Perlu Tidaknya Antibiotik untuk Terapi COVID-19

Oleh :
dr. Jocelyn Prima Utami

Antibiotik seperti azithromycin sempat diduga bermanfaat untuk terapi COVID-19. Hal ini dikarenakan beberapa antibiotik memiliki efek antiviral dan antiinflamasi. Akan tetapi, uji klinis lebih lanjut telah menunjukkan bahwa azithromycin tidak memiliki efek yang bermanfaat untuk luaran klinis pasien COVID-19.

 Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Berbagai studi telah dilakukan untuk membandingkan efektivitas dan profil keamanan antibiotik dengan terapi standar COVID-19 atau dengan plasebo. Namun, uji klinis yang membandingkan efektivitas antibiotik dengan antibiotik lain atau intervensi lain saat ini masih terbatas.[1,2]

Hipotesis tentang Manfaat Antibiotik untuk Terapi COVID-19

Respons imun pasien yang mengalami COVID-19 berperan penting dalam terjadinya proses akut pneumonia akibat kerusakan alveolar, proses inflamasi, dan trombosis mikrovaskular. Antibiotik golongan makrolida seperti azithromycin dikatakan memiliki efek antiviral dan juga imunomodulator. Makrolida dikatakan bisa menurunkan produksi sitokin proinflamasi dan menghambat aktivasi neutrofil.

Perlu Tidaknya Antibiotik untuk Terapi COVID-19-min

Azithromycin merupakan makrolida spektrum luas yang memiliki sifat antiviral in-vitro terhadap berbagai virus. Obat ini dilaporkan dapat menghambat replikasi SARS-CoV-2 di sel Vero dan sel epitel manusia. Selain itu, azithromycin juga dapat mengurangi masuknya virus ke dalam sel.

Azithromycin dilaporkan dapat terdistribusi luas di jaringan, terutama di paru-paru. Hal ini merupakan properti farmakologis yang dibutuhkan untuk pengobatan COVID-19. Akan tetapi, beberapa uji klinis yang telah dilakukan tidak menunjukkan manfaat yang signifikan dari penggunaan makrolida pada COVID-19.[1,3,4]

Studi tentang Efektif Tidaknya Pemberian Antibiotik untuk Terapi COVID-19

Penggunaan antibiotik yang belum terbukti secara jelas efektivitasnya dikhawatirkan bisa menimbulkan efek samping dan meningkatkan resistensi antimikroba. Oleh sebab itu, berbagai studi telah dilakukan untuk mempelajari efektivitas antibiotik pada berbagai derajat keparahan COVID-19 dan pada pasien rawat jalan maupun rawat inap.[5,6]

Tinjauan Popp et al

Popp et al melakukan tinjauan sistematik terhadap 11 studi dengan total 11.281 pasien COVID-19 untuk mempelajari efektivitas antibiotik bila dibandingkan dengan plasebo, terapi standar, atau antibiotik lain.

Dalam tinjauan tersebut, studi yang membandingkan azithromycin dengan plasebo atau terapi standar untuk pasien COVID-19 rawat inap menunjukkan bahwa azithromycin tidak memiliki efek atau hanya memiliki sedikit efek terhadap mortalitas akibat segala penyebab pada hari ke-28 (RR 0,98; total 8.600 pasien; 4 studi; kekuatan bukti tinggi).

Azithromycin mungkin tidak memiliki efek atau hanya memiliki sedikit efek terhadap perbaikan klinis pada hari ke-28 (RR 0,96; total 8.172 pasien; 3 studi; kekuatan bukti moderat). Azithromycin mungkin meningkatkan kejadian efek samping (RR 1,20; total 355 pasien; 3 studi; kekuatan bukti lemah) bila dibandingkan dengan terapi standar.[5]

Bila dibandingkan dengan plasebo atau terapi standar pada pasien COVID-19 yang dirawat jalan, azithromycin juga tidak memiliki efek atau hanya memiliki sedikit efek terhadap risiko rawat inap dan kematian dalam 28 hari (RR 0,94; 876 pasien; 3 studi; kekuatan bukti lemah) maupun terhadap resolusi gejala di hari ke-14 (RR 1,03; 138 pasien; 1 studi; kekuatan bukti lemah).

Secara keseluruhan, studi ini berkesimpulan bahwa risiko kematian pasien COVID-19 yang dirawat inap tidak berkurang dengan pengobatan azithromycin setelah 28 hari.  Selain itu, belum ada bukti klinis yang adekuat mengenai manfaat azithromycin pada pasien COVID-19 yang dirawat jalan.[5]

Studi RECOVERY

Studi The Randomised Evaluation of COVID-19 Therapy (RECOVERY) menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok pasien yang diberikan azithromycin dan kelompok yang tidak diberikan azithromycin dalam hal mortalitas 28 hari (22% dari 2.582 pasien kelompok azithromycin vs 22% dari 5.181 pasien kelompok tanpa azithromycin). Penelitian ini menunjukkan bahwa azithromycin bukan terapi yang efektif untuk pasien rawat inap dengan COVID-19.[3]

Studi ACTION

Pada studi The Azithromycin for COVID-19 Trial, Investigating Outpatients Nationwide (ACTION), jumlah partisipan yang diterapi azithromycin yang melaporkan bebas gejala pada hari ke-14 tidak berbeda signifikan dengan partisipan yang mendapatkan plasebo.

Pada hari ketiga studi, partisipan yang diterapi azithromycin melaporkan efek samping saluran cerna yang lebih banyak daripada kelompok plasebo, seperti diare (41% vs 17%), nyeri perut (17% vs 1%), dan mual (22% vs 10%). Tidak ada efek samping berat dan kematian pada kedua kelompok partisipan.[7]

Efek Samping Azithromycin yang Harus Diperhatikan

Pemberian azithromycin yang tidak pada tempatnya bisa meningkatkan risiko resistensi bakteri terhadap azithromycin. Namun, dokter juga perlu mengingat bahwa azithromycin memiliki efek samping lain seperti pemanjangan interval QT, gangguan gastrointestinal, sakit kepala, dan rasa pusing.

Pemanjangan interval QT dapat menyebabkan aritmia yang mengancam nyawa. Risiko ini terutama meningkat pada pasien usia tua (60–79 tahun), pasien beriwayat penyakit jantung, dan pasien yang juga menggunakan obat berefek pemanjangan QT lain. Oleh karena itu, pemberian azithromycin harus berhati-hati dan hanya pada pasien yang benar-benar membutuhkannya.[8]

Kesimpulan

Antibiotik makrolida seperti azithromycin memiliki sifat antiviral dan antiinflamasi serta memiliki efek imunomodulator yang sempat diduga bermanfaat untuk terapi COVID-19. Akan tetapi, berbagai studi telah membuktikan bahwa pemberian azithromycin untuk terapi pasien COVID-19 rawat inap maupun rawat jalan tidak berdampak signifikan pada mortalitas dan perbaikan gejala jika dibandingkan plasebo atau terapi standar.

Azithromycin tidak direkomendasikan sebagai terapi COVID-19. Pemberian antibiotik yang tidak pada tempatnya dikhawatirkan dapat menimbulkan efek samping dan juga meningkatkan risiko resistensi bakteri.[2,3,5,7]

Referensi