Mematahkan Dogma Medis Tentang Nyeri Dada

Oleh :
Alexandra Francesca Chandra

Dalam praktik sehari-hari, terdapat berbagai dogma mengenai nyeri dada yang berasal dari pengalaman klinis yang diturunkan dari dokter ke dokter. Padahal, tidak semua dogma yang ada terbukti secara ilmiah. Misalnya saja kepercayaan bahwa nyeri dada yang menjalar ke lengan kiri sudah pasti nyeri dada kardiak. Faktanya, hanya 15% dari kasus nyeri dada yang diterima di instalasi gawat darurat (IGD) terbukti akibat penyakit jantung iskemik atau acute coronary syndrome (ACS), sementara 85% dari kasus nyeri dada di IGD sebenarnya merupakan nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain / NCCP).[1]

Sebuah publikasi di Jerman pada tahun 2018, melaporkan bahwa 30% prosedur kateterisasi koroner justru mengeksklusi penyakit jantung koroner atau mendapati stenosis koroner <50%. Banyak praktisi yang beranggapan bahwa semakin berat manifestasi nyeri dada yang dikeluhkan pasien, maka semakin buruk prognosis pasien atau semakin berat infark miokard yang dialami.[1]

chest pain

Dogma Medis 1: Berat-Ringannya Gejala Nyeri Dada Berkaitan dengan Infark Miokard Akut dan Prognosis

Sebuah studi kohort prospektif dilakukan untuk meneliti apakah terdapat korelasi antara beratnya nyeri pada pasien suspek sindrom koroner akut (SKA) dengan infark miokard akut ataupun komplikasi kardiovaskular setelah 30 hari. Hasil analisa statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara beratnya nyeri dada dengan infark miokard akut dan komplikasi kardiovaskular setelah 30 hari. Risiko infark miokard ditemukan 3% pada skala nyeri 1-8 dan 3,9% skala nyeri 9-10.[2]

Dogma Medis 2: Bentuk Nyeri Dada Tertentu Sudah Pasti Infark Miokard

Body et al mengevaluasi berbagai gejala klinis untuk memprediksi gejala mana yang meningkatkan maupun menurunkan kemungkinan diagnosis infark miokard atau adverse cardiac event. Studi ini menemukan bahwa nyeri yang menjalar ke tangan kanan, nyeri menjalar ke kedua tangan, adanya muntah, nyeri dada bagian tengah, dan diaforesis adalah gejala-gejala yang meningkatkan kemungkinan infark miokard akut. Sedangkan nyeri di dada kiri anterior, nyeri dada saat istirahat, dan nyeri dada yang menjalar ke tangan kiri adalah gejala-gejala prediktor negatif infark miokard.[3]

Pada dasarnya, penelitian oleh Body et al menyatakan bahwa banyak gejala atipikal, seperti nyeri dada yang menjalar ke kedua pundak, yang justru lebih meningkatkan kemungkinan adanya infark miokard dibandingkan gejala tipikal tradisional yang dipercayai selama ini.[3]

Studi lain oleh Mokhtari et al mendukung temuan di atas. Mokhtari et al menghitung nilai diagnostik untuk SKA dari faktor risiko yang didapat melalui anamnesis, penilaian klinisi secara umum untuk kemungkinan SKA, karakteristik nyeri dada, EKG, dan nilai troponin T. Faktor risiko yang digali antara lain adalah usia, jenis kelamin, riwayat peripheral arterial disease/PAD, stroke, diabetes, penyakit jantung koroner, dan gagal jantung. Penilaian klinisi dalam menentukan kemungkinan SKA dibagi menjadi sangat jelas SKA, kemungkinan besar SKA, kemungkinan kecil SKA, dan bukan SKA.[3,4]

Dalam studi tersebut didapatkan bahwa peningkatan usia hanya sedikit meningkatkan kemungkinan SKA, sementara riwayat penyakit lainnya (PAD, stroke, diabetes, penyakit jantung koroner, dan gagal jantung) tidak mempengaruhi kemungkinan SKA. Penilaian umum klinisi “sangat jelas SKA” atau “kemungkinan besar SKA” meningkatkan kemungkinan adanya SKA secara signifikan (29 kali dan 4,8 kali berturut-turut). Sedangkan “bukan SKA” dapat mengeksklusi diagnosis SKA.[3,4] 

Nyeri dada tipikal (substernal, seperti tertekan, >15 menit, dengan atau tanpa penjalaran ke pundak maupun lengan) disertai perubahan iskemik EKG dan peningkatan troponin meningkatkan kemungkinan SKA sebanyak 4,9 kali. Sedangkan nyeri dada saja, tanpa perubahan EKG dan kadar troponin, hanya berdampak kecil pada kemungkinan SKA. EKG dan peningkatan kadar troponin masing-masing meningkatkan kemungkinan SKA, masing-masing 7,6 dan 24,9 kali.[4]

Pada dasarnya, jantung, pembuluh darah, esofagus, dan pleura viseral terletak berdekatan di cavum thorax dan sama-sama mendapat suplai saraf dari serabut saraf viseral. Serabut saraf viseral memasuki tulang belakang pada beberapa tingkatan melalui serabut saraf dorsal. Hal ini menyebabkan rasa nyeri yang sulit dilokalisir dan sulit digambarkan (seperti rasa tidak nyaman, berat, tumpul, atau ‘nyut-nyutan’/aching pain). Selain itu, serabut saraf dorsal dapat tumpang-tindih hingga 3 tingkat di bawah atau di atasnya, sehingga penyakit dari organ di cavum thorax dapat menghasilkan nyeri dimana saja dari area rahang hingga epigastrium.[1,5]

Dogma Medis 3: Nyeri Dada yang Membaik dengan Pemberian Nitrat Pasti Nyeri Dada Kardiak

Banyak klinisi meyakini bahwa nyeri dada yang membaik dengan pemberian nitrat menandakan bahwa nyeri dada berasal dari penyakit jantung koroner. Namun, sebuah studi kohort pada tahun 2006 yang melibatkan 270 pasien dengan pemantauan selama 1 bulan menyatakan hasil yang berbeda. Studi ini melaporkan bahwa meredanya nyeri dada dengan pemberian nitrat tidak meningkatkan kemungkinan nyeri dada kardiak.

Pada pasien dengan nyeri dada yang mereda setelah pemberian nitrat, kemungkinan benar-benar akibat penyakit jantung koroner (positive likelihood ratio) hanya 1,1. Hal ini dikarenakan nitrat merelaksasi otot polos, baik otot polos pembuluh koroner maupun gastrointestinal, sehingga meredanya nyeri dada dengan pemberian nitrat tidak serta merta berarti nyeri dada disebabkan karena kausal kardiak. Pada pasien dengan gastroesophageal reflux disease (GERD) yang diberikan nitrat pun, gejala heartburn dapat hilang. [6]

Dogma Medis 4: Diseksi Aorta Memiliki Karakteristik Nyeri Dada seperti Dirobek yang Menembus Punggung

Sebelumnya, diseksi aorta dipercaya sering muncul sebagai nyeri dada seperti ‘dirobek’ dan menembus punggung. Namun, semakin banyak literatur yang melaporkan bahwa pasien dengan diseksi aorta tidak datang dengan nyeri dada tipikal tersebut. Diseksi aorta didapati tanpa nyeri dada pada 43% pasien. Pasien dengan diseksi aorta dapat datang dengan nyeri perut (36%) atau nyeri punggung (44%).[7]

Pada laporan kasus, bahkan pasien diseksi aorta datang dengan keluhan utama gangguan berjalan (gait disturbance) atau gejala neurologis paraplegia tanpa nyeri dada sebelumnya.[8,9]

Kesimpulan

Terdapat banyak dogma di dunia medis, dan sebagai dokter kita harus selalu mengacu kepada bukti ilmiah. Pada kasus pasien dengan nyeri dada, hal utama yang harus dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan adanya kondisi mengancam nyawa seperti sindrom koroner akut dan diseksi aorta.

Referensi