Membedakan Dermatitis Kontak Iritan dengan Dermatitis Kontak Alergi

Oleh :
Rainey Ahmad Fajri Putranta

Membedakan dermatitis kontak iritan (DKI) dengan dermatitis kontak alergi (DKA) merupakan tantangan tersendiri karena penyebab, gejala, dan morfologi lesi yang sering kali tumpang tindih. Namun, terdapat beberapa perbedaan klinis yang dapat membantu membedakan antara keduanya.

Dermatitis kontak adalah reaksi inflamasi kronis pada kulit yang terjadi karena adanya kontak terhadap bahan-bahan secara eksternal. Bahan-bahan ini dapat bersifat iritatif, tanpa keterlibatan sel-sel imun, atau sebagai alergen, yang melibatkan imunitas seluler.[1]

Depositphotos_140921358_m-2015_compressed

Pada praktek klinis, tidak jarang dermatitis kontak iritan dan kontak alergi terjadi secara bersamaan. Dermatitis kontak mencakup 95% dari seluruh penyakit kulit akibat kerja. Sekitar 80% kasus dermatitis kontak merupakan dermatitis kontak iritan (DKI). Dokter perlu mencari tahu riwayat okupasional, maupun riwayat penggunaan bahan-bahan pada kulit yang berpotensi menyebabkan dermatitis.[1]

Penyakit kulit akibat kerja masih banyak ditemukan di negara berkembang. Di Indonesia, sekitar 97% penyakit kulit akibat kerja merupakan dermatitis kontak. Dari seluruh dermatitis kontak akibat kerja, DKI mencakup 66,3%, sedangkan DKA sebesar 33,7%.[2]

Patogenesis

Patogenesis DKA dan DKI terjadi karena kontak berulang dengan hapten bermolekul rendah. Namun, pada DKA ada keterlibatan acquired immune response, sehingga DKA hanya timbul pada individu yang telah mengalami sensitisasi. Pada DKI, reaksi kulit dapat terjadi sejak paparan pertama terhadap suatu iritan.[3]

Dermatitis Kontak Iritan

Pada dermatitis kontak iritan (DKI), dapat ditemukan riwayat paparan jangka pendek maupun panjang terhadap zat kimia atau iritan. Pada DKI, terjadi aktivasi sistem imun bawaan tanpa periode sensitisasi. Reaksi kulit pada DKI disebabkan oleh gangguan sawar kulit,  cedera langsung pada sel-sel epidermis, dan pelepasan sitokin.

Suatu iritan dapat bersifat toksik secara langsung pada keratinosit, misalnya sodium lauryl sulfate, yang sering ditemukan pada deterjen. Iritan lain, misalnya aseton yang merupakan solven organik, menyebabkan gangguan sawar kulit karena akibat kehilangan lemak.

Paparan berulang terhadap suatu iritan bisa mengakibatkan cedera epitel kronik. Hal ini akan memicu pelepasan sitokin proinflamasi dari keratinosit, antara lain IL-1α, IL-1β, TNF-α, GM-CSF, IL-6, dan IL-8. Akibatnya, terjadi pelepasan berbagai chemokines sehingga menyebabkan peningkatan neutrofil, limfosit, makrofag, dan sel mast pada epidermis. Secara keseluruhan, proses ini akan memperburuk inflamasi.

DKI banyak ditemukan pada pekerja yang sering berada pada kondisi basah (wet work), dan bekerja pada lingkungan dengan kelembapan rendah. Kebiasaan mencuci tangan dan pemakaian sarung tangan, misalnya pada tenaga medis, juga dihubungkan dengan terjadinya DKI.

Keparahan DKI dipengaruhi jenis dan konsentrasi iritan, durasi dan jumlah paparan, serta faktor lingkungan dan mekanik. Lingkungan yang dingin dengan kelembapan rendah dapat meningkatkan transepidermal water loss, sedangkan kelembapan yang tinggi dapat mengganggu sawar kulit. Kedua hal ini meningkatkan kerentanan pasien untuk mengalami DKI. Hingga saat ini, belum diketahui dengan jelas seberapa besar peranan faktor endogen, misalnya genetik, terhadap DKI.[1,3,4]

Dermatitis Kontak Alergen

Dermatitis kontak alergen (DKA) disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe 4, yaitu hipersensitivitas yang diperantarai sel T. Terdapat 2 fase imun dalam DKA, yaitu sensitisasi dan elisitasi/eferen. Adanya fase sensitisasi, merupakan fitur khas pada DKA, yang tidak terjadi pada DKI.

Pada kontak pertama dengan alergen, hapten akan menstimulasi keratinosit untuk mengekspresikan molekul adhesi, misalnya ICAM-1, sitokin proinflamasi, antara lain IL-1-α, IL-1β, TNF-α, IL-6, serta chemokines, seperti IP-10, MCP-1, RANTES, dan CCL18.

Selanjutnya, sel Langerhans akan memproses antigen, lalu melepaskan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas 1 dan 2, dan bermigrasi ke kelenjar getah bening regional. Kemudian, antigen akan dipresentasikan pada sel T, yang memiliki efek apoptosis pada keratinosit.

Reaksi hipersensitivitas tipe 4, atau delayed hypersensitivity reaction, akan terjadi akibat sel T yang telah mengalami aktivasi sebelumnya. Paparan ulang terhadap alergen, akan menimbulkan inflamasi pada kulit.[5,6]

Etiologi

Secara umum, DKA dan DKI paling sering diakibatkan oleh deterjen, surfaktan, dan antiseptik. Hal ini terutama ditemukan pada dermatitis kontak akibat kerja.

Etiologi DKI

Etiologi dermatitis kontak iritan (DKI) terdiri atas zat kimiawi, iritan fisik, tumbuh-tumbuhan, senyawa fototoksik, dan iritan dari udara/airborne. Beberapa zat kimia yang dapat menyebabkan DKI, misalnya larutan asam dan basa, solven organik, surfaktan/tensides, dan minyak croton.

Iritan fisik juga dapat menyebabkan DKI, misalnya akibat friksi, abrasi, atau oklusi, Contoh iritan fisik, antara lain radiasi sinar ultraviolet, x-ray, sinar laser, panas, dingin, dan faktor mekanik. Tumbuh-tumbuhan, seperti agave atau anemone, juga dapat menyebabkan iritasi kulit. Iritan dari udara dapat berupa debu atau asap/fumes yang dapat menyebabkan DKI pada bagian kulit yang tidak terlindung pakaian, misalnya wajah.

DKI kronik dapat disebabkan oleh zat-zat yang terakumulasi pada kulit, sehingga menyebabkan cedera kulit. Contohnya, akibat terkena air terus-menerus. Hal ini dapat terjadi pada pekerjaan yang mengharuskan pekerjanya sering mencuci tangan atau mandi, serta pada pekerja yang melakukan pekerjaan basah (wet work).[3–5]

Etiologi DKA

Pada DKA, sistem imun bereaksi secara berlebihan terhadap suatu senyawa. Padahal, pada kebanyakan orang senyawa ini tidak menyebabkan reaksi apapun pada kulit. Paparan terhadap alergen dapat terjadi karena autotransfer, biasanya karena transfer dari tangan sendiri, heterotransfer, yang berarti alergen didapatkan dari orang lain, airborne, misalnya akibat debu atau uap, serta photoallergic, yang diakibatkan sinar ultraviolet.

Beberapa senyawa yang sering menjadi alergen, antara lain metal, misalnya nikel dan kobalt, sarung tangan lateks, bahan perekat, tanaman tertentu, misalnya chamomile dan arnica, pewangi pada produk kosmetik, zat pembersih, dan minyak atsiri. Cat rambut, pewarna tekstil, pengawet, tabir surya, dan obat-obatan topikal, misalnya piroxicam topikal, juga berpotensi menyebabkan DKA.[6–8]

Tanda dan Gejala

Gejala yang timbul pada pasien dengan dermatitis kontak iritan (DKI) atau dermatitis kontak alergi (DKA) mirip. Oleh sebab itu, dokter perlu menanyakan onset gejala, penyebaran lesi, serta apakah lesi muncul setelah penggunaan produk tertentu, misalnya kosmetik, obat-obatan topikal, atau sarung tangan. Riwayat pemakaian sabun juga perlu ditanyakan, sebab kebanyakan sabun mengandung surfaktan yang berpotensi merusak sawar kulit .

Pada beberapa orang, DKI dapat menimbulkan rasa terbakar, perih, dan nyeri. Walaupun begitu, gejala yang timbul tergantung dari iritan. Pada DKA, biasa ditemukan gejala gatal yang hebat. Pada kasus yang parah dapat disertai nyeri dan demam. Pada kasus dermatitis kontak kronis, DKI dan DKA memiliki gejala yang sama, yaitu perih dan gatal. Walau begitu, dapat ditemukan fisura pada DKI kronis.[5,9]

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada DKI dan DKA serupa dengan dermatitis pada umumnya. Pada fase akut lesi kulit dapat berupa eritema dan vesikel. Pada fase kronik, kulit tampak kering, serta terjadi likenifikasi dan fisura.

Perbedaan klinis utama antara DKI dan DKA adalah onset lesi yang lebih awal pada DKI, serta lesi DKA yang sering meluas secara simetris. Secara lengkap, perbedaan klinis antara DKI dan DKA dapat dilihat pada tabel 1.

Manifestasi Klinis DKI

DKI dapat terjadi secara akut atau kronik. Lesi kulit biasanya terlihat pada tangan. Pada DKI akut, erupsi kulit berupa eritema, kulit melepuh, pustul, perdarahan, kruta, sisik, dan erosi. Lesi dapat disertai dengan rasa gatal atau nyeri. Lesi pada DKI biasanya asimetris, serta memiliki batas tegas, terbatas hanya pada area yang mengalami kontak dengan iritan.

DKI kronis dapat bermanifestasi sebagai lesi diffuse ataupun lokal, dengan gambaran plak eritematosa, kulit kering, likenifikasi, dan deskuamasi. Fisura dan kerusakan pada kuku, misalnya paronikia, juga dapat ditemukan seiring lesi DKI kronis bertambah parah. DKI kronis lebih sering ditemukan pada praktek klinis, akibat kontak jangka panjang dengan iritan.[3,5]

Manifestasi Klinis DKA

Pada DKA, terdapat beberapa fase klinis lesi kulit. Pada fase pertama, terjadi eritematosa yang tidak berbatas tegas, dan dapat disertai edema. Fase ini juga biasanya disertai gejala gatal yang intens. Selanjutnya, lesi kulit memasuki fase madidans, yang ditandai dengan erosi kulit dan kulit menjadi berair/moistening.

Kemudian, mulai terbentuk krusta yang akan diikuti dengan fase terakhir, yaitu skuamosa. Pada fase skuamosa, stratum korneum akan mengalami perbaikan. Lesi kulit biasanya timbul 24–48 jam setelah terpapar alergen. Awalnya, lesi akan terbatas pada area yang terpajan alergen, tetapi kemudian bisa meluas secara simetris. Jika terjadi DKA kronik, maka lesi dapat memiliki gambaran hiperkeratosis, deskuamasi, likenifikasi dan fisura yang dalam.

Lokasi timbulnya lesi awal memegang peranan penting dalam melakukan patch test, untuk mencari alergen potensial. Pada area kulit yang lebih tipis, misalnya kelopak mata, penis, dan skrotum, eritema dan edema lebih sering muncul dibandingkan vesikel dan papula.[5,6]

Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Dermatitis Kontak Alergi dan Dermatitis Kontak Iritan.

Dermatitis Kontak Iritan Dermatitis Kontak Alergi
Gejala Akut Perih dan menyengat dan menjadi gatal Gatal dan menjadi sakit
Kronis Sakit/Gatal Sakit/Gatal
Lesi Akut Eritema → Vesikel → Erosi → Krusta → Skuama Eritema → Papula → Vesikel → Erosi → Krusta → Skuama
Kronis Papula, plak, fisura, skuama, krusta Papula, plak, skuama, krusta
Batas Akut Batas tegas, tajam Batas tegas, tajam, tetapi dapat menyebar ke perifer
Kronis Batas tidak tegas Batas tidak tegas
Waktu Timbul Akut Cepat (beberapa jam setelah paparan) Tidak terlalu cepat (12-72 jam setelah paparan)
Kronis Paparan terus menerus berbulan-bulan atau menahun Berbulan-bulan atau lebih lama; eksaserbasi setiap terpapar
Etiologi Tergantung konsentrasi iritan dan kondisi kulit Tergantung jumlah paparan, biasanya sedikit saja sudah menyebabkan sensitisasi
Insidensi Dapat terjadi pada semua orang Terjadi hanya saat tersensitisasi

Sumber: dr. Rainey Ahmad, Alomedika, 2018.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membedakan DKI dan DKA adalah dengan tes kulit, misalnya patch test, dan pemeriksaan histopatologi.

Patch Test

Pemeriksaan ini merupakan baku emas diagnosis DKA. Patch test dilakukan dengan memaparkan alergen secara langsung pada kulit, biasanya di punggung bagian atas. \ Pada patch test, kulit akan menjadi kemerahan dan gatal apabila terdapat reaksi alergi. Sensitivitas dan spesifisitas patch test berkisar antara 70–80%.

Pembacaan patch test dapat dilakukan hingga 3 kali, sebab sebagian alergen membutuhkan beberapa hari untuk menunjukkan reaksi positif. Biasanya, pembacaan dilakukan pada hari ke-2, ke-4, dan ke-7.[1,6]

Histopatologi

Pada DKI akut, dapat ditemukan spongiosis, dan vesikel atau kulit melepuh pada epidermis. Pada dermis, dapat terlihat infiltrat perivaskuler, dengan eksositosis neutrofil dan limfosit, serta adanya vasodilatasi dan edema. Pada DKI kronis, dapat ditemukan akantosis, likenifikasi, hiperkeratosis, infiltrat limfositik.

Pada pemeriksaan histopatologi DKA, dapat terlihat infiltrat perivaskular, yang didominasi oleh limfosit, edema pada dermis, serta spongiosis dan eksositosis pada epidermis. Pada lesi DKA kronis, dapat terlihat akantosis, hiperkeratosis, dan parakeratosis, dengan sedikit spongiosis dan infiltrat sel-sel inflamasi.[5,10]

Kesimpulan

Meskipun memiliki gejala yang serupa, tetapi DKA dan DKI dapat dibedakan. Dokter perlu menggali riwayat kontak, misalnya berhubungan dengan pekerjaan, onset munculnya lesi kulit, yaitu langsung pada DKI, atau baru muncul setelah beberapa hari pada DKA, serta melakukan pemeriksaan fisik untuk menilai karakteristik lesi kulit.

Penggunaan pemeriksaan penunjang, seperti patch test, dapat berguna untuk mengarahkan diagnosis pada DKA. Selain itu, lesi DKI dan DKA juga dapat dibedakan berdasarkan gambaran histopatologinya. Meskipun secara statistik DKI lebih sering terjadi, tetapi DKA yang tidak menerima tata laksana dengan tepat berpotensi menyebabkan morbiditas yang merugikan pasien. Oleh karena itu, dokter harus dapat membedakan DKI dan DKA.

 

 

Direvisi oleh: dr. Livia Saputra

Referensi