Peningkatan Risiko Penyakit Arteri Perifer pada Infeksi HIV

Oleh :
dr. Immanuel Natanael Tarigan

Pasien HIV dilaporkan mengalami peningkatan risiko penyakit arteri perifer. Peningkatan angka harapan hidup pada pasien dengan infeksi HIV menyebabkan pergeseran fokus kedokteran dari komplikasi akut HIV ke komplikasi jangka panjang, sehingga berbagai komplikasi jangka panjang seperti penyakit arteri perifer mulai banyak dipelajari.

HIV merupakan virus golongan retroviridae yang dapat ditransmisikan melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik bersamaan dan transmisi ibu ke anak pada saat proses kelahiran dan menyusui. Sampai saat ini masih belum ditemukan obat yang dapat mengeradikasi virus HIV pada manusia. Obat antiretroviral (anti-retroviral therapy / ART) merupakan modalitas pengobatan yang menekan pertumbuhan virus sehingga menekan imunosupresi yang terjadi. Pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang mengonsumsi ART, angka harapan dapat mencapai angka harapan hidup populasi umum.[1]

Depositphotos_86559260_m-2015_compressed

Beberapa penelitian menemukan terjadinya peningkatan risiko kejadian penyakit kardiovaskular pada pasien infeksi HIV yang mendapatkan pengobatan ART. Salah satu penyakit yang banyak dikaitkan dengan infeksi HIV adalah penyakit arteri perifer atau peripheral artery disease (PAD).

Penyakit arteri perifer terjadi akibat oklusi pada pembuluh darah arteri. Penyakit ini terutama terjadi pada ekstremitas bawah, ditandai dengan klaudifikasi yakni nyeri otot iskemik akibat penurunan aliran darah ke otot. Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit arteri perifer adalah diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, riwayat keluarga, merokok dan penyakit ginjal kronis. Pemeriksaan ankle brachial index (ABI) merupakan salah satu cara untuk dapat mendiagnosis penyakit arteri perifer.[2]

Penelitian terkait Hubungan PAD dan HIV

Beberapa penelitian mencoba mencari hubungan antara penyakit arteri perifer dengan infeksi HIV. Sebuah penelitian dilakukan tahun 2006 di Swiss bertujuan untuk mengetahui prevalensi penyakit arteri perifer pada penderita infeksi HIV. Sebanyak 92 pasien infeksi HIV diikutkan dalam penelitian.

Tidak ada pasien yang melaporkan nyeri tungkai, namun pada skrining dengan kuesioner Edinburgh, sebanyak 15,2% melaporkan klaudifikasi. Ditemukan sebanyak 20,7% subjek terdiagnosis penyakit arteri perifer dengan 9,8% di antaranya memiliki nilai ABI abnormal saat istirahat dan 10,9% memiliki nilai ABI normal.

Hasil pemeriksaan CT scan menemukan oklusi aterosklerosis pada arteri femoral dan ilika pada 9 subjek dengan hasil nilai ABI istirahat <0,9. Pada penelitian ini ditemukan bahwa pada uji bivariat ditemukan korelasi yang baik pada penyakit arteri perifer dengan usia, status merokok, hiperlipidemia, diabetes melitus, hipertensi, sindroma metabolik, riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dan hitung sel CD4 kurang dari 200 sel/mm3.

Beberapa lain lain seperti penggunaan protease inhibitor, seropositivitas dan staging klinik menunjukkan korelasi dengan penyakit arteri perifer walau tidak bermakna secara statistik. Pada uji multivariat, ditemukan bahwa usia, status merokok, diabetes dan hitung sel CD4 kurang dari 200 sel/mm3 merupakan prediktor penting terjadinya penyakit arteri perifer.[3]

Studi lain pada tahun 2008 melakukan pemeriksaan dengan subjek 99 pasien dengan infeksi HIV yang berusia di atas 50 tahun dengan matching dari populasi umum dengan usia dan jenis kelamin yang sama. Pada penelitian ini ditemukan bahwa pasien dengan infeksi HIV memiliki prevalensi dislipidemia, diabetes dan penyakit arteri perifer yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Terdapat 5 kasus penyakit arteri perifer simtomatis pada kelompok pasien dengan infeksi HIV dan hanya 1 pada kelompok kontrol.

Pada penelitian ini menyimpulkan bahwa kelompok pasien dengan infeksi HIV memiliki risiko kardiovaskular yang lebih tinggi dibanding populasi umum. Pada penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pasien infeksi dengan terapi ART pada jangka panjang dapat terjadi penyakit arteri perifer. P

ada akhirnya penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi penyakit arteri perifer pada pasien infeksi HIV yang berusia 50 tahun atau lebih. Pada kebanyakan kasus tidak ditemukan tanda dan gejala yang khas akan penyakit arteri perifer sehingga disarankan untuk melakukan pemeriksaan ABI secara rutin pada pasien berisiko.[4]

Penelitian Terbaru

Penelitian terbaru berupa penelitian longitudinal prospektif kohort di Amerika Serikat melibatkan 91,953 veteran, 31% di antaranya adalah orang dengan HIV. Penelitian ini melakukan kontrol dengan menyamakan faktor lain seperti usia, suku, jenis kelamin, tempat penempatan dan usia saat masuk militer. Pada kedua kelompok tidak ada yang terdiagnosis penyakit kardiovaskular saat pertama kali diteliti.[5]

Pada penelitian didapatkan bahwa subyek dengan infeksi HIV memiliki prevalensi yang lebih kecil pada kondisi hipertensi, obesitas dan diabetes, kadar kolestrol LDL rendah dan prevalensi yang lebih tinggi pada kondisi kadar kolestrol HDL rendah, merokok, anemia, penyalahgunaan kokain, gagal ginjal kronis dan infeksi hepatitis C.  Pada kelompok subjek dengan infeksi HIV didapatkan nilai rerata hitung sel CD4 sebesar 389 mm3, nilai rata-rata RNA HIV-1 adalah 1320x103 kopi/ml. hanya 42% subjek dengan HIV yang mendapatkan terapi ART pada saat awal penelitian.[5]

Subjek penelitian diikuti selama 9 tahun. Pada akhir penelitian didapati sebanyak 7708 subjek mengalami penyakit arteri perifer (PAD) dan sebanyak 2609 subjek (33,8%) di antaranya dialami oleh subjek dengan infeksi HIV. Insidensi PAD tidak dipengaruhi oleh ras, riwayat merokok, penyakit paru obstruktif kronik, total bilirubin, dan penyalahgunaan alkohol. Subjek penderita PAD yang terinfeksi HIV memiliki kemungkinan lebih kecil menderita hipertensi, diabetes dan obesitas dibanding kelompok yang tidak terinfeksi.[5]

Pada penelitian ditemukan bahwa terjadi peningkatan kejadian penyakit arteri perifer sehubungan dengan waktu pada kelompok subjek yang terinfeksi HIV. Terjadi peningkatan kejadian PAD sebesar 11,9 per 1000 person-years dibanding pada kelompok tanpa infeksi HIV sebesar 9,9. Risiko penderita infeksi HIV mengalami PAD adalah 1,12 kali.

Setelah dilakukan penyesuaian dengan memperhitungkan karakteristik demografi, faktor risiko penyakit kardiovaskular, dan faktor perancu lainnya, risiko kejadian PAD pada penderita infeksi HIV tidak berubah secara signifikan. Ketika dilakukan analisis ulang terhadap hubungan penyakit arteri perifer dengan infeksi HIV, dengan membatasi PAD sebagai penyakit arteri perifer yang membutuhkan tindakan pembedahan revaskularisasi, dan pemasangan sten, hubungan keduanya signifikan yakni 1,2x.

Pada analisis juga ditemukan hubungan antara penyakit arteri perifer dengan infeksi HIV, baik sebelum maupun setelah dilakukan penyesuaian pada kadar lemak, diabetes, indeks massa tubuh (IMT), estimated glomerular filtration rate (eGFR) dan hemoglobin. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko PAD yang jelas pada penderita infeksi HIV.[5]

Pada kelompok penderita infeksi HIV, dilakukan analisis berdasarkan kadar sel CD4 dan viral load. Ditemukan bahwa semakin berat infeksi HIV yang dimiliki pasien, semakin besar pula risiko kejadian penyakit arteri perifer yang dialaminya. Pada kelompok subjek yang memiliki jumlah hitung sel CD4 yang terus menerus rendah, memiliki risiko terkena PAD 2 kali lebih besar dibanding kelompok yang tidak terinfeksi HIV.

Sebaliknya, pada penderita infeksi HIV yang jumlah hitung sel CD4nya ≥500 sel/mm3, tidak memiliki perbedaan risiko PAD dibanding kelompok yang tidak terinfeksi HIV. Analisis pada kelompok yang terinfeksi HIV menemukan bahwa terjadi pada peningkatan risiko PAD pada kelompok pasien dengan usia lebih tua, penderita hipertensi, diabetes, kadar triglerserida tinggi, merokok, ko-infeksi HCV, penderita CKD, anemia, dan PPOK. Peningkatan risiko juga ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV yang memiliki kadar CD4 tetap rendah dan viral load yang sulit diturunkan.[5]

Kelompok pasien dengan infeksi HIV memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi akibat PAD dibanding kelompok yang tidak terinfeksi. Kelompok dengan kematian tertinggi akibat PAD adalah pasien dengan infeksi HIV dengan viral load yang tidak dapat ditekan. Dari model perhitungan ditemukan sebanyak 50% pasien dengan hitung sel CD4 kurang dari 500 sel/mm3 mengalami kematian dalam 4 tahun setelah diagnosis penyakit arteri perifer.[5]

Mekanisme Terjadinya Penyakit Arteri Perifer pada Orang dengan HIV

Mekanisme yang banyak dikaitkan mengenai kejadian penyakit kardiovaskular dengan infeksi HIV aktivasi sistem imun yang terjadi dihubungankan dengan penggunaan ART spesifik dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular lainnya. Penelitian menyimpulkan bahwa infeksi HIV, dengan atau tanpa faktor risiko penyakit kardiovaskular lainnya, berhubungan dengan kejadian penyakit jantung. Infeksi HIV meningkatkan kejadian infark miokard secara signifikan dibanding kelompok yang tidak terinfeksi. Lebih lagi, pada penelitian ditemukan bahwa terapi standar tidak menurunkan risiko kejadian infark miokardium.

Imunosupresi

Salah satu faktor yang memegang peran penting dalam patofisiologi penyakit arteri perifer adalah sel endotel vaskular. Sel endotel vaskular memegang peran penting dalam patofisiologi aterosklerosis pada penderita infeksi HIV. Sel endotel menyusun pembuluh darah dan secara dinamik mempengaruhi sirkulasi darah.

Selain itu, sel endotel, yang terletak sebelah dalam lumen pembuluh, secara terus menerus terpapar pada agen berbahaya yang bersirkulasi seperti kolesterol, produk rokok dan agen infeksius. Dalam fungsinya, sel endotel berperan pada pembentukan respons inflamasi langsung pada stimulus berbahaya. Salah satunya akibat dari agen infeksius. Respons inflamasi ini, baik secara klinis maupun subklinis, merupakan faktor yang berperan pada aterosklerosis.[6]

Infeksi HIV menyebabkan imunosupresi. Infeksi ini menyebabkan pelemahan respons inflamasi pada infeksi oportunistik. Infeksi HIV menyebabkan perubahan fungsional yang mendalam dari endotelium berupa peradangan subklinis pada aterosklerosis. Pada respons inflamasi subklinis, terjadi peningkatan perlengketan leukosit pada endotel akibat peningkatan ekspresi molekul adhesi sel.

Selain itu juga terjadi peningkatan faktor von Willebrand dan berkolerasi dengan kadar sitokin inflamasi yang bersirkulasi seperti tumor necrosis factor (TNF) dan interferon gamma. Faktor von Willebrand adalah glikoprotein yang memfasilitasi perlengketan platelet yang disintesis pada sel endotel dan megakariosit. Dapat pula terjadi kondisi hiperkoagulasi yang diinduksi oleh kadar viral load HIV pada plasma.

Patofisiologi lain yang terjadi adalah penurunan ekspresi protein-S dan pembentukan antibodi protrombik terhadap fosfolipid. Akhir dari kaskade inflamasi adalah induksi apoptosis sel endotel akibat infeksi HIV-1.[6,7]

Dislipidemia akibat HIV dan ART

Selain itu, infeksi HIV juga dikaitkan dengan kejadian dislipidemia. Setelah infeksi HIV, terjadi penurunan awal HDL dan peningkatan trigliserida pada awal infeksi. Selanjutnya terjadi penurunan LDL. Obat ART juga memegang peran penting penting dalam terjadinya dislipidemia. Protease inhibitor, salah satu ART, menyebabkan hyperlipidemia, hiperglikemia dan obesitas sentral.

Protease inhibitor juga menyebabkan resistensi insulin. Akibatnya, protease inhibitor menyebabkan perubahan metabolisme lipid yakni penurunan kadar HDL, peningkatan CDL, hipertrigliserida dan hiperinsulinemia yang dikaitkan dengan resistensi insulin. Protease inhibitor juga menyebab kerusakan sel endotel sehingga menyebabkan disfungsi vasodilatasi. Pasien infeksi HIV dengan penggunaan protease inhibitor menunjukkan prevalensi lesi aterosklerotik di vena karotis yang lebih tinggi dibanding kelompok pasien infeksi HIV tanpa penggunaan protease inhibitor.[6]

Kesimpulan

Terjadi peningkatan risiko penyakit arteri perifer pada pasien dengan infeksi HIV. Pada pasien dengan infeksi HIV, kejadian penyakit arteri perifer tidak dihubungkan dengan faktor-faktor risiko yang umumnya mempengaruhi penyakit arteri perifer tersebut. Respons inflamasi, peran sitokin dan penggunaan obat ARV dihipotesiskan mempengaruhi kejadian penyakit arteri perifer pada penderita infeksi HIV. Pada beberapa kasus, penyakit arteri perifer pada pasien dengan infeksi HIV tidak menunjukkan gejala sehingga pemeriksaan ABI disarankan untuk dilakukan.

Referensi