Peran Dokter Dalam Pendidikan Seksual di Sekolah

Oleh :
dr. Devina Sagitania

Salah satu tugas dokter dalam perannya sebagai edukator adalah memberikan pendidikan seksual di sekolah. Memberikan edukasi/pendidikan, termasuk ke dalam upaya menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan komprehensif. Pendidikan mengenai kesehatan seksual dan reproduksi mengacu pada pendekatan sesuai dengan usia dan budaya, serta memberikan informasi yang akurat secara ilmiah, realistis, dan tidak menghakimi.[1]

Pendidikan seksual bertujuan untuk memberikan pengetahuan pada fisiologi manusia, sistem reproduksi, dan pencegahan infeksi menular seksual. Selain itu, tujuan pendidikan seksual juga untuk memberdayakan siswa agar lebih memahami seksualitas mereka, sehingga meningkatkan kesehatan seksual dan kualitas hidup secara keseluruhan.[1]

Depositphotos_31778883_m-2015_compressed

Masalah Kesehatan Seksual di Dunia dan Indonesia

Menurut National Youth Risk Behavior Survey 2019, sekitar 38% remaja pernah berhubungan seksual dan 9% remaja memiliki 4 atau lebih pasangan seksual. Pada remaja yang melakukan hubungan seksual, sebanyak 40% tidak menggunakan kondom.[1,2]

Sekitar 10 juta kasus penyakit menular seksual terjadi pada usia muda, yaitu 15–24 tahun, dan sekitar 21% dari kasus baru infeksi human immunodeficiency virus (HIV) terjadi pada usia 13-24 tahun. Kehamilan remaja dan penyakit menular seksual menjadi masalah kesehatan yang terus berkembang di Amerika Serikat.[1,3]

Berdasarkan laporan perkembangan HIV AIDS & Penyakit Infeksi Menular Seksual tahun 2021 dari Kemenkes, sekitar 29% penderita AIDS di Indonesia berusia 20-29 tahun selama periode Januari–Maret 2021.[4]

Data-data di atas menunjukkan bahwa remaja berisiko melakukan perilaku seksual yang tidak aman dan terkena efek negatifnya. Hal ini berhubungan dengan kurangnya informasi, pengetahuan, dan edukasi tentang perilaku seksual yang aman.[2]

Abstinensia merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah masalah terkait kesehatan seksual pada anak usia sekolah, tetapi hanya sekitar 40% anak usia sekolah yang melakukan abstinensia. Beberapa penelitian menunjukkan kurangnya efektivitas program edukasi abstinensia dalam mengurangi risiko masalah kesehatan seksual.[5]

Pelaksanaan pendidikan seksual seringkali mengalami kesulitan dan perdebatan dalam masyarakat. Hal ini disebabkan persepsi masyarakat yang menganggap pembicaraan tentang seksualitas merupakan hal yang tabu, terutama dalam budaya Asia.[6]

Ada pihak-pihak yang berpendapat pendidikan seksual dapat mendorong remaja melakukan perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa memberikan pendidikan seksual yang evidence based dapat menunda usia hubungan seksual pertama.[6]

Dokter Sebagai Pendidik Kesehatan Seksual

Di Indonesia, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi biasanya diberikan melalui pelajaran agama, biologi, serta pendidikan kesehatan jasmani dan olahraga oleh guru di sekolah. Namun, terkadang kualitas materi kurang baik, sebab tidak disertai bukti ilmiah (evidence based).[7]

Selain itu, biasanya siswa merasa kurang nyaman membahas kesehatan seksual dengan guru. Beberapa guru juga melaporkan perasaan canggung saat memberikan edukasi kesehatan seksual, karena merasa kurang terlatih dalam kesehatan seksual dan reproduksi.[8]

Peran dokter dalam memberikan pendidikan kesehatan seksual di sekolah, merupakan bagian yang penting untuk menciptakan layanan kesehatan yang berkualitas. Pemberian edukasi dapat membuat siswa mengambil keputusan yang lebih tepat berkaitan dengan kesehatan seksual mereka.[2]

Berbekal pengetahuan medis dan pengalaman klinis, dokter dapat memberikan materi yang berbasis bukti ilmiah (evidence based). Jika materi diberikan oleh dokter, yang dianggap tokoh masyarakat yang ahli di bidang kesehatan, diharapkan kesan tabu dalam membicarakan kesehatan seksual dapat dihilangkan. Dokter juga dapat membantu siswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar kesehatan seksual dengan tidak menghakimi.[2,8]

Selain bermanfaat bagi siswa, pendidikan seksual oleh dokter juga dapat meningkatkan pengetahuan guru mengenai kesehatan seksual. Kedepannya, guru lebih siap untuk memfasilitasi siswa yang ingin berdiskusi tentang kesehatan seksual.[7]

Metode Penyampaian Pendidikan Seksual dan Kesehatan Reproduksi

Pendidikan seksual harus berbasis bukti dan tidak menghakimi, serta mengacu pada pendekatan yang sesuai dengan usia maupun budaya setempat. Hasil akhir pendidikan kesehatan seksual tidak hanya sebatas bebas dari penyakit. Namun, menyangkut seluruh keadaan fisik, emosi, mental dan kesejahteraan sosial dalam kaitannya dengan seksualitas.[8]

Selain itu, materi tentang pendidikan seksual yang dibawakan dokter juga perlu membahas tentang pengalaman seksual yang aman, bebas dari paksaan, dan kekerasan. Hak kesehatan seksual dan reproduksi semua orang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. Untuk mendapatkan hak kesehatan seksual dan reproduksi, para siswa harus memenuhi tanggung jawabnya dalam berperilaku sehat secara seksual.[8,9]

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah comprehensive sex education (CSE). Metode CSE tidak hanya berfokus pada abstinensia. Namun, CSE juga membahas tentang penggunaan kontrasepsi untuk pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual, seperti gonore dan sifilis, serta pentingnya perilaku seksual yang aman.[8]

Selain membahas topik yang biasa dibahas pada pendidikan seksual, seperti kesehatan reproduksi, CSE juga membahas mengenai hubungan/relationship, persepsi terhadap seksualitas, peran sesuai jenis kelamin (gender relation), dan tekanan sosial untuk menjadi aktif secara seksual. CSE juga melatih kemampuan komunikasi dan pengambilan keputusan tentang kesehatan seksual.[8]

Beberapa hal lain juga perlu dibahas, antara lain kompleksitas perkembangan seksual selama remaja, dan memasukkan topik-topik, seperti kesetaraan gender, keragaman, hubungan, pemberdayaan/empowerment, dan ijin/consent sebelum melakukan tindakan seksual.[8,9]

CSE dapat dilakukan dengan metode ceramah, dialog, psikoedukasi, group discussions, workshop ataupun role play. Sekitar 60% dari peserta program CSE menunjukkan efek positif, seperti peningkatan penggunaan kondom atau penurunan angka kehamilan remaja. Tanpa sikap dan perilaku seksual yang sehat, perkembangan remaja akan terpengaruh secara negatif.[8,9]

Selain itu, pengembangan kompetensi aspek psikososial, seperti kemampuan resiliensi, pengaturan emosional, hubungan, moral, dan memiliki identitas positif, seperti rasa harga diri, dapat melindungi para siswa dari perilaku seksual yang berisiko atau tidak sehat.[9]

Para dokter terkadang enggan untuk memberikan pendidikan seksual, sebab mereka sendiri tidak pernah menerima pendidikan tentang kesehatan seksual secara memadai. Survei terhadap 276 mahasiswa kedokteran dan residen menemukan bahwa hanya 65% diantara mereka yang pernah mendapatkan pendidikan seksual formal, berfokus pada kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual, selama masa pendidikannya.[10]

Hal ini menunjukkan pentingnya pemberian edukasi tentang kesehatan seksual pada dokter, sehingga dokter dapat memberikan pendidikan seksual yang berkualitas kepada para siswa dan juga orang tua mereka. Manfaat lainnya adalah untuk mengasah kemampuan komunikasi dokter pada pasien tentang seksualitas.

Kesimpulan

Dokter memegang peranan yang penting dalam pendidikan seksual di sekolah. Dengan pengetahuan medis dan pengalaman klinis yang dimilikinya, dokter dapat memberikan beragam materi komprehensif yang berbasis bukti, sehingga dapat diterima dengan baik oleh siswa.

Pendidikan kesehatan seksual yang diberikan dokter dapat dilakukan dengan pendekatan comprehensive sex education (CSE). Tidak hanya teori edukatif, pendekatan dengan metode CSE juga memperhatikan aspek psikososial, dan melibatkan partisipasi aktif dari siswa.

Dengan pendidikan seksual yang baik, diharapkan siswa dapat mempraktekkan perilaku seksual yang aman. Hal ini diperlukan, guna terhindar dari efek negatif perilaku seksual yang tidak aman, misalnya penyakit menular seksual dan kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu, pendidikan seksual juga perlu membahas tentang seksualitas, hubungan, dan isu mengenai persetujuan/consent.

 

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Hunied Kautsar

Referensi