Mengenal Copycat Suicide dan Peran Dokter untuk Mencegahnya

Oleh :
dr. Nathania S. Sutisna

Copycat suicide adalah tindakan bunuh diri imitasi yang dilakukan seseorang setelah mendengar atau melihat berita bunuh diri orang lain, misalnya seorang tokoh publik. Fenomena ini dilaporkan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi pemberitaan, sehingga dokter perlu mengenalinya dan mengetahui cara mencegahnya.

Data WHO tahun 2019 menunjukkan bahwa hampir 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri setiap tahunnya. Untuk setiap kasus bunuh diri, semakin banyak orang yang ikut mencoba melakukan bunuh diri. Bunuh diri dapat terjadi pada segala usia tetapi kelompok usia 15–29 tahun merupakan yang paling rentan. Sekitar 79% kasus bunuh diri global terjadi di negara dengan pendapatan rendah dan menengah.[1]

Depositphotos_10882275_m-2015_compressed

Penyebab Copycat Suicide

Copycat suicide paling sering terjadi setelah kasus bunuh diri selebriti atau tokoh publik yang terkenal diberitakan. Studi menunjukkan bahwa kasus bunuh diri imitasi lebih banyak dilaporkan setelah rilis berita bunuh diri selebriti daripada rilis berita bunuh diri orang biasa yang bukan tokoh publik.

Copycat suicide yang mengikuti selebriti mungkin terjadi karena pelaku bunuh diri merasa memiliki hubungan atau memiliki kesamaan dengan selebriti tersebut. Media massa yang memberitakan kasus bunuh diri secara luas juga diperkirakan berperan dalam peningkatan angka copycat suicide di era ini.[2,3]

Dalam suatu penelitian di Korea Selatan, terdapat tujuh selebriti yang melakukan bunuh diri pada tahun 2005–2008. Salah satunya adalah seorang pria yang menggunakan metode batu bara (charcoal), sedangkan sisanya adalah wanita yang menggantung diri. Studi ini kemudian menganalisis karakteristik pelaku bunuh diri yang terjadi dalam 28 hari setelah setiap kasus bunuh diri selebriti tersebut.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko relatif bunuh diri dalam tiap periode tersebut sebesar 14,6–95,4%. Pelaku bunuh diri dilaporkan cenderung berasal dari populasi yang memiliki jenis kelamin dan usia serupa dengan selebriti yang terkait. Selain itu, metode bunuh diri yang digunakan pun cenderung sama. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena copycat suicide benar terjadi.[4]

Penelitian tentang Peran Media Massa dalam Kasus Copycat Suicide

Secara tidak sengaja, media massa dapat memicu terjadinya copycat suicide melalui pembentukan ide pada orang lain yang juga telah rentan melakukan bunuh diri bahwa seseorang yang bermasalah telah menyelesaikan masalahnya dengan bunuh diri. Hal ini dikarenakan secara umum, selebriti dan tokoh publik sering dianggap sebagai figur yang superior dan dicontoh oleh pengikutnya.

Pemberitaan melalui koran dilaporkan memiliki efek copycat suicide yang lebih besar daripada televisi karena korban bunuh diri dapat membaca berita berulang-ulang dan mempelajari kasus bunuh diri yang diberitakan tersebut.[2]

Kasus Bunuh Diri Aktor Taiwan pada April 2005

Selama lebih dari 2 minggu, berita kematian selebriti ini disebarkan melalui televisi dan koran. Berita ini dikedepankan dengan kata-kata sensasional dan metode bunuh diri disebutkan berulang-ulang. Suatu studi mewawancarai 438 responden depresi yang terpapar berita bunuh diri ini. Sebanyak 38,8% responden melaporkan terpengaruh untuk melakukan upaya bunuh diri karena hal ini. Bahkan, 5,5% telah melakukan upaya tersebut.

Risiko bunuh diri akibat berita ini dilaporkan paling tinggi pada mereka yang sudah memiliki depresi berat sebelum berita (adjusted OR 7,81; CI 95% 3,28–18,59) dan pada mereka yang sudah memiliki riwayat percobaan bunuh diri satu bulan sebelum berita (adjusted HR 11,91; CI 95% 3,76–37,72).[5]

Efek Media terhadap Kasus Bunuh Diri Figur Publik tahun 1989–2010 di Jepang

Dalam rentang studi ini, terdapat 596.816 kasus bunuh diri dan 109 di antaranya adalah tokoh publik yang terkenal (politisi dan selebriti). Angka kejadian bunuh diri dilaporkan meningkat 4,6% di hari pemberitaan kasus bunuh diri tersebut. Sekitar 10 hari setelah pemberitaan, rata-rata peningkatan angka bunuh diri adalah 5%.

Dari studi tersebut, peneliti kemudian menganalisis 44 tokoh yang lebih terkenal secara lebih spesifik. Berita bunuh diri tokoh yang lebih terkenal ini diliput lebih dari satu kali. Kenaikan angka bunuh diri pada hari pertama adalah 7% dan rata-rata kenaikan pada 10 hari setelahnya adalah 6,3%.[6]

Tren Bunuh Diri Menggunakan Batu Bara di Korea Selatan

Selama satu bulan sebelum kasus bunuh diri selebriti berinisial AJ yang menggunakan batu bara, hanya ada tiga kasus bunuh diri yang menggunakan batu bara. Namun, setelah kasus bunuh diri selebriti ini diberitakan media massa secara besar-besaran (total 957 artikel terekam), ditemukan kasus yang serupa pada minggu pertama, kedua, ketiga, dan keempat, yakni dengan angka kejadian 8, 12, 17, dan 9 secara berurutan.

Peningkatan ini dinilai signifikan secara statistik, terutama pada populasi yang memiliki jenis kelamin sama dengan AJ (pria). Pemberitaan media massa yang sensasional dinilai berpengaruh terhadap peningkatan risiko copycat suicide ini.[7]

Kasus Bunuh Diri Selebriti Mempengaruhi Kasus Bunuh Diri Orang Awam

Kasus bunuh diri yang dilakukan oleh selebriti ditemukan berhubungan dengan peningkatan kasus bunuh diri oleh awam. Hanya dalam waktu satu hari setelah dilaporkannya kasus bunuh diri seorang selebriti, angka kasus bunuh diri pada populasi diteliti meningkat sebanyak 16,4%.[8]

Peran Dokter dan Badan Kesehatan untuk Mencegah Copycat Suicide

WHO telah mengeluarkan panduan untuk media massa mengenai saran pemberitaan bunuh diri sebagai langkah untuk menghindari kasus bunuh diri. Secara garis besar, WHO menyarankan media untuk memberitakan kasus bunuh diri dengan tepat dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan mewaspadai penggunaan komentar impromptu yang sensasional.

WHO juga menyarankan media untuk menghindari kata-kata yang digeneralisasi dan meminta media untuk tidak memberitakan bahwa perilaku bunuh diri adalah sebuah respons yang wajar terhadap perubahan dalam hidup.

WHO menghimbau agar media tidak mendeskripsikan metode bunuh diri yang digunakan, mencantumkan nama atau lokasi bunuh diri, memberitakan catatan bunuh diri yang ditinggalkan korban dan/ataupun menggunakan foto terkait kasus bunuh diri.[9]

Dokter layanan primer sebaiknya juga waspada terhadap fenomena ini dan sadar akan pasien depresi yang mungkin membutuhkan rujukan ke fasilitas kesehatan lebih lanjut. Dokter layanan primer harus dapat menilai risiko bunuh diri pada pasien dan menangani berdasarkan penilaian tersebut. Kolaborasi antara layanan primer dengan rumah sakit jiwa juga terbukti dapat menurunkan angka depresi dan ide bunuh diri.

Advokasi terhadap pemangku kebijakan media massa juga dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan agar pemberitaan disesuaikan dengan rekomendasi yang ada. Advokasi lain juga dapat ditujukan untuk mengurangi akses masyarakat terhadap hal berbahaya yang dapat memicu bunuh diri, contohnya membuat barikade di tempat tinggi yang dapat digunakan untuk bunuh diri dan membatasi akses untuk membeli pestisida.[10]

Dokter juga dapat mengedukasi masyarakat agar tidak menyebarkan berita mengenai kasus bunuh diri yang terlalu detail atau terlalu grafik, karena ditakutkan dapat memicu copycat suicide. Penyebaran berita di media sosial yang memuat metode bunuh diri yang detail serta gambar-gambar terkait kasus bunuh diri sebaiknya dihindari.

Kesimpulan

Copycat suicide adalah tindakan bunuh diri imitasi yang dilakukan setelah seseorang melihat atau mendengar berita bunuh diri orang lain. Fenomena ini terutama sering terjadi setelah pemberitaan kasus bunuh diri selebriti atau tokoh publik lain secara besar-besaran. Kelompok yang paling sering terpengaruh adalah mereka yang memiliki jenis kelamin dan usia serupa dengan pelaku bunuh diri.

Peran tenaga kesehatan dalam mencegah fenomena ini adalah dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap hal ini, membuat kolaborasi antara layanan primer dengan rumah sakit jiwa, dan memberi advokasi kepada badan pemerintah terkait pemberitaan kasus bunuh diri di media massa. Selain itu, tenaga kesehatan juga dapat mengedukasi masyarakat untuk tidak menyebarkan berita bunuh diri yang terlalu sensasional dan grafik.

 

Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja

Referensi