Pendekatan Diagnosis pada Kasus Pruritus Vulva

Oleh :
dr. Fresa Nathania Rahardjo, M.Biomed, Sp.KK

Pruritus vulva atau rasa gatal pada vulva paling umum disebabkan oleh kandidiasis vulvovaginal dan dermatosis kronis seperti eksim vulva ataupun lichen sclerosus. Akan tetapi, pruritus vulva juga dapat disebabkan oleh berbagai infeksi lain, perubahan pada hormon seks, dan bahkan lesi invasif. Dokter perlu memahami pendekatan diagnosis untuk mengidentifikasi penyebab pruritus vulva dan memilih terapi yang cocok.[1,2]

Pruritus vulva yang tidak ditangani secara tepat dan berlangsung terus menerus dapat mengganggu kualitas hidup pasien. Sebagai contoh, pasien dengan psoriasis genitalis dalam suatu studi menyatakan bahwa keluhan gatal pada vulva mengganggu hubungan seksual dan kondisi psikologis mereka. Dalam penelitian lain, pasien dengan lichen sclerosus juga memiliki tingkat kepuasan seksual lebih rendah daripada pasien tanpa keluhan pruritus vulva.[2]

Women,In,A,Red,Dress,Want,To,Urinating,At,The

Macam-Macam Penyebab Pruritus Vulva

Penyebab pruritus vulva dapat berupa infeksi, dermatosis inflamasi kronis, lesi invasif atau preinvasif, dan penyebab sekunder.[1]

Infeksi

Infeksi yang paling sering menyebabkan pruritus vulva adalah kandidiasis vulvovaginal. Selain itu, infeksi lain dapat berupa infeksi human papillomavirus (HPV), virus herpes genital (HSV), trichomoniasis, dan parasit seperti scabies.[1]

Prevalensi infeksi bervariasi tergantung pada kelompok usia pasien. Pada kelompok usia produktif, kandidiasis dan infeksi menular seksual sering menjadi etiologi. Pada ibu hamil dan pengguna kontrasepsi hormonal, tinea cruris dan juga kandidiasis sering menjadi penyebab.[1,2]

Sementara itu, pada pasien immunocompromised, infeksi HPV, herpes, dan molluscum contagiosum sering terjadi. Pada pasien dengan tingkat higienitas yang rendah, infeksi parasit seperti scabies sering terjadi dengan keluhan predominan di malam hari.[1,2]

Dermatosis Inflamasi Kronis

Dermatosis inflamasi kronis yang dapat menjadi penyebab pruritus vulva adalah lichen sclerosus, lichen planus, lichen simplex chronicus, dermatitis atopik, dermatitis kontak alergi atau iritan, dan psoriasis.[1,3]

Dermatitis atopik umumnya memiliki gambaran klinis edema eritematosus dan plak yang bervesikel. Sementara itu, pada dermatitis kontak, lesi biasanya terlokalisir sesuai kontak. Pada kasus kronis, proses likenifikasi akibat ekskoriasi merupakan gambaran umum. Infeksi sekunder dapat terjadi pada dermatitis kontak alergi maupun iritan, yang dapat memiliki gambaran pustula, krusta, dan fisur.[1,2,4,6]

Ada berbagai macam iritan vulva. Contohnya adalah sabun pembersih vulva, medikasi topikal vulva, dan spons mandi. Iritan seperti parfum, deterjen, antiseptik, spermisida, lubrikan, pembalut, dan kondom juga mungkin menjadi etiologi.[1,2,4,6]

Lichen simplex chronicus (neurodermatitis) ditandai dengan siklus gatal berulang dan ekskoriasi berlebih yang menyebabkan inflamasi, infeksi sekunder yang menyebabkan terjadinya gatal berulang, dan timbulnya siklus ekskoriasi selanjutnya. Gambaran klinis adalah plak karena ekskoriasi persisten, eritema, scaling, dan peninggian epidermis.[4]

Lichen sclerosus sering terjadi pada wanita menopause. Etiologi penyakit ini adalah kadar estrogen tubuh yang rendah. Penyakit ini sering tidak terdiagnosis dengan baik karena lebih dominannya keluhan dispareunia dan disuria daripada pruritus vulva.[6]

Lichen planus memiliki gambaran klinis berupa lesi yang erosif, papulo-skuamosa, dan hipertrofik. Liken planus erosif adalah kasus tersering. Gambaran klinis dari liken planus erosif adalah makula eritema berbatas tegas mengkilap dengan tepi meninggi.[2]

Psoriasis ditandai dengan pruritus dan plak eritema berwarna terang berdemarkasi jelas tanpa scaling pada labia mayora. Pada kasus umumnya, psoriasis menyerang seluruh tubuh terutama daerah dengan lipatan yang mengalami tekanan berulang. Namun, 2–5% kasus hanya terjadi pada genitalia eksterna saja.[5]

Lesi Preinvasif atau Invasif

Meskipun jarang, dokter perlu mempertimbangkan kemungkinan lesi preinvasif atau lesi invasif jika keluhan pruritus vulva bersifat sangat refrakter. Karsinoma sel skuamosa, penyakit Paget, dan vulvar intraepithelial neoplasia terjadi pada 2–5% pasien pruritus vulva.[7,8]

Penyebab Sekunder

Dokter juga perlu mempertimbangkan ada tidaknya kondisi sekunder yang merupakan penyebab pruritus vulva. Contohnya adalah penyebab sekunder sistemik seperti alergi, diabetes mellitus, penyakit ginjal, dan penyakit liver. Sementara itu, penyebab lokal bisa berupa celana terlalu ketat atau pencukuran rambut vulva.[1]

Alur Diagnosis pada Kasus Pruritus Vulva

Pendekatan diagnosis pada kasus pruritus vulva dimulai dengan anamnesis terarah dan diikuti dengan pemeriksaan fisik yang mempertimbangkan berbagai kemungkinan etiologi di atas.

Anamnesis Kasus Pruritus Vulva

Saat anamnesis, dokter perlu menanyakan apakah keluhan gatal disertai dengan rasa terbakar (burning atau stinging), rasa nyeri, dan discharge. Selain itu, dokter bertanya tentang durasi simtom, apakah akut (<6 minggu) atau kronis (>6 minggu) dan apakah simtom muncul secara intermiten atau persisten. Kasus akut umumnya disebabkan oleh infeksi, sedangkan kasus kronis umumnya disebabkan dermatosis inflamasi kronis.[1]

Tanyakan juga mengenai hal-hal berikut:

  • Lokalisasi: apakah gejala terlokalisir atau bersifat generalisata
  • Intensitas: seberapa intens gejala yang dirasakan (skala 1–10)
  • Kondisi sistemik sebelumnya: apakah ada penyakit autoimun, diabetes melitus, penyakit ginjal, atau penyakit liver
  • Kondisi hormonal: apakah memakai kontrasepsi hormonal, apakah menopause

  • Apakah ada faktor yang memperbaiki atau memperburuk rasa gatal
  • Apakah ada terapi-terapi sebelumnya dan apakah ada riwayat alergi[1]

Pemeriksaan Fisik Kasus Pruritus Vulva

Awali pemeriksaan dengan inspeksi genitalia eksternal untuk melihat apakah ada lesi. Perhatikan morfologi lesinya apakah berupa erosi, ulser, fisura, plak, papul, leukoplakia, likenifikasi, edema, eritema, pustul, atau vesikel. Perhatikan juga diskolorasi, discharge, dan batas tepian lesi. Selain itu, dokter perlu menginspeksi area sekitar vulva seperti lipatan paha dan perineum.[1]

Untuk pemeriksaan yang lebih mendetail, dokter dapat menggunakan spekulum atau vulvoscopy bila perlu. Vulvoscopy bisa memungkinkan pemeriksaan kulit vulva dengan pembesaran hingga 7–30 kali.[1]

Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien pruritus vulva yang dicurigai mengalami infeksi, dokter dapat melakukan tes pH, tes amine, pemeriksaan mikroskopik discharge, ataupun tes swab bakteriologis jika perlu, sesuai indikasi. Investigasi lebih lanjut ini terutama disarankan pada kasus yang refrakter terhadap terapi. Pemeriksaan kultur jamur juga bisa dipertimbangkan jika hasil pemeriksaan mikroskopik dan bakteriologis negatif tetapi gejala tetap ada. Jika hasil tetap negatif, pruritus mungkin disebabkan oleh dermatosis.[1]

Pada kasus dermatosis yang tidak dapat didiagnosis dengan pasti, tidak dapat diterapi dengan sukses, atau dicurigai sebagai lesi ganas, biopsi mungkin dianjurkan. Biopsi ini terutama dianjurkan jika lesi refrakter tersebut tampak berupa erosi, ulser, fisura, plak, papul, leukoplakia, atau likenifikasi.[1]

Manajemen Pruritus Vulva

Edukasi pasien untuk menghindari faktor pemicu, seperti produk pewangi, sabun untuk pembersih vulva yang iritatif, kondom yang berlateks, dan lubrikan. Hindari celana yang terlalu ketat. Gunakan celana dalam berbahan cotton atau sutra. Selain itu, hindari juga menggaruk area vulva yang gatal. Kompres dingin dianjurkan oleh beberapa literatur untuk mengurangi rasa gatal.[1-3,9]

Kortikosteroid topikal sering diberikan untuk menghilangkan rasa gatal yang diakibatkan oleh inflamasi berat. Kekuatan obat yang diberikan tergantung pada usia dan diagnosis. Contohnya, lichen sclerosus dan lichen planus memerlukan kortikosteroid yang lebih poten dengan waktu paruh yang lebih panjang (misalnya clobetasol dan halobetasol) daripada dermatosis inflamasi lainnya.[2,3,9]

Obat antiinflamasi nonsteroid seperti inhibitor calcineurin topikal adalah opsi pengganti kortikosteroid untuk menghindari efek samping jangka panjang kortikosteroid.[2,3,9]

Pasien yang mengalami infeksi fungal dapat diberikan antifungal, sedangkan pasien yang mengalami infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik yang sesuai. Jika penyebab adalah parasit seperti scabies atau pediculosis, permetrin dapat diberikan. Sementara itu, pada kasus vulvar epithelial neoplasia dan juga penyakit Paget, beberapa literatur menyarankan eksisi dan imiquimod topikal.[2,3,9]

Kesimpulan

Pruritus vulva dapat disebabkan oleh infeksi seperti kandidiasis vulvovaginal ataupun infeksi menular seksual, dermatosis inflamasi kronis seperti lichen sclerosus ataupun dermatitis, dan lesi preinvasif atau invasif. Selain itu, pruritus vulva juga bisa terjadi karena kondisi medis sistemik, seperti diabetes melitus dan penyakit ginjal.

Saat anamnesis, dokter perlu menanyakan durasi gejala, lokalisasi gejala, intensitas, kondisi sistemik, dan kondisi hormonal. Selain itu, tanyakan juga riwayat terapi, alergi, dan faktor pemburuk keluhan. Pemeriksaan fisik dapat dibantu dengan vulvoscopy jika perlu dan diikuti dengan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi. Pada kasus yang tidak merespons terapi, pertimbangkan investigasi lebih lanjut, misalnya dengan kultur jika curiga infeksi atau biopsi jika curiga keganasan.

Manajemen nonfarmakologi mencakup edukasi pasien agar menghindari faktor pemicu, seperti produk pewangi, sabun yang iritatif, kondom berlateks, dan lubrikan. Hindari celana yang terlalu ketat dan hindari menggaruk area yang gatal. Obat-obatan topikal dapat diberikan sesuai etiologi pruritus vulva yang telah diidentifikasi.

Referensi