Namun di sisi lain, penggunaannya juga berkaitan dengan peningkatan risiko perdarahan.[2]

Memahami Terapi Dual Antiplatelet setelah Percutaneous Coronary Intervention-min

Penggunaan Terapi Dual Antiplatelet

Penggunaan terapi dual antiplatelet diperlukan pada berbagai skenario klinis, seperti pasca tindakan revaskularisasi, pasca serangan infark miokard akut, dan sebagai pencegahan sekunder pada pasien dengan angina pektoris stabil yang berisiko tinggi.[3]

Penggunaan Terapi Dual Antiplatelet Setelah Kateterisasi Jantung (PCI)

Uji klinis oleh Mauri et al, mencoba menilai manfaat dan risiko dari pemberian terapi dual antiplatelet setelah pemasangan drug eluting stent (DES). Studi ini melibatkan total 9.961 subjek. Hasil studi menemukan bahwa terapi dual antiplatelet selama setidaknya 1 tahun setelah pemasangan DES mampu mengurangi risiko thrombosis stent, major adverse cardiovascular event, dan kejadian serebrovaskular secara bermakna dibandingkan penggunaan aspirin saja. Namun, penggunaannya juga ditemukan berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan.[4]

Saat ini, pedoman oleh American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) merekomendasikan penggunaan terapi dual antiplatelet setelah tindakan kateterisasi jantung atau percutaneous coronary intervention (PCI) dengan DES selama setidaknya 12 bulan setelah kejadian sindrom koroner akut dan setidaknya 6 bulan setelah revaskularisasi dalam setting penyakit jantung iskemik stabil. Pedoman ini juga memperbolehkan pemanjangan durasi terapi jika pasien mampu mentoleransi pemberian dual antiplatelet tanpa adanya kejadian perdarahan dan pasien memiliki risiko rendah perdarahan di masa datang.[5]

Sayangnya, pedoman ACC/AHA tidak menyatakan berapa lama terapi dual antiplatelet boleh dilanjutkan. Pedoman ini menyerahkan kepada masing-masing klinisi untuk menilai risiko dan manfaat pada setiap pasien. Dan oleh karena itu, sering kali pasien terus menerus mengonsumsi terapi dual antiplatelet selama bertahun-tahun.[6]

Risiko Terapi Dual Antiplatelet

Dalam setiap pengobatan, selalu terdapat risiko maupun efek samping dari pengobatan yang dikonsumsi, tidak terkecuali dari terapi dual antiplatelet. Mengingat dalam terapi tersebut digunakan lebih dari satu jenis obat yang dapat mengganggu fungsi hemostasis, perdarahan menjadi risiko yang paling dikhawatirkan.

Faktor yang ditemukan berkaitan dengan peningkatan risiko perdarahan akibat terapi dual antiplatelet adalah usia >75 tahun, adanya riwayat perdarahan, gagal jantung, penyakit arteri perifer, hipertensi, fungsi ginjal atau hepar abnormal, riwayat stroke sebelumnya, penggunaan steroid, merokok, alcohol use disorder, anemia, dan keganasan. Perdarahan paling sering terjadi di traktus gastrointestinal. Diperkirakan bahwa perdarahan gastrointestinal terjadi pada 1,2-2,4% pasien yang menjalani intervensi koroner.[7]

Sistem Skoring Untuk Memprediksi Risiko Terapi Dual Antiplatelet

Dual antiplatelet therapy score (skor DAPT) disusun untuk mengidentifikasi pasien mana yang akan mendapat manfaat ataupun harm jika melanjutkan terapi dual antiplatelet melebihi 1 tahun setelah menjalani tindakan percutaneous coronary intervention (PCI). Nilai dari skor DAPT dipaparkan pada Tabel 1.[8]

Brenner et al mencoba memvalidasi performa skor DAPT dalam memprediksi efek samping penggunaan terapi dual antiplatelet. Studi ini melibatkan 8.582 pasien dari register Assessment of Dual Antiplatelet Therapy with drug-eluting stents (ADAPT-DES). Hasil studi menunjukkan bahwa skor DAPT memiliki sensitivitas 57% untuk memprediksi infark miokard, 41% untuk memprediksi thrombosis stent, dan 56% untuk memprediksi perdarahan dan kematian. Spesifisitas skor DAPT adalah 58% untuk memprediksi infark miokard, 57% untuk memprediksi thrombosis stent, dan 58% untuk memprediksi perdarahan dan kematian.

Nilai prediksi positif skor DAPT adalah 1,9% untuk memprediksi infark miokard, 2,2% untuk memprediksi thrombosis stent, dan 2,1% untuk memprediksi perdarahan dan kematian. Sementara nilai prediksi negatif skor DAPT adalah 99% untuk memprediksi infark miokard, 98% untuk memprediksi thrombosis stent, dan 99% untuk memprediksi perdarahan dan kematian.[9]

Tabel 1. Dual Antiplatelet Therapy Score

Variabel Skor
Usia ≥75 tahun -2
Usia 65-74 tahun -1
Usia <65 tahun 0
Riwayat merokok 1
Diabetes mellitus 1
Infark miokard saat presentasi 1
Riwayat PCI atau infark miokard 1
Paclitaxel-eluting stent 1
Stent diameter < 3 mm 1
Gagal jantung kongestif atau ejeksi fraksi ventrikel kiri <30% 2
Vein graft stent 2

Nilai dari skor DAPT berkisar antara -2 hingga 10. Skor DAPT ≥2 berarti subjek memiliki rasio keuntungan dan risiko yang baik untuk melanjutkan terapi. Sedangkan skor <2 berarti terdapat peningkatan risiko perdarahan.[8]

Durasi Terapi Dual Antiplatelet

Seperti telah disebutkan di atas, hingga kini durasi terapi dual antiplatelet masih menjadi perdebatan dan banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui rentang durasi yang paling optimal. Rekomendasi American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) merangkum berbagai skenario klinis berikut:

  • Pada pasien dengan penyakit jantung iskemik stabil (stable ischemic heart disease/SIHD) pasca bare metal stents (BMS), dual terapi antiplatelet dapat diberikan minimal 1 bulan dan dapat diperpanjang bila pasien memiliki toleransi yang baik terhadap efek samping kedua obat dan risiko perdarahan rendah
  • Pada pasien dengan SIHD pasca drug eluting stent (DES), dual terapi antiplatelet dapat diberikan minimal selama 6 bulan dan diperpanjang bila pasien memiliki toleransi yang baik terhadap efek samping kedua obat atau risiko perdarahan rendah. Penggunaan P2Y12 inhibitor dapat dihentikan setelah 3 bulan, bila pasien memiliki risiko perdarahan tinggi
  • Pada pasien dengan sindroma koroner akut (SKA) pasca BMS atau DES, terapi dual antiplatelet dapat diberikan minimal selama 12 bulan dan dapat diperpanjang bila pasien memiliki toleransi yang baik terhadap efek samping atau risiko perdarahan rendah. Penggunaan P2Y12 inhibitor dapat dihentikan setelah 6 bulan, bila pasien memiliki risiko perdarahan tinggi[5]

Yin et al melakukan tinjauan sistematik dan meta analisis untuk menilai efikasi dan keamanan berbagai durasi terapi dual antiplatelet. Mereka berusaha meninjau uji klinis yang membandingkan 2-3 durasi terapi, yaitu durasi standar (12 bulan), durasi panjang (>12 bulan), dan durasi pendek (<6 bulan). 17 studi diikutkan dalam analisis dengan total subjek mencapai 46.864 pasien. Hasil studi mendapatkan bahwa terapi durasi panjang menyebabkan peningkatan kejadian perdarahan mayor (OR 1,78) dan kematian nonkardiak (OR 1,63) dibandingkan terapi durasi pendek. Sementara itu, terapi durasi standar dilaporkan berhubungan dengan peningkatan kejadian perdarahan apapun. Risiko perdarahan dan kematian nonkardiak juga semakin meningkat jika durasi ≥18 bulan.

Studi Yin et al juga menemukan bahwa terapi durasi panjang menghasilkan all-cause mortality yang lebih tinggi dibandingkan durasi pendek pada pasien yang mendapat DES generasi baru. Selain itu, terapi durasi pendek juga ditemukan memiliki efikasi dan keamanan yang serupa dengan durasi standar pada tata laksana sindrom koroner akut dan penggunaan DES generasi baru. Kesimpulan studi menyatakan bahwa, walaupun risiko iskemik dan perdarahan masing-masing pasien tetap harus dipertimbangkan, terapi durasi pendek dapat menjadi pilihan pada pasien pasca PCI.[10]

Penghentian Terapi Dual Antiplatelet

Pedoman ACC/AHA tidak menyatakan berapa lama terapi dual antiplatelet boleh dilanjutkan. Pedoman ini menyerahkan kepada masing-masing klinisi untuk menilai risiko dan manfaat berdasarkan kondisi masing-masing pasien.

Menurut pedoman ini, pada pasien penyakit jantung iskemik stabil pasca DES, semakin lama penggunaan terapi dual antiplatelet akan menurunkan risiko terjadinya thrombosis stent, kejadian iskemik, dan meningkatkan risiko perdarahan, terutama pada pasien pasca PCI karena serangan sindrom koroner akut.

Walaupun demikian, ACC/AHA juga menyatakan bahwa pada pasien dengan komorbid tertentu yang memiliki risiko perdarahan tinggi, seperti riwayat terapi antikoagulan sebelumnya, atau jika terjadi perdarahan yang nyata, terapi dual antiplatelet dapat dihentikan sebelum durasi yang direkomendasikan.[5]

Kesimpulan

Terapi dual antiplatelet adalah penggunaan kombinasi aspirin dengan satu agen inhibitor P2Y12, yang sering digunakan pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) setelah tindakan Percutaneous Coronary Intervention (PCI). Terapi ini dilaporkan efektif dalam mengurangi risiko thrombosis stent, major adverse cardiovascular event, dan kejadian serebrovaskular. Namun, juga berkaitan dengan risiko perdarahan. Untuk menyeleksi pasien mana yang akan mendapatkan manfaat lebih banyak dibandingkan risiko dari terapi dual antiplatelet, dapat digunakan dual antiplatelet therapy score (skor DAPT).

Hingga saat ini, durasi terapi optimal dari terapi dual antiplatelet masih menjadi perdebatan. Pedoman American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) merekomendasikan durasi standar 12 bulan untuk pasien dengan sindroma koroner akut yang menjalani PCI. Namun, ada studi yang menunjukkan bahwa durasi terapi yang lebih pendek memiliki keamanan dan efikasi serupa. Durasi terapi 3 bulan dilaporkan aman, terutama pada pasien dengan risiko perdarahan yang tinggi.

Referensi