Metformin vs Sulfonilurea pada DM Tipe 2 dengan Penyakit Ginjal Kronis

Oleh :
dr.Restie Warapsari, Sp.PD

Perbandingan efikasi dan keamanan antara metformin dengan sulfonilurea pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan penyakit ginjal kronis (PGK) masih menjadi perdebatan. Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyumbang paling umum untuk penyakit ginjal kronis di seluruh dunia. Penelitian sebelumnya melaporkan prevalensi penyakit ginjal kronis di antara pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 mencapai 34,5-42,3%, dengan sebagian besar kasus termasuk PGK tahap awal.[1]

Permasalahan dalam Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Penyakit Ginjal Kronis

Pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan penyakit ginjal kronis (PGK) memiliki peningkatan risiko resistensi insulin dan hiperglikemia, hipoglikemia, asidosis laktat, serta morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dibandingkan dengan pasien diabetes mellitus tipe 2 yang tidak memiliki PGK. Pada populasi berisiko tinggi ini, dokter harus hati-hati menyeimbangkan keamanan dan efektivitas obat antidiabetes yang diberikan.

Metformin vs Sulfonilurea pada DM Tipe 2 dengan Penyakit Ginjal Kronis-min

 

Pemilihan obat antidiabetik oral (OAD) pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan penyakit ginjal kronis sangatlah penting karena sebagian besar OAD diekskresikan melalui ginjal. Metformin dan sulfonilurea, seperti glipizide, merupakan obat antidiabetes yang paling umum digunakan. Namun, keamanan, modifikasi dosis, dan risiko yang dapat terjadi jika digunakan sebagai terapi pilihan pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan PGK masih menjadi perdebatan.[2]

Permasalahan Penggunaan Metformin dan Sulfonilurea dalam Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Penyakit Ginjal Kronis

Metformin banyak digunakan sebagai terapi lini pertama diabetes mellitus tipe 2 karena harga yang murah, efek netral pada berat badan, dan memiliki manfaat kardiovaskular. Namun, karena satu-satunya eliminasi metformin adalah melalui ginjal dan adanya potensi menyebabkan asidosis laktat, maka berbagai pedoman merekomendasikan untuk mengevaluasi kembali penggunaan metformin pada pasien dengan estimated glomerular filtration rate (eGFR) kurang dari 45 mL/menit/1,73 m2. Penggunaan metformin disarankan untuk dihentikan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis ketika eGFR kurang dari 30 mL/menit/1,73 m2.[2]

Sulfonilurea (SU) merupakan golongan obat antidiabetes kedua yang paling sering digunakan setelah metformin. SU memiliki kelebihan berupa harga yang murah, mudah didapat, dan efektif menurunkan kadar glukosa. SU dapat diberikan sebagai monoterapi maupun sebagai kombinasi. Penggunaan SU pada pasien dengan PGK telah dilaporkan dapat meningkatkan risiko hipoglikemia karena akumulasi sulfonilurea atau metabolit aktifnya akibat hambatan eliminasi via ginjal.[3]

Penggunaan Metformin pada Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

Metformin adalah obat golongan biguanid. Metformin bekerja dengan menurunkan glukoneogenesis, memperbaiki toleransi glukosa, serta meningkatkan serapan glukosa perifer. Metformin telah terbukti efektif dalam menurunkan HbA1c pada pasien diabetes mellitus tipe 2, dengan risiko hipoglikemia yang rendah baik pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan atau tanpa gangguan ginjal.[4,5]

Potensi Risiko Penggunaan Metformin pada Penyakit Ginjal Kronis

Metformin dieliminasi melalui sekresi tubular ginjal dan filtrasi glomerulus. Waktu paruh eliminasi metformin rata-rata adalah 5 jam dan akan memanjang pada gangguan ginjal. Proses eliminasi metformin akan berkurang seiring dengan penurunan eGFR. Pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan gangguan ginjal sedang hingga berat, kadar metformin dalam darah akan meningkat 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan individu normal.[2,5]

Salah satu keadaan yang dapat terjadi akibat akumulasi metformin adalah terjadinya Metformin-associated lactic acidosis (MALA). MALA merupakan kejadian yang sangat jarang (sekitar 10 kasus per 100.000 pasien per tahun) namun memiliki angka mortalitas sekitar 30-50%. Patogenesis metformin dalam menyebabkan asidosis laktat belum dimengerti sepenuhnya.[6,7]

Pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan gangguan ginjal, pedoman menyarankan:

  • Pengurangan dosis metformin dapat dipertimbangkan pada pasien dengan eGFR 45-59 ml/menit per 1,73 m2 ditambah dengan adanya kecendurangan pasien untuk hipoperfusi dan hipoksemia, misal pada kondisi sepsis atau gagal jantung kelas III-IV
  • Dosis harus dikurangi setengahnya ketika eGFR turun menjadi antara 30–45 ml/menit per 1,73 m2.
  • Metformin harus dihentikan bila eGFR turun menjadi di bawah 30 ml/menit per 1,73 m2, atau bila pasien memulai dialisis, mana saja yang lebih awal[4,5]

Penggunaan Sulfonilurea pada Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

Obat golongan sulfonilurea (SU), seperti glimepiride, memiliki efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel β pankreas secara independen tanpa dipengaruhi oleh konsentrasi gula dalam darah, sehingga efek samping yang sering terjadi adalah hipoglikemia. Meskipun  sebagian besar dimetabolisme oleh sitokrom P450 CYP2C9 di hati, beberapa obat golongan ini memiliki metabolit aktif yang diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, akumulasi pada pasien dengan gangguan ginjal, termasuk yang menjalani dialisis, dapat meningkatkan risiko hipoglikemia.[8]

Glibenclamide

Glibenclamide dimetabolisme oleh hepar dan dieliminasi 50% oleh traktus bilier dan 50% oleh renal. Sebagian metabolit bersifat aktif dan masih memiliki efek glibenclaimide, sehingga akumulasi pada PGK dapat meningkatkan risiko hipoglikemia. Hipoglikemia mungkin serius dan berlangsung lebih dari 24 jam pada PGK.[9]

Glibenclamide dikontraindikasikan pada PGK dengan GFR < 60 mL/menit. Namun, penggunaan glibenclamide pada PGK awal (GFR 60-90 mL/menit) tetap harus hati-hati karena dengan penurunan dosis sekalipun masih meningkatkan risiko hipoglikemia.[10]

Glimepiride

Glimepiride dimetabolisme di hati menjadi dua metabolit utama, M1 dan M2. M1 memiliki sepertiga aktivitas farmakologi glimepiride, sedangkan M2 bersifat inaktif. Pada PGK, metabolit ini terakumulasi. Meskipun waktu paruh glimepiride adalah 5-7 jam, obat ini dapat menyebabkan hipoglikemia berat yang berlangsung lebih dari 24 jam. Penggunaan glimepirid harus berhati-hati pada PGK dengan eGFR < 60 mL/menit dan dikotraindikasikan pada eGFR < 30 mL/menit.[10]

Gliclazid

Gliclazid dimetabolisme oleh hati menjadi metabolit yang tidak aktif, kemudian dieliminasi 60-70% melalui ginjal dan 10-20% melalui feses. Dengan demikian, gliclazid memiliki risiko hipoglikemia yang lebih rendah dibanding glimepiride dan glibenclamid. Gliclazid dapat digunakan pada PGK dengan EGFR >30 mL/menit. Namun pada EGFR yang lebih rendah, perlu pengurangan dosis dan kehati-hatian terhadap risiko hipoglikemia.[10,11]

Gliquidone

Gliquidone diubah oleh hepar menjadi metabolit inaktif, kemudian dieliminasi 95% melalui traktus bilier dan < 5% melalui renal. Oleh karena hal ini, gliquidone tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasien diabetes dengan PGK.[12]

Penelitian Terkait Metformin dan Sulfonilurea pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

Sebuah kohort retrospektif (2020) yang melibatkan 21.996 pasien di Kanada, membandingkan keamanan metformin dan sulfonilurea pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan PGK. Dalam studi ini, 19.990 pasien mengkonsumsi metformin dan 2006 pasien menggunakan sulfonilurea (chlorpropamide, gliclazid, glimepiride, glibenclamide, atau tolbutamide). Hasil penelitian melaporkan bahwa penggunaan metformin monoterapi dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah untuk semua penyebab kematian, kejadian kardiovaskular, dan episode hipoglikemia mayor bila dibandingkan dengan sulfonylurea.[2]

Studi kohort lain (2019) juga melaporkan hal serupa. Dalam kohort retrospekstif yang melibatkan 67.749 pengguna metformin dan 28.976 pengguna sulfonilurea ini, dilaporkan bahwa penggunaan metformin monoterapi pada pasien diabetes dengan penurunan fungsi ginjal berkaitan dengan  risiko MACE (major adverse cardiovascular event) yang lebih rendah dibandingkan penggunaan sulfonylurea monoterapi. Risiko MACE didefinisikan sebagai rawat inap untuk infark miokard akut, stroke, transient ischemic attack, atau kematian kardiovaskular.[13]

Kesimpulan

Hasil dari dua kohort retrospektif dengan jumlah sampel yang besar menunjukkan bahwa penggunaan metformin berkaitan dengan profil keamanan yang lebih baik dibandingkan penggunaan sulfonilurea pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan penurunan fungsi ginjal. Metformin dilaporkan menghasilkan risiko kematian, kejadian vaskular, dan episode hipoglikemia yang lebih rendah dibandingkan sulfonilurea.

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Tanessa Audrey Wihardji

Referensi