Pemilihan Formula Tinggi Kalori untuk Bayi dengan Penyakit Kronis yang Dirawat di Rumah Sakit

Oleh :
dr.Saphira Evani

Pemilihan formula tinggi kalori pada bayi dengan penyakit kronis bertujuan untuk mencegah risiko malnutrisi. Bayi dengan penyakit kronis yang dirawat di rumah sakit mengalami peningkatan risiko malnutrisi, dimana penyebabnya bersifat multifaktorial. Selain dipengaruhi secara langsung oleh penyakit yang mendasarinya, malnutrisi pada bayi dengan penyakit kronis juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti pemberian ASI yang kurang optimal, intoleransi makanan, kebutuhan metabolik meningkat,  status nutrisi bayi sebelum sakit, dan faktor genetik.[1,2]

Bayi dengan penyakit kronis lebih rentan untuk dirawat di rumah sakit, terutama bila mengalami eksaserbasi akut. Bayi dengan penyakit kronis yang sering membutuhkan perawatan di rumah sakit antara lain bayi dengan penyakit jantung bawaan, penyakit ginjal kronis, penyakit hati kronis, keganasan, serta penyakit infeksi kronis seperti HIV dan TBC. Susu formula tinggi kalori dapat membantu memenuhi kebutuhan nutrisi bayi dengan penyakit kronis yang dirawat di rumah sakit untuk mencegah maupun menangani keadaan malnutrisi yang dialami.[3,4]

shutterstock_1579719160-min (1)

Etiologi Malnutrisi pada Bayi dengan Penyakit Kronis

Etiologi malnutrisi pada bayi dengan penyakit kronis adalah akibat asupan nutrisi yang masuk tidak mencukupi nutrisi yang diperlukan oleh tubuh karena proses penyakit yang mendasarinya. Ketidakseimbangan tersebut kemudian menimbulkan defisit kalori, protein, dan mikronutrien secara kumulatif. Penyakit kronis yang berpotensi menimbulkan keadaan malnutrisi adalah penyakit jantung bawaan, penyakit ginjal kronis, penyakit hati kronis, penyakit infeksi kronis, dan keganasan.[4]

Malnutrisi pada Bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan

Malnutrisi dapat ditemukan pada 15-64% pasien bayi dengan penyakit jantung bawaan (PJB). Malnutrisi pada bayi PJB terjadi karena peningkatan kebutuhan kalori, penurunan asupan kalori, atau kombinasi keduanya.

Peningkatan kebutuhan kalori pada bayi PJB terjadi karena jantung harus memompa lebih kuat untuk dapat memenuhi kebutuhan darah seluruh tubuh. Bayi PJB dengan defek septum ventrikel mengalami peningkatan pengeluaran energi total (total energy expenditure) sebesar 40%. Laju metabolisme basal pada bayi PJB juga meningkat karena perbedaan komposisi tubuh, dimana deposit lemak berkurang sedangkan massa otot murni (lean body mass) bertambah.[4,5]

Penurunan asupan kalori pada bayi PJB biasanya disebabkan oleh hipoksemia kronis yang mengganggu proses penggunaan nutrisi di tingkat seluler, sehingga memicu terjadinya anoreksia. Selain itu data epidemiologi menunjukkan bahwa 30% bayi PJB mengalami kesulitan pemberian makanan per oral dan disfagia. Faktor-faktor lain adalah pemberian nutrisi yang tidak adekuat, malabsorbsi dan maldigesti.[1,5]

Malnutrisi pada Bayi dengan Penyakit Ginjal Kronis

Kasus malnutrisi pada bayi dengan penyakit ginjal kronis (PGK) berkisar antara 6-65%. Faktor-faktor yang menyebabkan bayi PGK mengalami malnutrisi adalah meningkatnya kebutuhan kalori, gangguan penggunaan nutrisi oleh sel-sel tubuh, dan keterbatasan asupan kalori karena malabsorbsi, restriksi cairan, tindakan dialisis, proses inflamasi kronis, atau gangguan pemberian makanan.[4]

Malnutrisi pada bayi PGK juga disebabkan karena gangguan aksis growth hormone / insulin-like growth factor. Growth hormone meningkatkan massa otot, menstimulasi pertumbuhan, dan meningkatkan densitas tulang. Resistensi growth hormone menyebabkan berat badan bayi sulit bertambah, tubuh pendek, dan kesehatan tulang yang kurang baik. Gangguan hormon lainnya adalah rendahnya hormon ghrelin dan tingginya hormon leptin, sehingga nafsu makan dan rasa lapar bayi menurun. Faktor lain yang menyebabkan malnutrisi pada bayi PGK antara lain kondisi anemia kronis, asidosis, pembuangan natrium, hipotiroid, dan osteodistrofi ginjal.[1,4]

Malnutrisi pada Bayi dengan Penyakit Hati Kronis

Kasus malnutrisi pada bayi dengan penyakit hati kronis (PHK) berkisar 55-76%. Bayi PHK berada dalam kondisi hipermetabolik dan membutuhkan energi hingga 140% dari kebutuhan normalnya. Organ hati berperan penting dalam proses metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, termasuk menyimpan dan mengaktivasi vitamin. Patofisiologi lain pada bayi PHK yang berkaitan dengan malnutrisi adalah malabsorpsi dan gangguan metabolisme nutrisi berupa berkurangnya penyimpanan glikogen, peningkatan katabolisme protein, gangguan sintesis protein, malabsorpsi lemak, disertai disfungsi endokrin berupa gangguan pada aksis growth hormone/insulin-like growth factor dan menurunnya produksi insulin-like growth factor.[6]

Pada bayi PHK , defisiensi nutrisi juga dapat terjadi akibat anoreksia, rasa mual dan muntah, rasa cepat kenyang, dan perubahan sensasi rasa makanan yang dialami pasien. Intoleransi makan diperberat oleh adanya hipertensi portal, hepatosplenomegali, dan asites. Efek samping pengobatan juga turut menjadi faktor malnutrisi pada bayi dengan PHK, sehingga penanganannya harus secara multidisiplin agar dicapai perbaikan nutrisi, serta untuk mengoptimalkan hasil saat dilakukan transplantasi hati.[1,4,6]

Malnutrisi pada Bayi dan Penyakit Infeksi Kronis

Malnutrisi dan penyakit infeksi adalah dua hal yang saling terkait satu sama lain, dimana malnutrisi dapat meningkatkan risiko bayi terkena infeksi, sebaliknya penyakit infeksi yang rekuren atau kronis dapat menyebabkan malnutrisi. Infeksi kronis oleh parasit, bakteri tuberkulosis dan virus HIV dapat menyebabkan anemia, tubuh kekurangan nutrisi, dan kakeksia. Kakeksia ditandai dengan penurunan nafsu makan, peningkatan laju metabolisme basal, berkurangnya massa otot, dan penggunaan jaringan lemak yang tidak efisien untuk memenuhi kebutuhan kalori.[1,7-9]

Malnutrisi berupa kekurangan energi protein (KEP) umumnya terjadi di bayi usia >6 bulan dan berhubungan erat dengan infeksi berulang. Respon imunitas yang diperlukan selama terjadinya proses infeksi tersebut meningkatkan kebutuhan kalori untuk metabolisme. Sebuah studi melaporkan bahwa infeksi akut seperti campak saja dapat menyebabkan penurunan berat badan dan penurunan kadar asam amino darah pada anak malnutrisi.[7-9]

Infeksi kronis pada bayi juga dapat mempengaruhi status nutrisi akibat perubahan jenis asupan makanan, gangguan absorbsi nutrisi, dan hilangnya nutrisi endogen. Infeksi saluran pernapasan dan gastrointestinal dapat menurunkan ketersediaan energi, protein, vitamin, dan mineral tubuh. Pada saat terjadi infeksi, terjadi pula penurunan kadar zat besi, zinc, dan vitamin A dalam serum.[10]

Evaluasi Malnutrisi pada Bayi dengan Penyakit Kronis

Evaluasi klinis dan pengukuran antropometri dasar dapat digunakan untuk memantau pertumbuhan dan status gizi bayi dengan penyakit kronis. Keadaan malnutrisi akut akan mempengaruhi berat badan dengan cepat yang ditandai dengan weight for age atau weight for height kurang dari -2 SD.  Sedangkan keadaan malnutrisi kronis ditandai dengan stunting, yakni height for age kurang dari persentil 5.[1]

Evaluasi kecukupan nutrisi pada bayi dengan penyakit kronis meliputi:

  • Pengukuran antropometri secara teratur. Berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala diukur setiap 2 minggu hingga usia 6 minggu dan setiap bulan di usia 2–12 bulan. Lingkar lengan atas dan tebal lemak subkutan (triseps) diukur setiap bulan sejak usia 3-12 bulan
  • Plot hasil pengukuran antropometri ke dalam kurva pertumbuhan WHO 2006 untuk anak usia <24 bulan
  • Evaluasi riwayat makanan yang diberikan pada bayi meliputi jenis dan jumlah makanan dan adanya kesulitan pemberian makan seperti bayi tidak nafsu makan, kesulitan menelan, atau menolak makan
  • Riwayat pengobatan dan suplemen nutrisi yang didapat
  • Riwayat keluhan terkait sistem gastrointestinal dan toleransi makanan per oral atau enteral, misalnya muntah, distensi abdomen, nyeri abdomen, diare, atau konstipasi

  • Riwayat keluhan terkait penyakit kronis bayi yang menandakan adanya keadaan akut atau progresivitas penyakit
  • Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda klinis terkait malnutrisi, seperti tampak pucat, dermatitis, muscle wasting, edema perifer, asites, kelainan kuku, alopesia, cheilitis
  • Pemeriksaan penunjang dapat dipertimbangkan untuk mendeteksi anemia, memeriksa kadar vitamin serum, dan densitas tulang[1,11]

Penyakit kronis seperti PJB, PGK, dan PHK dapat mempengaruhi komposisi tubuh sehingga terkadang pengukuran antropometri tidak akurat. Pemeriksaan penunjang seperti bioelectrical impedance phase angle (BIA) dapat membantu menilai status gizi bayi dengan penyakit kronis tersebut. Hasil BIA yang rendah pasca operasi PJB berhubungan dengan durasi rawat inap yang lebih panjang. Pada PGK, selain BIA dapat dilakukan pemeriksaan dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA) dan air displacement plethysmography (ADP) untuk menentukan massa otot murni dan massa lemak secara lebih akurat dibandingkan pemeriksaan antropometri.

Bayi dengan PHK juga dapat mengalami perubahan komposisi tubuh, sehingga dianjurkan pemeriksaan lingkar lengan atas dan tebal lemak subkutan juga dilakukan secara rutin untuk menilai status gizi pasien. Pemeriksaan penunjang seperti DEXA dan BIA juga bisa membantu menentukan komposisi tubuh dan risiko malnutrisi pada pasien PHK.[4]

Penatalaksanaan Malnutrisi pada Bayi dengan Penyakit Kronis

Bayi dengan penyakit kronis dan malnutrisi lebih berisiko untuk dirawat di rumah sakit. Keadaan malnutrisi berkorelasi dengan durasi perawatan di rumah sakit yang lebih panjang, kejadian infeksi lebih tinggi, waktu penyembuhan lebih lama, status fungsional lebih menurun, serta biaya rumah sakit lebih mahal. Indikasi untuk rawat inap bayi penyakit kronis, selain karena komplikasi penyakit penyebab, adalah apabila dijumpai keadaan malnutrisi dengan weight for height kurang dari -3 SD, lingkar lengan atas <115 mm, ditemukannya edema bilateral, nafsu makan yang buruk disertai minimal 1 dari gejala tidak bisa minum atau menyusu, muntah terus menerus, datang dengan kejang, atau penurunan kesadaran.[3,4,10-13]

Pencegahan dan koreksi keadaan malnutrisi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penatalaksanaan penyakit kronis. Kondisi malnutrisi sebisa mungkin harus dihindari dan ditangani secara agresif pada bayi dengan penyakit kronis agar tidak menimbulkan gagal tumbuh. Penatalaksanaan malnutrisi pada bayi dengan penyakit kronis adalah dengan pemberian nutrisi yang adekuat sesuai dengan kebutuhan kalori pasien, serta mengoreksi defisiensi nutrisi yang terjadi. Hal tersebut dapat dicapai dengan pemberian suplementasi tinggi kalori-protein secara enteral maupun per oral.

Suplementasi tinggi kalori-protein dapat diberikan dalam bentuk susu formula. Susu formula tinggi kalori-protein biasanya juga mengandung makronutrien dan mikronutrien yang disesuaikan komposisinya untuk memenuhi kebutuhan bayi dengan penyakit kronis. Selain suplementasi tinggi kalori-protein, rujukan ke dokter spesialis gizi juga perlu dilakukan untuk konseling gizi, termasuk edukasi orang tua cara pemberian makan yang sesuai untuk bayi dengan penyakit kronis.[1,11,14]

Pasien dengan penyakit jantung bawaan memerlukan energi 100-140% dari kebutuhan energi harian. Bayi dapat diberikan susu formula tinggi kalori terutama di antara proses pembedahan jantung. Kebanyakan bayi dengan penyakit jantung bawaan memperoleh suplementasi makanan melalui selang nasogastrik atau selang gastrostomi karena risiko aspirasi dan disfagia bila pemberian per oral.[1]

Pada bayi dengan penyakit hati kronis, kebutuhan energi harian meningkat menjadi 130-150%. Kebutuhan energi tersebut diperoleh dari pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Jumlah karbohidrat yang adekuat perlu diberikan karena pada pasien dengan penyakit hati kronis terjadi gangguan proses glukoneogenesis dan penyimpanan glikogen. Susu formula yang diberikan pada bayi dengan penyakit hati kronis disarankan yang mengandung medium-chain triglycerides (MCT) tinggi.[1]

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronis, kalori yang diberikan diusahakan 100-140% kebutuhan energi harian normalnya. Pemberian karbohidrat dan lemak tidak jenuh harus sesuai dengan kebutuhan minimal bayi seusianya, namun perlu dilakukan penyesuaian jumlah asupan protein. Beberapa studi menunjukkan bayi yang diberikan nutrisi enteral via selang nasogastrik memastikan kecukupan nutrisi yang lebih baik ketimbang pemberian makan per oral on demand.[1]

Pemilihan Susu Formula Tinggi Kalori sebagai Asupan Nutrisi pada Bayi dengan Penyakit Kronis

Susu formula tinggi kalori - protein dapat dijadikan salah satu pilihan asupan nutrisi pada bayi dengan penyakit kronis yang dirawat di rumah sakit. ASI merupakan sumber nutrisi utama bayi dan satu-satunya hingga bayi berusia 6 bulan. Namun, pada kasus bayi dengan penyakit kronis, terkadang pemberian ASI tidak dapat mencukupi kebutuhan nutrisi bayi yang meningkat. Pemberian ASI yang terkadang terkendala dengan intoleransi makan akibat patofisiologi penyakit serta produksi ASI yang tidak adekuat, menjadi alasan diberikannya tambahan susu formula. Susu formula bayi tinggi kalori yang disesuaikan kandungan nutrisinya dapat diberikan untuk memastikan nutrisi bayi dengan penyakit kronis tercukupi secara konsisten.[15,16]

Susu formula untuk bayi harus mengandung kadar karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang sesuai. Komposisi susu formula bayi biasanya mengikuti guidelines yang sudah ditetapkan. Makronutrien yang ditambahkan ke dalam susu memiliki takaran tertentu untuk mendukung tumbuh kembang secara efektif. Perubahan komposisi suatu susu formula harus dibuktikan terlebih dahulu dalam penelitian medis bahwa nutrisi yang ditambahkan ke dalam susu tersebut dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan secara berkelanjutan selama minimal 120 hari jika diberikan sebagai susu formula bayi.[15]

Susu formula bayi secara garis besar dibagi menjadi susu formula standar dan juga formula khusus. Salah satu jenis susu formula khusus adalah susu formula tinggi kalori-protein. Susu formula tinggi kalori-protein merupakan susu berbahan dasar susu sapi. Perbedaannya dengan susu formula standar terletak pada kandungan kalorinya yang lebih tinggi, yakni 1 kcal/mL dibandingkan susu formula standar yang berkisar 0,6-0,7 kcal/mL. Jumlah protein pada susu formula jenis ini mencapai 2 kali lipat susu formula standar, dengan rasio protein whey:casein 60:40 yang mirip dengan komposisi ASI. Susu formula tinggi kalori-protein mengandung karbohidrat dalam bentuk laktosa dan maltodekstrin serta memiliki osmolaritas yang lebih tinggi dari susu formula standar, yakni 360 mOsm/kg H2O sehingga memberikan toleransi lebih baik untuk bayi dengan penyakit kronis yang mengalami malabsorbsi atau maldigesti. Susu formula tinggi kalori-protein ini dapat diberikan secara per oral maupun parenteral, dan dapat digunakan untuk tumbuh kejar pada bayi dengan malnutrisi akibat penyakit kronis usia 0-18 bulan atau hingga berat badan 9 kg.[16-18]

Dalam beberapa tahun terakhir sudah banyak susu formula tinggi kalori-protein yang dikembangkan untuk mendukung nutrisi bayi-bayi dengan penyakit kompleks dan kronis. Dahulu susu formula jenis ini masih menggunakan long chain triglyceride (LCT) dan whole protein sehingga sulit ditoleransi oleh bayi dengan penyakit kronis yang mengalami malabsorbsi dan maldigesti. Namun, sekarang telah banyak dikembangkan susu formula tinggi kalori-protein yang menggunakan medium chain triglyceride (MCT) yang lebih dapat ditoleransi.[19]

Sebuah studi prospektif longitudinal, single arm,  melakukan pemberian nutrisi enteral susu formula siap saji tinggi kalori 1 kcal/mL, dengan protein dominan dalam bentuk peptida terhidrolisis (whey), 48% lemak dalam bentuk MCT, dan rendah laktosa dengan osmolalitas 360 mOsmol/kg H2O. Nutrisi ini diberikan kepada 18 bayi menderita berbagai penyakit kompleks kronis dengan gejala malabsorbsi dan maldigesti, termasuk di dalamnya bayi dengan penyakit jantung bawaan dan penyakit ginjal. Setelah pemberian selama 28 hari, terjadi kenaikan signifikan pada berat badan (0,61±0,31 kg; p=0.0001), panjang badan (1,89±1,77 cm; p =0,0001) dan lingkar kepala (1,33±1,29 cm; p=0,001) pada kelompok studi tersebut. Perbaikan signifikan juga terjadi pada z score weight for height dan weight for age.[19]

Orang tua/pengasuh dari 9 bayi (50%) melaporkan bahwa toleransi menggunakan susu formula tinggi kalori-protein jenis tersebut lebih baik. Setelah hari ke-28, tidak ada pasien yang mengalami muntah sedang-berat, dan hanya 1 pasien yang mengalami diare sedang. Selama periode studi 28 hari, kepatuhan (compliance) mencapai 94% dari seluruh volume susu yang seharusnya dihabiskan.[19]

Pada sebuah studi acak terkontrol, pemberian formula tinggi kalori-protein (119±25 kcal/kg/24 jam, 3,1±0,3 g protein/ kg/24 jam) memicu terjadinya anabolisme protein pada bayi kritis yang diamati di hari pertama rawat inap. Beberapa studi acak terkontrol lainnya melaporkan bahwa suplementasi susu formula tinggi kalori-protein per oral pada anak dengan penyakit kronis selama minimal 6 bulan menghasilkan pertambahan berat badan, tinggi badan, dan penurunan indeks massa tubuh yang lebih rendah dibandingkan kelompok tanpa suplementasi. Namun, beberapa susu formula tinggi kalori-protein dapat memberikan efek samping berupa diare, muntah, perut kembung, dan intoleransi glukosa. [14,19,20]

Kesimpulan

Pada bayi dengan penyakit kronis sering terjadi penurunan asupan nutrisi serta peningkatan kebutuhan kalori dan nutrisi karena peningkatan kebutuhan metabolik tubuh. Oleh karena keadaan demikian, bayi dengan penyakit kronis rentan mengalami malnutrisi. Keadaan malnutrisi kronis dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan, namun pada keadaan akut dapat mempengaruhi lamanya hari perawatan, meningkatkan angka infeksi, penurunan status fungsional, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk rumah sakit semakin meningkat. Dalam penatalaksanaan bayi dengan penyakit kronis diperlukan pemberian asupan nutrisi tinggi kalori dan protein untuk mencegah dan menangani malnutrisi.

Bayi dengan penyakit kronis membutuhkan asupan kalori lebih tinggi dan terkadang pemberian ASI tidak mencukupi atau terkendala dengan intoleransi pemberian makan karena bayi tidak nafsu makan, muntah, kembung atau diare. Beberapa studi melaporkan efektivitas penggunaan susu tinggi kalori (1 kcal/mL) dan protein untuk memperbaiki status gizi bayi dengan penyakit kronis dengan toleransi dan compliance pemberian yang baik.

Referensi